Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*
Dalam Surat al-Baqarah ayat 186 Allah berfirman yang artinya :
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu dalam kebenaran.”
Dari ayat terjemahan) di atas didapati informasi kalau Allah sangat dekat dengan manusia, dan Allah mengabulkan semua permintaan manusia, di dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa permintaan atau do’a akan diterima dengan syarat beriman dan selalu berbuat kebaikan.
Kesan lain dari ayat ini dalam anggapan manusia bahwa Allah itu sangat jauh dari diri manusia sehingga do’a-do’a yang dipanjatkan tidak pernah terqabulkan, yang membuat kepercayaan dan keyakinan sebagian manusia menjadi goyah, karena itulah Allah mengatakan kepada Nabi Muhammad, apabila hamba-hamba bertanya tentang Aku kata Allah, jawab Aku sangat dekat, di ayat lain dikatakan lebih dekat dari diri hamba itu sendiri.
Dan kalau hamba meminta apapun pasti Allah akan berikan. Tetapi dengan syarat melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
Memaknai kedekatan Allah dengan hamba-Nya dan mengabulkan segala do’a dari hamba, kemudian dikaitkan dengan syarat harus beriman dan melakukan amal shaleh maka memunculkan pemahaman akan adanya perspektif.
1. Allah Maha Penerima Do’a
Allah mempunyai sifat yang berbeda dengan hamba-Nya (Mukhalafatuhu lil hawadits), keberadaan Allah dalam makna Zat berada di luar kemampuan akal manusia untuk menggambarkan-Nya bahkan bila manusia berusaha menggambarkan-Nya kendati dalam pikiran akan berakibat kepada kemusyrikan.
Sedangkan manusia sebaliknya, secara fisik berada dalam pikiran manusia setelah menusia itu diciptakan Allah, artinya melahirkan ilmu dalam mengkaji manusia baik dari sisi perkembangan fisik, hubungan dengan manusia lain dan alam sekitarnya.
Allah menjadi tumpuan hidup seluruh manusia dan alam “Allahu Shamad”, menyediakan seluruh kebutuhan manusia baik yang bersifat materiil dan immateriil.
Manusia mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi pada setiap saatnya, baik berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan untuk berhubungan dengan manusia yang lain dan alam sekitar mereka.
Untuk mencapai beragam kebutuhan dari berbagai manusia dan kebutuhan dari alam yang berbagai maka hanya Allah yang mampu memenuhinya, karena itu Allah hanya meminta hamba untuk beribadah kepada-Nya. “Wama khalaqtu al-jinna wal insa illa liya’budun”.
Lalu apakah ketika manusia tidak beribadah kepada Allah, maka Allah tidak memberikan apapun kepada manusia jawabannya pasti Allah akan memberikan, karena Allah adalah yang menciptakan mereka.
Untuk ini Allah menamai Diri dengan “Ar-Rahman dan Ar-Rahim”, artinya Ar-Rahman-Nya Allah diberikan kepada semua manusia baik yang beribadah (meneyembah) Allah ataupun yang tidak, sedangkan Ar-Rahim-Nya Allah hanya diberikan kepada yang beribadah (beriman kepada-Nya). Atau bisa kita pahami kalau ar-Rahman Allah diberikan kepada semua orang muslim atau juga kafir, sedangkan ar-Rahim Allah hanya diberikan kepada kaum muslimin di akhirat kelam dan tidak didapatkan oleh mereka yang kufur kepada Allah.
2. Manusia Sebagai Pemohon (Do’a)
Manusia sebagai makhluk Allah yang hidup di dunia selalu merasa kurang (merasa tidak berkecukupan) sehingga mereka sangat membutuhkan kepada yang Maha berkecukupan, yakni Allah.
Apapun yang dibutuhkan oleh manusia dan kapanpun kebutuhan itu diperlukan Allah selalu siap mendengar keluhan manusia tersebut, tanpa memandang strata atau tingkatan manusua karena starata, tingkatan dari berbagai aspek hanyalah strata manusia sesama manusia.
Seorang pejabat mempunyai jabatan dipastikan mempunyai bawahan yang harus menghormatinya, seorang bawahan mempunyai kebaikan dalam bekerja akan dihargai oleh atasannya.
Seorang ulama mempunyai sarana memberikan ilmunya kepada orang lain dengan sendirinya akan dihormati dan hargai oleh murid mereka, seorang guru mempunyai murid yang menghormati dan menghargai ilmu dan jasa guru mereka.
Pejabat, ulama dan guru serata bawahan, santri atau murid adalah jenjang ata strata sesama manusia, untuk kepentingan beribadah dan memohon kepada Allah semuanya harus ditanggalkan.
Ketika seorang pejabat menganggap dirinya sebagai pejabat, ulama menganggap dirinya sebagai ulama dan guru serta jabata keduniaan menganggap dirinya sebagai orang yang mempunyai strata dunia dari yang paling rendah sampai pada yang tingggi di hadapan Allah tidak ada gunanya, karena di Sisi Allah semuany sama.
Jadi kalau manusia melekatkan diri dengan gelar sandingan dunia dalam menghadap Allah (beribadah) hampir dipastikan Allah tidak menerimanya, dan kalau manusia menyandangkan gelar/sebutan keduniaan dalam meminta kepada Allah hampir dipastikan tidak dikabulkan.
Kita yang meminta kepada Allah karena kemiskinan kita dibanding manusia lain padahal di Sisi Allah kita adalah orang yang kaya niscaya Allah tidak qabulkan, kita yang menganggap diri kita ‘alim dibanding dibanding orang lain dalam meminta kepada Allah niscaya tidak diqabulkan.
Karena ketika kita membandingkan diri kita dengan orang lain dan menganggap diri lebih maka dianggap sebagaia makhluq yang sombong, sombong karena menganggap diri lebih hebat atau sombong karena menganggap diri lebih butuh. Padahal semua orang semua orang tanpa kecuali membutuhkan apa yang diinginkan dan apa yang dikehendaki dari Allah.
*Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh