Menelisik Makna Hijrah

oleh

Oleh : Johansyah*

Tidak terasa, saat ini kita sudah berada di ruang di 1 Muharram 1444 Hijriyah. Tahun baru Islam ini memiliki makna mendalam dan menyimpan nilai historis yang penuh hikmah. Nilai dan hikmah inilah yang senantiasa terus kita gali dalam upaya menemukan esensi dari hijrah itu sehingga lebih berarti dan dapat kita isi dengan aktivitas yang lebih bermanfaat.

Hijrah berasal dari kata hajara yang bermakna berpindah (tempat, keadaan, atau sifat) atau juga bermakna memutuskan, yakni memutuskan hubungan diri seseorang dengan pihak lain. Makna lainnya adalah panas menyengat yang memaksa pekerja meninggalkan pekerjaannya.

Secara syar’i, hijrah adalah pindahnya Rasulullah SAW bersama para sahabatnya dari darul musyrik (di Mekkah) ke daruttauhid (di Madinah) dalam upaya melakukan penempaan dan pembinaan masyarakat Islam yang ideal.

Atau meninggalkan tempat, keadaan, atau sifat yang tidak baik, menuju yang baik di sisi Allah SWT dan Rasul-Nya (Kembali kepada ajaran yang benar). Kata hijrah sendiri disebutkan sebanyak 31 kali.

Sekiranya kembali kepada aktivitas hijrah Rasulullah SAW, kita akan menemukan berbagai makna, kesan dan pesan; pertama, hijrah adalah upaya menyelamatkan diri dan melakukan persiapan yang lebih matang.

Ketika beliau memutuskan hijrah ke Yasrib (Madinah) dengan para sahabat, itu semata karena pertimbangan keamanan yang bersifat darurat. Sebab saat itu orang Quraisy berencana membunuh beliau dan menghabisi para pengikutnya karena kebencian terhadap dakwah Islam yang beliau kembangkan.

Jadi kepindahan beliau ke Madinah bukan karena lari karena takut melawan musuh. Hanya saja melihat situasi saat itu, tidak memungkinkan bagi beliau untuk melakukan perlawanan sehingga untuk sementara waktu harus mencari tempat aman, sambil melakukan persiapan yang lebih matang.

Memang demikian, setelah di Madinah beliau mulai membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat yang ada di sana, menyatukan antara pendatang dan masyarakat setempat dengan mempersaudarakan mereka.

Selanjutnya secara bertahap membangun sebuah sistem kultural dan struktural berdasarkan nilai-nilai Islami, yang dimulai dari mengubah nama Yasrib menjadi Madinah (kota yang berperadaban, memiliki sisitem yang baik). Setelah memiliki persiapan mapan, barulah beliau kembali ke Mekah, itu pun datang dengan cara yang baik-baik, tidak datang dengan amarah ataupun dendam ingin menghancurkan mereka yang sebelumnya selalu menentang dakwahnya.

Kedua, hijrah sering pula dimaknai sebagai momentum evaluasi diri. Para penceramah sering mengutip ayat berikut ini; “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18).

Meskipun pada hakikatnya, mengoreksi diri itu dapat dilakukan si setiap saat, tapi 1 Muharram sebagai pertukaran tahun baru Islam setidaknya menjadi salah satu momentum terbaik kita untuk melakukan evaluasi diri.

Bagaimana pun salah satu ciri orang yang baik adalah dia yang senantiasa mengevaluasi kekurangannya, bukan menyebut atau mengingat-ingat kelebihannya.

Evaluasi diri erat kaitannya dengan perputaran waktu. Waktu begitu cepat berlalu, sementara persiapan bekal kita menuju kampung akhirat jelas masih minim. Buktinya kita masih ragu untuk mati dan kebanyakan kita memohon dipanjangkan umur.

Salah satu penyebabnya karena kita terlalu fokus menjadikan dunia sebagai tempat tinggal, bukan sebagai tempat meninggal. Padahal tempat tinggal kita yang sesungguhnya adalah akhirat, tapi justru kita terlena dengan tempat tinggal sementara yang di sana kita meninggal, dan meninggalkan seluruh kenikmatan yang ada di sana.

Salah satu syair Arab yang begitu indah mengungkapkan; innama anta ayyamun, idza madha minka yauman, madha ba’dhahu (sesungguhnya kalian adalah rangkaian hari. Jika sehari berlalu dari kalian, maka terlewatkan pula satu hari umur kalian).

Hal ini pula yang menjadi alasan kenapa al-Qur’an sering bersumpah dengan waktu; demi masa, demi matahari, demi dhuha, demi malam, demi siang, dan seterusnya.

Artinya waktu itu begitu cepat berlalu, sementara kita sering lalai dan terlena dalam mengarungi waktu, mengisinya dengan aktivitas yang tidak bernilai ibadah dan kebaikan, dan pintu kubur telah menunggu kedatangan kita.

Ketiga, hijrah adalah momentum perubahan dan kebangkitan. Hal ini juga tidak terlepas dari sejarah hijrah itu sendiri. Ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, banyak perubahan yang beliau lakukan, mulai dari mengubah konsep negara, bagaimana sistem yang dibangun, apa hak dan kewajiban sebagai warga hingga pemimpin, dan seterusnya.

Dalam waktu yang relatif singkat beliau mampu membangun sebuah sistem pemerintahan yang tertata baik.

Kalau begitu, hijrah bukan sekedar berpindah tempat, tapi sejatinya mampu dimanfaatkan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini perlu kita contoh, sebab sering kali ketika ada yang berhijrah ke wilayah lain, justru dia tidak mampu melakukan apa pun, hanya sekedar pindah alamat KTP saja.

Dia tidak mampu bersosialisasi, berinteraksi, bereksistensi, apalagi berkontribusi. Malah sebaliknya, terkadang banyak orang yang hijrah ke wilayah lain, lalu membuat kekacauan dan maslah di sana. Ini bukanlah hijrah nubuwwah, karena hijrah nubuwwah adalah hijrah yang melahirkan perubahan individual dan sosial ke arah yang lebih baik.

Kehadiran kita ke tempat lain sejatinya seperti kehadiran Rasulullah SAW ke Madinah sebagai agen perubahan dan sosok teladan yang dirindukan.

Spirit perubahan ini juga menjadi modal kebangkitan umat dari berbagai aspeknya, baik secara individu maupun kolektif. Terlebih saat ini, harus diakui bahwa masyarakat muslim global berada di bawah tekanan barat dalam berbagai aspek kehidupan.

Dengan ungkapan lain umat Islam tidak berdaya dalam kedigdayaan mereka, terutama dalam bidang sains sehingga mau tidak mau kita harus berkiblat kepada mereka dan mengikuti apa kata mereka. Untuk itu penting bagi kita untuk membangun rasa malu terhadap masa lalu Islam yang pernah berada di era kejayaan dan keemasan.

Spirit itulah yang sejatinya kita bangun di momentum hijrah ini. Harus ada semangat seperti Turkey dan Iran saat ini sudah mulai di segani barat.

Dalam konteks kebangsaan kurang lebih sama. Saat ini kita berada dalam kondisi terpuruk. Bangsa ini dihadapkan kepada berbagai persoalan multidimensional. Semua itu tidak akan mampu diatasi kecuali oleh orang-orang yang mau dengan sungguh-sungguh melakukan hijrah.

Persoalan kita saat ini bukan minus orang cerdas, tetapi minus orang-orang yang berdedikasi dan berintegritas. Persoalan kita saat ini bukan pula minus orang baik, tapi minus orang yang peduli dan mau melakukan perbaikan.

Akhirnya mari kita manfaatkan momentum tahun baru ini untuk menata ulang visi dan misi kehidupan berdasarkan hasil evaluasi kehidupan sebelumnya. Selanjutnya kita jadikan sebagai tonggak awal melakukan perubahan menunju kebangkitan, baik individu maupun umat Islam seluruhnya. Wallahu a’lam bishawab!

*Dosen STIT Al-Washliyah Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.