Oleh : Dinika Yusuf*
Orang tua tidak akan membawa anaknya ke dokter kalau anaknya kesurupan. Dokter tidak mampu mendiagnosa penyakit akibat kerasukan jin. Paling dokter akan memberi obat penenang supaya tidak terlalu gelisah kepada pasiennya. Orang tua akan mendatangi dukun atau di Gayo disebut sebagai “guru kampung” kalau keluarganya kesurupan.
Setelah saya “itanganen” atau diserahkan penyembuhannya kepada “guru kampung”, ternyata malam itu saya sembuh total dari gangguan jin. Namun pagi harinya di sekolah saya kesurupan lagi dan pingsan. Belum lama sadar, kesurupan kembali. Begitu seterusnya selama saya di sekolah. Akibatnya kawan-kawan mulai enggan dan ketakutan bergaul dengan saya. Terpaksa saya hanya bisa menyendiri.
Warga sekolah mulai terganggu dengan keberadaan saya. Berdasarkan keputusan rapat komite dan persetujuan orang tua saya, maka saya disarankan untuk berobat agar benar-benar pulih dari gangguan jin.
Saya pun selain berobat hanya berada di rumah saja dan tidak boleh melakukan kegiatan apapun di luar rumah. Saudara dan tetangga mulai mununjukkan rasa prihatin dengan berkunjung ke rumah ketika saya sedang kesurupan.
Ibu saya menyatakan, dalam sehari saya mengalami kesurupan sampai lima kali. Saya sendiri merasa hampir tidak pernah sadar lagi. Saya selalu merasa seperti di atas awan dan sudah jauh dari alam nyata. Hanya ketika setiap saya sadar badan terasa letih dan tubuh saya seperti tidak bertulang. Tidak kuasa sekedar duduk pun, apalagi berdiri.
Setiap malam, menurut ibu, saya tidur berpindah-pindah dalam kamar dan sering melamun, tetapi saya dalam keadaan tidak sadar dan seolah berada pada ruang hampa seorang diri, jauh dari hiruk pikuk dunia. Dalam keadaan seperti saya sangat merasa nyaman sekali. Kadang saya tidak ingin lepas dari perasaan itu. Barangkali kalau orang yang kecanduan narkoba itulah yang disebut sakau.
Para tamu dan orang tua saya yang berbicara atau menyapa, walau dekat, terdengar sangat jauh. Diri saya seperti bukan milik saya lagi. Saya dikendalikan oleh makhluk lain di luar diri saya. Walau terasa nyaman, sesekali bathin saya memberontak. Tetapi fikiran dan tubuh saya tidak bisa lepas dari penguasaan makhluk itu. Kadang-kadang orang menuduh saya hanya merekayasa situasi itu.
“Saya harus bagaimana lagi? Apa yang harus saya lakukan supaya terlepas dari petaka ini?” sesekali hati saya memberontak.
Ternyata waktu tidak bisa menyembuhkan “penyakit” saya. Sehingga keluarga memutuskan agar pindah ke rumah nenek untuk berobat secara intensif. Dari rumah neneklah saya mulai berobat kepada “guru kampung” ke “guru kampung” lainnya.
Di mana ada “guru kampung” populer, keluarga mendatanginya. Mereka mengeluarkan kemampuan dengan medianya masing-masing; dari membakar kemenyan, membaca mantra, melihat melalui jeruk purut dan ada pula yang mengeluarkan semacam keris.
Saya sendiri, dalam keadaan setengah sadar, ketika menghirup aroma kemenyan, badan saya mulai terasa panas. Kemudian saya meronta-ronta sambil menjerit-jerit menahan rasa sakit dan panas dan akhirnya pingsan. Baru setelah itu sembuh sesaat.
Setelah seminggu masa berobat dengan “guru kampung” itu saya belum juga sembuh total. hingga akhirnya keluarga memutuskan untuk beralih kepada “guru kampung” lainnya. “Guru kampung” ini mensyaratkan kepada kami untuk membawa alat-alat menginang; terdiri dari sirih, pinang, gambir dan kapur yang dijadikan “selensung” untuk dijadikan tangkal.
Di rumah “guru kampung” itu saya diminta duduk berhadap-hadapan dengan meluruskan kaki. Guru itu mulai membaca mantra yang dimulai dengan kalimat “Basmalah”. Kemudian menekan sekeras-kerasnya ujung ibu jari kaki saya. Seketika itu, saya membentaknya. Saya kira orang yang sehat sekalipun ketika dijepit ibu jarinya sekeras-kerasnya pasti akan pingsan. Tapi mereka menyebut teriakan saya sebagai teriakan jin. Rasa sakitnya membuat saya pingsan.
Lagi dan lagi, ketika saya sadar dari pingsan, seluruh badan saya sakit, seperti dipukuli puluhan orang. Setelah itu “guru kampung” berpesan agar menanam di setiap persimpangan jalan “selensung” itu. Agar terhindar dari gangguan jin, setiap menjelang tidur malam saya diberikan beberapa “tangkal” atau penangkal agar terhindar dari jin yang diletakkan pada bagian ibu jari kaki dan pada seluruh sendi-sendi.
Sudah dua orang “guru kampung” yang kami datangi secara rutin, tetapi keduanya belum mampu membuat saya sembuh. Keadaannya saya semakin hari semakin buruk. Keluarga kembali berusaha membuat saya sembuh dengan metode ruqiah; yakni dengan membaca ayat-ayat pengusir jin, iblis, syetan dan roh jahat.
Alhamdulilah setelah diruqiah saya sembuh, walau saya melewati masa pembacaan ayat-ayat Qur’an itu tubuh saya seperti dibakar. Seperti biasa saya meronta-ronta sambil menjerit dan akhirnya pingsan. Setelah sadar, saya sembuh dengan kondisi tubuh sangat lemas. Setelah sembuh, ustadz yang meruqiah meminta kepada keluarga untuk mengantarkan saya mandi di Sungai Tansaril, hilir Danau Lut Tawar.
“Kune manutni upuhni, lagu noya manutni penyakitni ari aku (bagaimana hanyutnya kain ini, begitu juga hanyut seluruh penyakit dari tubuh saya” demikian lafadz ketika saya menghanyutkan baju “basahan” yang saya kenakan ketika mandi. (Bersambung)
Terkait :