Oleh : Dinika Yusuf*
Pada zaman dahulu, dalam kehidupan masyarakat yang masih sangat tradisional dan orang-orang masih mengandalkan alam sebagai penghidupannya. Sehingga pada sebagian orang ada rasa malu kalau tidak punya “asuh-asuhen” atau jin yang mendampinginya.
Mereka mendatangi pohon-pohon besar dan paya atau rawa dangkal untuk diletakkan sesajen sebagai persembahan kepada jin penunggu di sana. Sesajen itu berupa apam atau ayam panggang yang diletakkan pada wadah yang terbuat dari anyaman bambu atau rotan.
Jin itu tidak membawa atau menyantap langsung makanan yang disajikan itu. Makanan tetap utuh tidak berkurang sedikitpun. Mereka hanya mengambil sarinya. Sehingga kalau dimakan kembali rasanya sudah agak hambar.
Pelaku “asuh-asuhen” meminta tolong kepada jin itu untuk keselamatan dirinya atau justru mencelakai orang. Jin yang dimintai tolong, tentu tidak gratis, tetapi tetap meminta imbal balik. Jika pelaku ingkar, maka jin itu juga akan mencelakai dirinya. Akan berlaku seperti senjata makan tuan.
Apabila pelakunya meninggal, maka jin itu tidak punya tempat atau pengasuh lagi. Sehingga mencari keturunan pelaku pemuja jin, terutama anak cucunya yang “sama darahnya”. Jin itu akan selalu mengganggu bahkan berusaha masuk ke dalam tubuh orang-orang yang diinginkannya supaya “diasuh” kembali.
Biasanya orang yang bersekutu dengan jin tampak ketika akan meninggal dunia. Bahkan kata orang-orang tua, ada yang rohnya sudah pergi dari tubuhnya, tapi masih berjalan ke sana kemari, sampai tubuhnya membusuk dan hancur lebur.
Ada pula yang susah saat sakratul maut. Segala macam upaya dilakukan supaya rohnya terbang, bahkan ada yang harus membuka plafon dan atap rumahnya agar cepat meninggal supaya perderotaannya segera hilang.
Keturunan pelaku “asuh-asuhen” yang dikejar-kejar jin, sehingga ada sebagian yang sampai kesurupan itulah yang disebut penyakit “gegurun”. Para jin itu ingin dipelihara oleh salah seorang dari anak cucu para pengasuh jin, sebagai mana orang tuanya terdahulu memelihara dan melayani jin itu.
Sebagian ada orang yang kesurupan atau selalu diganggu jin, kalau dibawa kepada “guru kampung” maka biasa ia akan menyarankan agar “ikunulen” atau ditetapkan sebagai pengasuh jin yang pernah melayani orang tuanya dulu. Sehingga kalau sudah “ikunulen” maka segala yang pernah dilakukan oleh orang tuanya dulu harus dilakukan kembali. Seperti memberikan “gegayang” atau sesajen pada waktu-waktu tertentu.
Saya sendiri tidak mengetahui secara persis, apakah salah seorang pendahulu saya pernah melakukan “asuh-asuhen”? Atau apakah saya selalu kesurupan karena balas dendam dari orang-orang yang pernah “dipatahkan” ilmunya oleh kakek dari pihak ibu saya yang terkenal sebagai “guru kul” atau seorang tabib yang mumpuni di kampung saya.
Kakek saya bernama Abdul Karem seorang pensiunan Brimob (Mobrig) yang berasal dari Uluni Tanoh yang meninggal pada tahun 1997 dan dikuburkan di pemakaman umum Kute Kering, Bener Meriah.
Beliau pernah mengobati Danki TNI Lampahan (nama?) yang terkena penyakit gula basah (diabetes) sehingga badannya membusuk. Kakek saya mengobatinya dengan membaringkan di atas daun pisang sambil memberikan ramu-ramuan sampai Danki TNI itu sembuh total.
Sebagai “guru kul” kakek saya, tidak saja mengobati penyakit medis dan non medis tetangga di Kampung Berghendal, tetapi juga sering mengobati orang-orang yang sakit di daerah pesisir Aceh. (Bersambung?
(Teritit, 29 Juli 2022)