Oleh: Wisnu Hasan*
BERBICARA Ekonomi dan masyarakat Aceh Tengah tidak bisa dilepaskan dari kopi dan pariwisata. Sejak dulu Aceh Tengah dikenal sebagai kabupaten penghasil kopi Arabika terbesar di Indonesia. Penghasilan dari kopi menjadi penopang utama ekonomi sebagian besar keluarga di Aceh Tengah. Data Kementerian Pertanian tahun 2021, produksi kopi Gayo mencapai 64.000 ton, lebih dari 50 persen berasal dari Aceh Tengah, jika dikalikan dengan harga minimal green beans, uang yang beredar bisa mencapai Rp 4,8 Triliun, dan bisa jadi Rp 2,5 Trilliun menjadi penghasilan Aceh Tengah.
Dalam beberapa tahun terakhir, Aceh Tengah juga menjadi daerah tujuan utama wisata di Aceh, bahkan pada waktu- waktu tertentu seperti libur lebaran atau long weekend, tingkat kunjungan ke Aceh Tengah melebihi kapasitas penginapan yang tersedia.
Walaupun pada periode pandemi dan pemulihan, Aceh Tengah juga tercatat menjadi tuan rumah beberapa even nasional dan provinsi, mulai dari PTQ RRI, Dekranasda Provinsi se- Aceh, hingga rakor- rakor berbagai instansi atau lembaga di Aceh. Bermacam kegiatan tersebut menjadikan penginapan- penginapan di Aceh Tengah terisi nyaris penuh. Dalam periode 2 tahun terakhir, Aceh Tengah juga sudah dikunjungi oleh Wakil Presiden KH Ma’aruf Amien dan Menteri Koperasi UKM, Teten Masduki, sesuatu yang jarang terjadi pada daerah-daerah lain di Aceh.
Di balik berbagai capaian daerah di atas, sebenarnya masyarakat Aceh Tengah belum merasakan dampak signifikan, hal ini dapat dilihat dari tingginya pengangguran terselubung, banyaknya penerima PKH dan ketergantungan pada subsidi. Bahkan belakangan nyaris setiap hari antrean panjang kendaraan mengisi pertalite di SPBU di Aceh Tengah, artinya betapa tergantungnya masyarakat Aceh Tengah kepada bahan bakar bersubsidi.
Pariwisata yang telah berkembang pesat seharusnya memberi manfaat yang besar untuk banyak warga Aceh Tengah, bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang, yaitu para pemilik penginapan (hotel, guest house dan homestay). Betapa tidak, menurut penuturan beberapa wisatawan dan pelaku kegiatan pariwisata di Aceh Tengah, sebagian besar pengeluaran pengunjung habis untuk penginapan, angka tersebut mencapai 70% dari spending mereka, sehingga yang tersisa untuk belanja atau menikmati atraksi- atraksi di Aceh Tengah sangatlah minim. Dapat dikatakan keuntungan dari booming pariwisata tidak dinikmati merata oleh warga Aceh Tengah.
Penataan kualitas layanan dan harga penginapan di Aceh Tengah itu ibarat bom waktu yang suatu saat akan meledak. Sebenarnya keluhan itu sudah lama digaungkan dan rasanya mustahil Pemerintah Kabupaten tidak mengetahuinya. Memang, penataan dan standarisasi itu kebijakan yang tidak populis, pihak yang selama ini diuntungkan kemungkinan akan resisten dan bisa jadi dihindari oleh pemerintah incumbent menghadapi tahun- tahun politik.
Fenomena lain yang cukup menggelikan di Aceh Tengah adalah tentang kabar minimnya sisa kas keuangan Pemkab. Mengacu pada Qanun No. 4 tahun 2021 tentang APBK Aceh Tengah sebesar Rp 1,274 Trilliun, sekitar 70 persennya (Rp 899 Miliar) dihabiskan untuk biaya operasional (pegawai, barang dan jasa, hibah dan lain lain). Situasi ini tidak semestinya terjadi jika pimpinan daerah lebih selektif dalam alokasi anggaran dan menyelenggarakan even- even yang benar berdampak untuk warga Aceh Tengah. Kita tidak harus membiayai even provinsi atau nasional jika hanya membebani APBK tetapi tidak menambah peredaran uang di Aceh Tengah dari sumber- sumber luar, terutama belanja pengunjung.
Potensi peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) Aceh Tengah sebenarnya bisa diperoleh dari booming pariwisata dan nilai kopi Gayo yang semakin meroket, dengan pengenaan retribusi yang tepat dan adil. Tetapi hal itu hanya dapat terjadi jika pimpinan daerah berani dengan kebijakan- kebijakan non populis tapi dapat bermanfaat bagi warga yang lebih banyak.
Masyarakat Aceh Tengah yang sebelumnya berharap kepada DPRK agar mampu menjadi penyeimbang dengan fungsi pengawasan, check and balance malah mendapat cerita tentang keterbelahan kelompok 10 dan 20.
Kondisi tersebut diperparah dengan minimnya kemunculan tokoh- tokoh intelektual terutama dari kalangan muda yang berani mengetuk hati para pemimpin Aceh Tengah agar memiliki kepekaan dan kesamaan tujuan untuk memperhatikan kepentingan rakyat walaupun dengan cara dan wadah masing- masing. Kalangan intelektual muda Aceh Tengah yang sering terlihat bertukar wacana di media sosial umumnya hanya sibuk dengan kepentingan kelompoknya, seringkali sifat kritis mereka memudar hanya dengan dilibatkan dalam kegiatan- kegiatan pemerintah daerah, meskipun itu berkesan recehan dan minim manfaat.
Berbagai kondisi runyam di kalangan elit Aceh Tengah sebaiknya tidak dipendam begitu saja, apalagi menjelang berakhirnya masa pemerintahan Shabela-Firdaus seharusnya dapat meninggalkan kesan dan legacy bagi generasi akan datang. Aceh Tengah perlu berbenah secara massal dan tidak perlu saling menyalahkan. Kepada pihak legislatif dan intelektual Aceh Tengah juga diharapkan dapat menjalankan fungsi kontrol sosial sehingga proses transformasi kepemimpinan tahun 2024 dapat mengakomodir kepentingan masyarakat yang lebih luas.
*Penulis adalah Politisi dan Kader Partai Demokrat Aceh Tengah