Oleh: Dinika Yusuf
Masa-masa SMA seharusnya menjadi puncak kebahagiaan remaja karena di masa itu adalah peralihan dari masa kanak-kanak ke remaja. Bergosip tentang anak pindahan dari sekolah lain, berpetualang ke alam liar dengan kawan kompak. Itu tidak pernah saya alami.
Cerita itu seperti dongeng. Keindahan masa-masa SMA hanya bisa saya bayangkan. Saya merasa sangat tidak beruntung.
Saya lebih akrab dengan hinaan dari kawan-kawan di sekolah. Pada satu titik, saya merasa sangat muak dengan semua hal . Itu semua seperti mimpi buruk namun kita tidak berdaya untuk segera bangun.
Trauma dari perlakuan buruk itu masih saya rasakan sampai saat ini. Saya hanya bisa berharap semoga tidak ada lagi remaja yang merasakan peristiwa buruk ini.
Semua itu bermula dari guna-guna. Entah apa yang membuat pelaku dirasuki kebencian yang benar-benar menghancurkan saya. Bahkan kesengsaraan itu merambat ke keluarga.
Perlahan-lahan, orang tua saya mulai merasakan kesulitan ekonomi karena harta yang ada dihabiskan untuk merawat dan mengobati saya. Bagi saya, hidup terasa hampa. Saya tidak mampu berpikir untuk diri sendiri.
Saya merasa bahwa diri saya sudah tidak ada. Kecewa pada keadaan diri dan lingkungan. Seluruh dukun, tabib, sinshe, bahkan orang-orang alim tidak ada yang mampu mengobati.
Pada tahun itu juga bapak dan ibu menjual aset; kebun kopi, mobil, perabotan rumah, bahkan sepeda adik bungsu saya, Afdhal, terpaksa dijual demi bertahan hidup.
Tujuan orang yang mengguna-gunai itu tercapai. Orang tua saya bangkrut. Dua tahun kami “dikerjai” oleh orang-orang yang iri dengki ini.
Sampai akhirnya Allah mengirimkan pertolongan lewat kakak saya, Novita Sari. Saat itu dia pulang ke kampung untuk berlibur. Dia kuliah di Jogja.
Air matanya tumpah saat melihat kondisi saya seperti zombie. Dia memaksa saya untuk meninggalkankan kampung dan melanjutkan sekolah di Jogja.
Ide ini bukan tanpa pertentangan. Keluarga menolak untuk melepas saya. Saya mendengar kakak berdebat dengan bapak dan ibu. Seperti kakak, saya juga berpikir untuk pergi. Jogja terdengar seperti pilihan yang tepat untuk menyembuhkan diri. Bapak dan ibu mengalah. Dengan berat hati, mereka mengizinkan saya ikut kakak.
Saya merasa kepergian ini bakal mengembalikan keceriaan dan kesehatan mental. Guna-guna itu benar-benar mengacaukan hidup saya. Saya jadi orang yang gampang tersinggung dan kerap menyalahkan diri sendiri. Bahkan saya memutuskan tidak lagi bersekolah di kampung.
Malam perpisahan itu tiba. Bapak, ibu dan adik melepas kepergian kami. Dari kampung, kami naik bus ke Medan sebelum terbang ke Jogja. Masih tergambar jelas dalam ingatan wajah dan mata ibu dan adik saya yang sedih. Tapi kami yakin pergi ke Jogja adalah ikhtiar untuk kebaikan semua. (Bersambung)
(Teritit, 18 Agustus 2022)