Oleh : Hairiza Satia*
Sebagai bagian dari Civitas akademika, seorang mahasiswa tentu memiliki peran besar dalam upaya melakukan kerja kerja perubahan sosial, perubahan sosial yang dimaksud tentu luas lingkupnya.
Melihat realita sosial yang kian berkembang tentu tantangan yang dihadapi pun sangat beragam, mulai dari persoalan politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan menjadi tugas yang nyata.
Dalam persoalan politik misalnya, kita bisa melihat secara seksama bahwa orientasi politik tidak lagi dijadikan sebagai upaya bagaimana menciptakan suatu kebijakan yang berorientasi pada kemaslahatan.
Praktik politik, hanya sekedar dijadikan status sosial dalam mepertahankan kekayaan dan kekuasaan. Partai politik yang didirikan tak lagi memperjuankan hak hak rakyat yang kehilangan keadilan dan kebebasan, yang ada saling klaim merakyat guna mendapat dukungan dipemilihan.
Wilayah ekonomi tak kalah mirisnya dengan persoalan politik, mahalnya bahan pokok, susahnya mencari lapangan pekerjaan, selalu menjadi keluhan utama masyarakat.
Di wilayah pendidikan persoalan besar yang muncul ditandai dengan meningkatnya biaya pendidikan disetiap tahunya, tidak meratanya fasiltas pendidikan, kurangnya pengajar yang berkompeten, dan kurikum pendidikan yang terus dirubah tanpa mepertimbangkan orientasi pendidikan yang ramah lingkungan.
Sedangkan diwilayah kebudayaan, tergerusnya nilai – nilai adat dan tradisi setempat yang tidak lagi dijadikan sebagai norma kehidupan sehari hari, warisan kebudayaan yang ditinggalkan leluhur tidak lagi diteruskan ke generasinya.
Melihat persoalan yang sangat beragam diatas, tentu ini bukan pekerjaan yang mudah diselesaikan karna satu sama lain memiliki efek yang berkaitan. Sebagai bagian dari civitas akademika, mahasiswa tentu dituntut untuk melek melihat persoalan – persolan diatas, dan dituntut mampu memberikan solusi nyata.
Mulai dari gagasan, sampai kerja nyatanya. Sebagai orang yang mendapatkan akses pendidikan yang lebih, tentu masyarakat menaruh harapan besar terhadap mahasiswa, untuk mampu menyelesaikan persoalan – persoalan yang kian muncul.
Nyatanya, hingga hari ini mahasiswa belum mampu berbuat banyak melakukan apa – apa seperti burung yang kehilangan sayapnya. Masyarakat pun akhirnya kehilangan arahnya, tak tau mengadu kepada siapa, karna tak ada yang bisa dipercaya.
Gagasan dan ide yang ada tak lagi mampu diaktualisaikan sebagia kerja – kerja nyata karna rendahnya rasa empati pada setiap warga negara yang kehilangan haknya, gagasan dan ide akan hanya menjadi komoditi yang dijual kepada penguasa karna syarat dengan besarnya nilai materinya.
Hilangnya rasa empati dan pengabdian menunjukan gagalnya orientasi pendidikan di transformasikan, sebagai kaum muda terdidik yang mendapakatkan akses pendidikan lebih sudah sepatutnya melihat proses panjang dan belajar pada Wali Songo, yang mana kerja – kerja produktifnya mampu membangun kekuatan, baik itu diwilyah ekonomi, politik, pendidikan dan juga kebudayaan.
Gagasan besarnya, benar –benar mampu membentuk suatu peradaban yang kuat. Diwilayah pendidikan misalnya, mereka berhasil menciptakan pribadi yang kuat dan karakter mandiri tanpa harus menggatungkan hidup pada orang lain.
Hal ini, ia buktikan dengan membangun langgar – langgar sebagai tempat belajar masyarakat, masyarakat diajarkan bagaimana menjadi manusia yang mampu menjadi teladan dan inspirator bagi sesamanya ( saling membesarkan ) dan peduli terhadap sesama untuk menciptkan solidaritas yang kuat.
Selain itu, mereka juga diajarkan bagaimana cara mengelola alam dengan baik, tanpa merusak dan mengekspoloitasi nya. Karena, sejatinya alam adalah rumah tempat tinggal bersama manusia yang harus benar – benar dijaga.
Untuk wilayah ekonomi, beliau mampu mengorganisir masyarakat untuk melakukan kerja kerja produktif dalam mengelola sumberdaya yang ada guna memenuhi kebutuhan sehari harinya.
Masyarakat yang notabane nya sebagai petani saat itu, turut mampu menjadi distributor pangan diberapa daerah dinusantara, produktifitas dan kemandiran yang dibentuk walisongo pada masyarakat akhirnya membuahkan hasil ditandai dengan, dibangunnya beberapa jalur transportasi baik darat maupun laut untuk mempermudah distribusi hasil alamnya kebeberapa daerah yang berada didalam maupun diluar nusantara.
Sehingga dengan cepat masyarakat pada saat itu menguasai beberapa sektor perekonomian, mulai dari pangan, air dan energi. Semangat yang dibentuk walisongo pada masyarakatnya tentu semangat kemaslahatan dan kemandirian, sebagai mana bunyi sila kelima yang ada di Pancasila, “keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia”.
Di wilayah kebudayaan tak kalah revolusionernya dengan pendidikan maupun ekonomi, terbukti gagasan kebudayan yang diciptakan mampu membentuk nilai nilai kearifan dalam mempengaruhi pikiran masyarkat untuk meninggalkan kemaksiatan dan juga sebagai upaya melawan bentuk – bentuk kemungkaran.
Beberapa bentuk kebudayaan yang dihasilkanpun sangat beragam mulai dari pementasan wayang yang bermuatkan ajaran – ajaran keagamaan, spirit kebangsaan atau persatuan dalam menjaga kerukunan ditengah perbedaan yang beragam.
Upacara-upacara kebudayaan dilakukan guna mengingat dan menjaga nilai nilai keluhuran para pendahulunya dan masih banyak lagi, kebudayaan tentu memiliki posisi yang sangat penting dikehidupan masyarakat karna peradaban yang maju tak lepas dari kuatnya pengaruh nilai kebudayaan yang dipegang oleh masyarakat.
Sedangkan di wilayah politik walisongo juga merekonstrusi praktik – praktik politik yang syarat dengan kepentingan kekuasaan dan juga kekayaan, dalam hal ini yang pertama dilakukan walisongo ialah bagaimana hasil dari praktik politik harus mengedepankan semangat kesetaraan ( persamaan derajat ) dan kebebasan.
Kesetaraan yang dimaksud adalah bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama dan perlakukan yang sama dimata tuhan, manusia tidak boleh meperlakukan satu sama lainya seperti budak, atau menjatuhkan harga diri manusia lainya. Raja atau pemerintah, tak boleh memperlakakukan rakyatnya bak budak.
Sedangkan kebebasan yang diamaksud adalah manusia harus terbebas dari segala bentuk belengu kekuasan yang kejam dan memaksa, sesama manusia tak boleh saling menguasai, dan sesama manusia harus menjamin kebebasan lainya dalam mencari penghidupan, memlih keyakinan, menjaga keturunan, berpendapat,dan menjagaga diri.
Semangat inilah yang dijadikan walisongo sebagai nilai nilai dalam berpolitik yang lebih mengedepankan asas persamaan derajat, musyawarah, keadilan, dan kerayaktan/kebebasan.
Sehingga bisa melahirkan umat atau rakyat yang kuat dan juga mandiri, keempat nilai inilah yang kemudian di integrasikan wali songo dalam membangun kerajaan Demak.
Dengan melihat perjuangan panjang walisongo, mestinya kita mampu menjadikanya sebagai semangat yang kuat dalam mengurai dan mencari benang merah di setiap persoalan yang kompleks kini kita hadapi.
Karenanya, gagasan yang dilahirkan mahasiswa sebagai representative orang yang terdidik sudah seharusnya benar benar terorientasi pada persoalan yang nyata dihadapi tanpa pandang bulu siapa yang menghalanginya.
Sudah saatnya mahasiswa kembali ke ruang – ruang diskriminasi, baik diskriminasi hak maupun keadilan, mahasiswa harus kembali, kembali keruang pendidikan, mendidik dan memotivasi generasi.
Realita hari ini telah benar – benar membawa pergi identitas diri, semua hal telah dijadikan komoditi, akibat arus globalisasi yang telah mengalir begitu cepat keseluruh penjuru negeri Indonesia.
*Mahasiwa Magister Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.