Dalam beberapa waktu ini, laman media sosial ada yang menampilkan kopi Komasti, yang kabarnya banyak di buru oleh para petani kopi di dataran tinggi Gayo.
Namun, apakah cocok benih kopi tersebut di tanam di daerah yang kini telah di akui penghasil kopi terbaik di dunia ini? LintasGAYO.co mencoba mengulik lebih dalam tentang varietas ini.
Komasti merupakan bibit yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Jember.
Dihimpun dari beberapa sumber, Komasti merupakan singkatan dari Komposit Andungsari Tiga.
Pembentukannya terdiri dari 6 genotipe yang secara morfologi serupa/identik tetapi secara genetika memiliki gen ketahanan yang berbeda, sehingga ketahanannya tidak mudah terpatahkan, serta lebih toleran terhadap perubahan kondisi lingkungan, karena variabilitas genetik genotipe-genotipe pendukungnya.
Varietas Komposit disusun dari banyak varietas bersari-bebas, varietas sintetik dan dapat diikut-sertakan hibrida. Varietas Komposit juga disebut sebagai germplasm pool karena merupakan pool dari plasma nutfah.
Dari penjelasan itu, dapat disimpulkan bahwa, Komasti adalah jenis benih yang direkayasa secara genetik melalui proses penelitian oleh para ahli.
Konon, varietas ini katanya bisa menghasilkan produksi kopi mencapai 2,1 ton greenbean dengan populasi tanam 2000 batang per hektar.
Namun, cocok kah varietas ini ditanam di dataran tinggi Gayo?
Dalam suatu kesempatan, LintasGAYO.co mencoba berbincang dengan salah seorang pelaku kopi yang kini tengah mengembangkan sistem tanam pagar, Armiyadi.
Dalam bincang-bincang santai tersebut, Armiyadi mengatakan, Komasti adalah varietas kopi yang dibuat secara komposit.
Seperti yang telah dijelaskan tadi, Komposit merupakan hasil rekayasa genetika dari beberapa genotipe, maka Armiayadi menyarankan agar para petani di Gayo tidak serta merta mengganti varietas kopinya ke Komasti.
“Kita harus pahami dulu, Komasti atau kopi komposit, secara kita lihat-lihat foto, terlihat keren. Tapi kita harus pelajari dulu polanya bagaimana,” kata Armiyadi.
Menurutnya, kebiasaan masyarakat Gayo yang mengambil benih langsung dari biji segar yang ada pada batang kopi, tentu menjadi pertimbangan untuk mengembangkan jenis varietas Komasti ini.
“Kenapa saya sampaikan demikian, karena kebiasaan petani kita demikian. Mana kopi yang dianggap unggul dari suatu kebun, lalu ambil buahnya kemudian benihkan, lalu tanam. Begitukan kebiasaan kita,” kata Armiayadi.
Hal tersebut yang harus terlebih dahulu dipahami. Karena, varietas Komasti, meski dibeberapa tempat seperti di Sumatera Utara terlihat tumbuh dengan baik, tapi pola pembibitannya tidak sama dengan kebiasaan petani kopi di Gayo saat ini.
“Jadi, namanya Komposit yang saya ketahui, jika diambil bijinya terus dibenihkan lagi, maka akan terjadi potensi penyimpangan yang sangat tinggi. Tidak akan sama jika ditanam pada Filial pertamanya (F1),” katanya.
Jadi menurutnya, varietas Komasti tidak dapat dibenihkan, namun petani harus memesan langsung F1 nya ke Puslitkoka di Jember.
“Jadi jangan salah informasi, Komasti itu varietas komposit. Kalau mau order harus langsung ke Puslitkoka baru kita dapat benih yang F1 nya,” tegas Armiyadi.
Ia mengaku pernah melihat varietas ini yang ditanam di kebun milik warga Aceh Tengah di kawasan Kecamatan Bies.
“Begitu saya lihat, kondisinya kurang memuaskan. Berbeda dengan varietas yang selama ini dikembangkan di Gayo baik Ateng Super dan jenis Tim-Tim dan Longberry,” jelasnya.
Ia berpesan, agar petani Kopi di Gayo mempertahankan varietas yang ada di Gayo, baik itu G-1, G-1 maupun varietas G-3 yang beberapa waktu lalu telah diakui sebagai varietas asli dataran tinggi Gayo.
“Varietas ini sudah teruji, hanya saja dibutuhkan eksperimen-eksperimen dalam meningkatkan produksinya. Disini kita harus banyak belajar,” tandasnya.
[Darmawan Masri]