Cerita dari Kampungku (Episode 1); Pemimpin Kami Sidang Bela

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

AKU baru saja kembali ke Kutaraja setelah dua pekan berada berada di kampung. Aku ingin bercengkerama dengan istri. Bersenda gurau dengan anak-anak, dan tentu saja, aku ingin sesaat terbebas dari hiruk pikuk politik. Kampungku adalah tempat paling tepat untuk menghilangkan segala penat bekerja di sebuah jawatan.

Di kampung, aku bertemu dengan banyak sahabat dan teman dengan segala model. Mereka bercerita tentang apa saja saat kami bertemu. Cerita yang sama tidak terdengar membosankan saat bertemu mereka. Ada yang tergila-gila dengan urusan sosial-politik. Ada yang juga yang merasa jijik dengan urusan politik.

“Politikus itu bangsat!” kata sahabatku yang ekstrem. Tentu saja itu pandangan yang tidak perlu diperdebatkan. Bagiku, itu adalah isyarat untuk diam dan siap mendengarkan keluh kesah sampai dia bosan sendiri.

“Politik itu kotor.” Dia menutup seluruh keluh-kesah dengan kalimat gamblang. “Saya tidak akan membiarkan tubuh ini jatuh dalam kubangan lumpur politik.”

Padahal aku berulang kali menjelaskan kepadanya bahwa politik itu adalah salah satu sifat Nabi Muhammad saw, yakni fathanah. Kata dalam bahasa Arab itu berarti cerdik dalam bahasa Melayu dan politic dalam bahasa Inggris. Sifat politik itu disematkan kepada sahabat sekaligus menantu nabi, Ali Bin Abi Thalib ra.

Tapi penjelasan itu tidak cukup meyakinkan sahabatku untuk mengubah pandangan. Dia tetap keukeuh bahwa politik merusak tatanan kehidupan masyarakat. Dan, ini telat saya sadari, selama berada di kampung, pendapat itu seperti menjadi pandangan seluruh masyarakat di kampungku.

Hampir setiap teman yang kujumpai berpendapat sama walau diucapkan dengan diksi yang berbeda. Tidak jarang aku harus menarik nafas panjang dan mengurut dada. Politikus bangsa, politik kotor, politik dinasti, dan banyak lagi istilah yang tak enak didengar dari mulut, mereka bermuara pada satu sosok: pemimpin kampungku yang tidak becus. Mereka juga menyebut pemimpin kampung kami cogah, dan tidak kapabel.

Semula aku memilih bersikap masa bodo. Aku berpikir itu sekadar sentimen pribadi. Mungkin mereka ada yang tidak dapat proyek dari pemimpin itu. Jalan paling mudah untuk menumpahkan kekesalan adalah dengan mengarang cerita tentang tentang keburukan si pemimpin. Belakangan, saya menyadari bahwa cerita mereka bukan isapan jempol belaka.

Syahdan, pada satu malam, di sela-sela waktu senggang, aku duduk santai sambil menghisap cerutu “SWY Gayo Sigar”. Cerutu ini digadang-gadang sebagai cerutu terbaik kedua di Indonesia. Cerutu ini dibuat oleh seorang sahabat yang memang lebih cocok jadi seniman ketimbang birokrat. Terkadang, saat melihatnya, saya seperti melihat Sujiwo Tejo, Presiden Jancukers. Cerutu itu aku nikmati di teras rumah kayu, di tepi Danau Lut Tawar.

Dalam kesendirian itu, aku mencoba mengurai persoalan yang mendera pemimpin di kampungku. Kata orang kesendirian itu mencerdaskan. Saat sendiri, kita memberikan ruang bagi hati dan pikiran untuk berdialog, bertukar pikiran. Mengurai seluruh informasi dengan pengetahuan yang tertanam dalam benak dan pikiran tentang pemimpin itu.

Akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan. Mungkin ini adalah jawaban atas persoalan-persoalan itu. Mendapatkan jawaban itu seperti memberikan energi baru; aku merasa tercerahkan. Orang Jawa menyebutnya sebagai wangsit. Semua itu tersebab nama.

Nama itu jujur. Seperti rasa, nama juga tidak pernah bohong. Daug Hooper menulis, “Anda adalah apa yang Anda pikirkan”. itu semua bermula dari nama. Sifat dan rahasia seseorang terletak pada pada namanya. Tak salah bila para pencari Tuhan, pesalik, berpendapat, “siapa yang mengetahui namanya, akan selamat di dunia dan di akhirat.”

Selama ini, aku, seperti banyak orang di kampung, terjebat pada wujud. Wajah tanpannya telah menyihir aku dan masyarakat. Kami mengira, tampang rupawan adalah modal untuk menata negeri ini menjadi yang lebih sejahtera, menjadi Baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.

Pemimpin kami bernama Sidang Bela. Saat nama itu dibedah berdasarkan ilmu nenek moyang kami, merike geral, Sidang Bela terdiri atas empat suku kata, yaitu si-dang-be-la. Uraiannya adalah, pertama matahari terbit, ini bermakna sangat baik. Kedua telaga di atas bukit, ini juga berarti baik. Makna ketiga cukup buruk; abu di atas tunggul. Keempat berati anak reje kepanasan. Ini juga bermakna sangat buruk.

Ilmu merike geral setara dengan ilmu “rahasia Allah”. Ilmu itu berisi rahasia tentang langkah, rezeki, jodoh dan maut. Kalau dihubungkan dengan Sidang Bela, dengan empat suku kata, nama itu berarti maut; celaka. Bahkan dalam urusan memadu kasih, Sidang Bela menjadi cinta yang gugur bersama daun-daun kekeringan.

Bagi orang Gayo yang punya tradisi berburu, Sidang Bela malah dianggap sebagai jin pengganggu. Perilakunya menyebalkan. Sidang Bela senang mengagalkan upaya pemburu untuk menangkap rusa, menjangan dan kambing hutan. Pemburu harus merapalkan mantra; “Sidang Tetap, Sidang Mukmin, Saleh Salihin…dan seterusnya” untuk mencegah gangguan “Sidang Bela.”

Sungguh petunjuk itu sangat dekat. Karenanya, pada masa yang akan datang, hati-hati memilih pemimpin. Jangan sampai terjebak pada rupa yang elok. Kalau hanya karena tampang, Christiaan Snouck Hurgronje pun tampan, tetapi daya rusaknya telah membuat orang Aceh kehilangan identitas diri. Salah memilih pemimpin, setidaknya lima tahun rakyat menderita lahir dan bathin.

(Mendale, November 4, 2022)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.