Serius Mencari Pemimpin Negeri Ini?

oleh

Oleh : Novita Sari*

Negeri Gayo yang saya maksud adalah wilayah tengah tenggara Aceh; Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara, atau bisa disebut sebagai negeri antara. Kalau ada terjemahan lain tentang negeri Gayo, saya terbuka untuk dikoreksi.

Dalam pandangan kacamata saya yang nota bene sebagai perempuan, tidak sabar rasanya ingin bertanya, “Siapakah pemimpin esok hari yang berani berdiri tegak bahwa di tangannya negeri ini lebih baik?”

Sampai detik ini, belum ada yang berani menjawab pasti pertanyaan saya itu. Meskipun sudah ada yang mencoba dengan malu-malu kucing ingin tampil ke permukaan, tetapi sembunyi lagi, barangkali menunggu kelompok lain tampil terlebih dahulu.

Mungkin juga faktor keterbatasan modal atau brending tim sukses masih belum mampu menaikkan elektabilitasnya. Apalagi mengingat “pertempuran” yang sesungguhnya masih menunggu tahun 2024.

Sebagaimana telah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa negeri ini “negeri tua”. Tapi tidak berarti sudah banyak melahirkan generasi yang berilian sebagai pemimpin. Kondisi ini sudah menjadi “pandemi” di seluruh nusantara.

Krisis pemimpin di Gayo banyak faktor. Di antaranya adalah perang dan konflik. Perang di masa kerajaan sampai perang membela kemerdekaan Indonesia, Gayo banyak “menyumbangkan” para syuhada. Kemudian diteruskan konflik; DI/TII, PKI dan GAM.

Setelah konflik dilanjutkan dengan pembunuhan karakter “calon pemimpin” masih terjadi. Orang-orang yang kalah bertarung dalam politik dimatikan ekonominya dan akses untuk bangkit kembali ditutup.

Selanjutnya, tidak ada pembinaan pada generasi muda untuk menjadi estafet kepemimpinan kelak. Sehingga lahir pemimpin-pemimpin “karbitan” yang menjalankan kepemimpinannya hanya “copy faste” dari pemimpin sebelumnya.

Kita hanya berpasrah dengan kondisi yang memprihatinkan tersebut. Tapi masih sangat berharap banyak pihak yang “turun gunung” untuk meramaikan kontestan pemimpin masa akan datang.

Seperti Mustafa chamran (1932-1981) seorang ilmuwan Iran yang rela meninggalkan laboratorium kimianya yang nyaman untuk ikut bertempur demi negaranya.

Tentu saja kepemimpinan negeri ini bukan saja dominasi laki-laki, sebaliknya perempuan pun harus segera tampil, bukan saja untuk mewarnai perpolitikan negeri ini, tetapi serius ingin terlibat memperbaiki negeri ini.

Sebagaimana seriusnya Inen Mayak Teri menuntut balas kekejaman pasukan penjajah Belanda, seserius Datu Cari sebagai perempuan petempur terakhir dan seserius Datu Beru sebagai hakim yang mendapat gelar “Kadhi Malikul Adil”.

*Novita Sari adalah anggota paguyuban Kagayo (Keluarga Alumni Yogyakarta), pernah kuliah pada Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.