Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*
A. Makna dan Macam-Macam Ibadah
Ibadah berarti menyembah, orang yang menyembah disebut dengan hamba. Dalam Islam yang berhak disembah hanyalah Allah “iyyaka na’budu” hanya kepada-Mu kami beribadah atau hanya kepada-Mu kami menyembah.
Ibadah ada dua, yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.
Ibadah mahdah adalah ibadah yang sudah ditentukan syarat dan rukun dari ibadah tersebut, ibadah mahdah ini seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Ibadah ini di samping ditentukan syarat dan rukunnya juga telah ditentukan waktu pelaksanaannya.
Ibadah shalat umpamanya, telah ditentukan waktunya lima kali sehari semalam dengan tiga waktu. Shalat zuhur, ashar, maghrib, isya dan subuh, dengan pengelompokan waktu shalat siang, shalat malam dan shalat subuh.
Sebagian umat Islam melaksanakan shalat lima kali dalam lima waktu (zuhur, ashar, maghrib, isya dan subuh) dan sebagiannya melaksanakannya dalam tiga waktu dengan jumlah shalat tetap lima kali (shalat siang mencakup shlat zuhur dengan ashar, shalat malam mencakup maghrib dengan isya dan shalat subuh hanya satu).
Mereka semua punya landasan hukum, yang melaksanakan lima kali dengan lima waktu berdalil dengan hadis-hadis Rasulullah dan mereka yang melaksanakan lima kali dengan tiga waktu berdalil dengan ayat al-Qur’an.
Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang tidak ditentukan syarat dan rukun dari perbuatan tersebut, di samping itu juga perbuatan ibadah ghairu mahdhah ini tidak juga ditentukan waktu pelaksanaannya.
Jadi syarat, rukun dan waktu pelaksanaannya diserahkan kepada hamba yang melakukan ibadah tersebut. Untuk ibadah ini kreativitas pelaksanaan diserahkan kepada manusia, sehingga dari segi pelaksanaan perbuatan lebih banyak dari pada ibadah mahdhah, demikian juga dari segi waktu pelaksanaan ini tidak dibatasi.
B. Pahala dan Dosa
Perbuatan ibadah identik dengan ganjaran pahala dan dosa, artinya mereka yang melaksanakan ibadah maka mereka akan mendapatkan pahala dan mereka yang tidak mengerjakannya akan diberi ganjaran dosa, yang berwenang memeberikan pahala dan dosa sebagai ganjaran dari melaksanakan dan tidak melaksanakan adalah Allah.
Karena ibadah (mahdhah) hubungan langsung dengan Allah tanpa perlu mengaitkan dengan orang lain maka mereka yang tidak melakukannya ibadah bukanlah pelaku perbuatan jinayah (jarimah). Karena itu tidak ada jarimah hudud atau ta’zir bagi mereka yang meninggalkan ibadah.
Bila kepada seseorang kita bertanya, apakah kamu ada shalat atau puasa ? Apakah kamu sudah membayar zakat dari kekayaanmu ? Apakah kamu sudah melaksanakan haji ? Lalu orang tersebut menjawab tidak, maka kita hanya bisa mengatakan “kamu berdosa” karena tidak shalat, tidak puasa, tidak membayar zakat dan karena tidak melaksanakan haji.
Para ulama mengatakan bahwa perinsip dari ibadah adalah kerjakan kalau ada dalil yang menyuruh dan kalau tidak mengerjakannya adalah dosa. Karena itu dalam hal ibadah mahdhah orang yang melaksanakannya mendapat pahala dan bila meninggalkannya maka mendapat dosa.
Berbeda dengan ibadah mahdhah, ibadah ghairu mahdhah hanya berhubungan dengan pahala tidak berhubungan dengan dosa.
Artinya ghairu mahdah adalah semua perbuatan baik yang dilakukan terlebih perbuatan tersebut berhubungan dengan orang lain. Membuang duri dari jalan menurut hadis Rasulullah adalah ibadah, senyum adalah ibadah, melakukan ta’ziah karena orang yang tertimpa musibah adalah ibadah, dan lain-lain perbuatan yang baik adalah ibadah.
Bagi mereka yang membuang duri dari jalan dapat pahala, mereka yang senyum dapat pahala, mereka yang berta’ziah dapat pahala, tetapi bagi mereka yang tidak membuang duri, tidak senyum, tidak ikut ta’ziah bagi mereka tidak ada dosa.
C. ‘Abid (Pelaku Ibadah)
Ketika mengkaji tentang ibadah maka ada tiga aspek yang harus dipahami, yang pertama adalah Allah sebagai yang disembah dan tidak ada yang lain selain dari-Nya, kedua adalah perbuatan ibadah (sebagai mana yang telah dijelaskan) selanjutnya adalah ‘abid (mereka yang melakukan ibadah.
Ibadah baik ia mahdhah atau ghairu mahdhah adalah hubungan langsung antara hamba (‘abid) dengan Allah dalam ibadah dan tidak ada perantara, bila ada perantara maka tidak dapat dikatakan sebagai ibadah.
Kemudian seorang ‘abid (ahli ibadah) ketika berhubungan dengan Allah dalam ibadah maka ia adalah seorang hamba yang tidak mempunyai strata kecuali ia hanya seorang hamba.
Seorang ulama ketika ia menganggap dirinya sebagai ulama ketika sedang shalat maka ibadah yang ia lakukan bukan dikatakan sebagai ibadah, seorang guru ketika beribadah memposiskan dirinya sebagai seorang guru maka ibadah yang ia lakukan bukan sebagai ibadah, seorang yang bodoh memposiskan sebagai orang bodoh ketika aberibadah maka ibadahnya tidak bisa dikatakan sebagai ibadah, seorang yang kaya yang memposiskan sebagai orang yang kaya maka ibadah yang dilakukan tidak bisa dikatakan sebagai ibadah.
Ibadah bagi seorang ahli ibadah adalah penyembahan seorang hamba kepada Khaliqnya, hamba yang di Sisi Allah bukan siapa-siapa. Bukan hamba yang ulama, bukan hamba yang kaya, bukan yang miskin dan bukan yang lain-lain. Karen Allah-lah yang maha segala-galanya.
Karena itu ketika menghadap Allah tinggalkan semu yang kamu miliki, jangan karena kamu sebagai imam dalam shalat sehingga kamu menganggap shalat kamu lebih diterima, karena sebagai pejabat yang menduduki shaf terdepan menganggap shalat kita lebih diterima.
Untuk itu ketika kita menghadap Allah baik dalam ibadah yang mahdhah atau ghairu mahdhah maka Tinggalkanlah embel-embel yang melekat pada diri kita.
*Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh