Oleh : Dinika Yusuf*
Sabtu malam, sekitar pukul 8, kami mendarat di Bandara Adi Soecipto, Jogjakarta. Di pintu kedatangan kawan kak Novita Sari sudah menunggu dan menyambut kami dengan ramah. Dia akan meminjamkan sepeda motornya kepada kami. Tidak mungkin kami naik sepeda motor “tarik tiga”.
Apalagi masing-masing dari kami membawa tas koper besar. Sehingga kak Novi harus mengantarnya terlebih dahulu ke daerah Bantul, baru kemudian menjemput saya kembali ke bandara.
Suasana bandara sudah mulai sepi. Penumpang dan penjemput semua sudah pergi. Tinggal saya sendiri duduk di kursi bandara menunggu kak Novi dengan harap-harap cemas. Wajar sajalah, ini pengalaman saya pergi jauh, merantau di negeri orang.
Biasanya kemanapun pergi selalu ditemani ayah dan ibu. Namun begitu saya harus kuat dan berani dalam menghadapi kenyataan hidup yang penuh tantangan. Keyakinan itu membuat saya semakin berani.
Satu hal yang membuat saya sangat bahagia ketika menginjakkan kaki di Jogjakarta, yaitu sirnanya beban “kesurupan” yang selama ini memasung hidup saya. Rasa dan perasaan saya sangat plong. Rasa sakit, khawatir, beban fikiran yang membelenggu sirna seketika.
Badan saya terasa ringan dan fikiran saya pun terasa jernih. Saya merasa baru terlahir ke dunia yang akan menjalani hidup baru yang bahagia. Ingin rasanya saya berteriak, “Merdeka!”.
“Maaf Mbak! Sedang menunggu siapa?” sapa satpam bandara dengan logat Jawa medok menghentikan dialog dalam fikiran saya.
“Saya sedang menunggu kakak saya yang sedang mengantar temannya ke daerah Bantul, Mas!” jawab saya tanpa ragu.
“Oh baik Mbak, lumayan nunggunya, kira-kira setengah jam” katanya ramah dan ia pun berlalu ke pintu keberangkatan bandara.
Setelah satpam bandara pergi, saya kembali mengingat-ingat pernah “hidup sebagai orang gila” di kampung. Saya membayangkan ayah, ibu dan adik Afdal yang saya tinggalkan.
Mereka pasti merasakan sedih kehilangan saya, begitupun sebaliknya saya pun sangat sedih tanpa kehadiran mereka. Tapi kehidupan ini harus terus berjalan. Tuhan tidak tidak merubah nasib seseorang, sebelum seseorang itu yang merubahnya sendiri.
Rasanya baru sebentar fikiran saya bermain-main, kak Novi sudah sampai menjemput saya. Malam itu kami berkeliling menikmati kota Jogja dengan sepeda motor. Kak Novi menunjukkan kepada saya ikon Kota Jogja; salah satunya kawasan Malioboro dengan makanan khas nasi gudeg, yakni nasi dengan lauk yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan.
Malam itu kami juga melewati kampus Universitas MuhammadIyah Yogjakarta (UMY) di Bantul. Kami sempatkan berhenti di sebuah warung tenda yang berjejer di pinggir jalan. Pada tendanya tertulis “pecel lele”.
“Kok malam yang sudah agak larut, Kak Novi mengajak saya makan pecel?” tanya saya dalam hati.
Ternyata tidak seperti yang saya duga. Pelayan warung tenda itu menghidangkan nasi putih, ikan lele goreng dan sambal terasi serta lalapan dari daun kemangi dan sayur kubis mentah.
Malam itu, kami tidak langsung menginap di kamar kos baru Kak Novi. Sementara kami numpang tidur di kamar kos kawannya karena kamar kos yang baru harus dibersihkan terlebih dahulu baru bisa ditempati. Malam itu kami ingin menikmati hidup tanpa beban.
Sejak kami mendarat di Bandara Adi Sucipto sampai menjelang tidur, tidak pernah terbayang sebelumnya dengan kebahagiaan yang seperti saya alami waktu itu. Cepat sekali rasanya waktu berlalu.
Saya terkagum-kagum dengan keindahan Kota Jogja di malam hari dan keramahtamahan penduduknya. Perjalanan seharian tidak membuat saya lelah. Setelah beberapa waktu ngobrol ngalur ngidul, akhirnya saya pun tertidur pulas.
Ketika esok paginya terbangun saya seperti bermimpi telah berada di daerah Jogja, yang dikenal sebagai “Kota Pelajar” yang dikenal dengan kampus “Top Ten Indonesia” yakni Universitas Gajah Mada (UGM). Pagi itu kak Novi mengajak saya ke sana yang kebetulan setiap hari Minggu ada kegiatan “Sunday Morning” yaitu pasar dadakan di sekitar Kampus UGM, tepatnya berada di jalan Notonegoro yang menjadi pembatas antara kampus UGM dengan kampus UMY.
Di “Pasar Kaget” itu kami berbelanja beberapa kebutuhan untuk kamar kos kami yang baru. Setelah itu kami tancap gas ke kos. Bapak Kos memberikan kunci kamar sambil memberi tahu peraturan selama berada di dalam kos. Tidak ada yang berlebihan dari peraturan itu. Semua normatif saja. Saya kira kos di manapun akan menerapkan peraturan yang sama. Misalnya menjaga sopan santun dan selalu menjaga kebersihan.
Rumah kos itu agak unik. Bentuknya seperti “angka 7” yang satu sisi menghadap ke jalan raya dan sisi yang lainnya menghadap ke hamparan sawah dan beberapa makam warga. Kebetulan kami menjadi penghuni kamar di bagian atas. Desiran angin lebih terasa dan tidak terasa pengap. Kami kamar kos itu sedemikian rupa agar betah selama kami berada di sana.
Pada hari Senin, esok harinya, kami mulai berkenalan dengan penghuni kamar lainnya di kos itu. Sebagian dari mereka sebelumnya sudah pernah kenal dengan Kak Novi di kos sebelumnya.
Mereka sangat akrab. Keakraban itu tidak hanya sebagai tetangga, tetapi juga terbawa ke pergaulan sehari-hari. kami sering jalan bersama, nonton di bioskop dan masak. Pokoknya sesama penghuni kos di sana mereka sangat ramah seperti satu keluarga.
Sesekali Kak Novi mengajak saya ke kampus. Saya juga pernah mengikuti kegiatan organisasi mahasiswa di mana Kak Novi sebagai panitianya. Sejujurnya saya tidak faham dengan organisasi itu, tetapi daripada sendiri di kamar kos, lebih baik saya ikut, walau sekedar meramaikan acara itu. Anggap untuk “fun” saja. Apalagi kawan-kawan Kak Novi tidak keberatan dengan kehadiran saya. Banyaknya kegiatan, tidak terasa saya sudah seminggu berada di Jogja.
Kak Novi juga mengajak saya ke Asrama Lut Tawar di daerah Pingit. Tempat mahasiswa asal Gayo berkumpul. Kebanyakan mahasiswa itu berasal dari Aceh Tengah dan Bener Meriah, tetapi juga beberapa mereka mahasiswa yang berasal dari Gayo Lues.
Pada waktu itu, kami juga bersama mereka pergi ke Solo untuk menonton pertunjukan seni didong. Sepulang dari Solo kami juga menikmati indahnya pantai Pok Tunggal, salah satu gugusan pantai selatan di Jogja.
Saya benar-benar merasa sangat nyaman dan bahagia tinggal di Kota Jogja. Kota ini telah membangkitkan semangat hidup saya. Saking nyamannya, saya mulai terbiasa tinggal sendiri di kos, tidak ada rasa khawatir dan takut sedikitpun.
Sebelum sampai di Kota Jogja saya tidak pernah berani sendiri walaupun di dalam rumah. Sudah sekian lama, saya tidak pernah lagi mendapat gangguan dari makhluk halus atau jin. Saya benar-benar merasakan nikmatnya hidup di “Kota Gudeg” ini. (Bersambung)
(Teritit, 26 Agustus 2022)