Oleh : Fauzan Azima*
Kampungku memang unik. Tingkat kegembiraan mereka di atas rata-rata dibandingkan kegembiraan penduduk Indonesia di kampung lainnya. Penduduknya yang heterogen tidak menghalangi rasa kebersamaan untuk bergembira. Dalam masa paceklik pun mereka tetap bergembira. Apalagi pada saat musim panen kopi. Tentu berlipat ganda kegembiraannya.
Kampung kami terletak di daerah pegunungan. Ketinggiannya antara 1000 sampai dengan 1200 meter di atas permukaan laut. Cuacanya dingin dan hampir sepanjang tahun hujan. Suasana hati yang selalu bergembira untuk mengatasi rasa dingin yang kadang menusuk tulang. Kegembiraan sedikit memberikan stimulus untuk menghangatkan tubuh.
Alam kampungku gunung dan lembah. Sifat penduduknya pun mewakili alamnya. Seperti gunung, ada orang yang keberaniannya membumbung tinggi. Tapi tidak jarang juga ada yang lahir sebagai pengecut. Bagaikan lembah yang bersembunyi di kaki gunung tinggi. Hebatnya, antara pengecut dan pemberani sama-sama tetap bergembira.
Kegembiraan membuat masyarakat kampungku berspekulasi tinggi. Pada waktu panen, petani palawija banyak yang terpaksa membuang hasil panennya karena harga terlalu rendah. Bagi mereka yang penting berusaha dulu. Soal resiko atau untung urusan belakangan. Walaupun pada kenyataannya lebih sering ruginya dari pada untungnya.
Soal nekad menanggung resiko, bukan saja menjadi dominasi petani palawija. Para kontraktor di kampungku pun tidak jauh beda. Pokoknya dapat kerja. Ada rasa bangga, andai bisa mengerjakan proyek-proyek pemerintah. Namun demikian, faktanya tidak banyak kontraktor mendapatkan keuntungan dari pekerjaannya.
Tidak sedikit pula, para kontraktor setelah menyelesaikan proyeknya justru berutang. Bagaimana bisa untung, proyek yang “lemak” hanya untuk anak dan sanak saudara pemimpin kami. Sedangkan kontraktor kampungku, sudah dapat proyek yang untungnya tipis, harus setor lagi ke dalam yang bertingkat-tingkat. PA, KPA, PPTK, empat penjuru mata angin, tetek bengek dan lain sebagaimanya harus “disiram” agar semua kegiatan berjalan lancer.
Nasib petani palawija dan kontraktor di kampungku sebagai bukti, mereka termasuk golongan orang-orang yang sabar. Dizalimi tetap sabar. Ditipu tetap sabar. Diberi harapan palsu juga sabar. Orang-orang kampungku unik memang. Cepat sekali melupakan kejahatan orang. Padahal telah menimpanya berulang-ulang.
Alangkah penyabarnya masyarakat kampungku. Kalau sekarang masyarakat menghujat, berarti tingkat kezaliman pemimpin itu telah melewati batas kesabarannya. Kalau ada masyarakat yang mencaki maki dan menyumpahserapahi pemimpin kami di kampung, bisa dipastikan pemimpin itu telah jauh dari sifat terpuji.
Padahal orang di kampungku, tidak seperti daerah lainnya yang cenderung menjadikan pemimpin sebagai sasaran amarah. Masyarakat kampungku seperti orang-orang di negeri jiran, Malaysia, selalu mendoakan pemimpinnya. Terutama setelah menunaikan shalat Jum’at.
Mereka tidak menyesal telah memilih pemimpin yang salah. Mereka telah mengambil pelajaran dan hikmah selama lima tahun terakhir. Menyesal kemudian tiada guna. Pada masa depan harus teliti dalam memilih pemimpin. Jangan sampai terjadi “tulak tem, geh tung (menolak orang jelek, lalu datang orang yang lebih jelek).”
Pada kepemimpinan masa lalu, banyak pelajaran yang bisa kita beritahu kepada anak cucu kelak. Dua pemimpin yang sebelumnya misalnya; yang pertama membawa uang sebanyak-banyaknya dari pusat ke kampungku. Terobosannya telah merubah wajah kampung kami. Pemimpin yang kedua, sebelum pemimpin sekarang, memang tidak sehebat pemimpin yang pertama, tetapi mampu membangun politik dinasti.
Nah, bagaimana dengan pemimpin kampung kami sekarang ini? Apa yang bisa kami ceritakan kepada generasi yang akan datang? Yang kami tahu “legasinya” adalah “politik kucing kawin.” Dalam mewujudkan kenikmatannya, dia merekayasa kegaduhan. Masyarakat bingung, apakah mereka sedang ribut atau justru sedang bermesraan.
Baca Episode 1 Disini : Cerita dari Kampungku (Episode 1); Pemimpin Kami Sidang Bela
Dalam “politik kucing kawin” menafikan akhlak. Datang A, puji A dan busukkan B. Selanjutnya datang B, puji B dan busukkan A. Begitu terus berulang-ulang sampai semua berantakan. Endingnya dalam suasana kacau balau itu, dia beroleh kenikmatan. Yah, begitulah “politik kucing kawin.”
(Mendale, November 8, 2022)