Berizin Bang Nova Iriansyah

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Saya menyertakan kata “Bang” Nova Iriansyah karena “tutur” di kampung, saya lebih muda dari beliau dan untuk sopan santun dalam bertutur. Di manapun dan dalam acara apapun saya lebih nyaman menyebut beliau “Bang”. Saya menyebut “Bapak Gubernur” hanya dalam acara resmi kenegaraan saja.

Sebenarnya saya tidak ingin menulis soal berakhirnya masa jabatan Gubernur Bang Nova Iriansyah pada 5 Juli 2022 lalu, tetapi terlalu banyak pihak yang menulis dengan penuh kebencian lewat media mainstrem dan media sosial, maka melalui media ini, mari kita sebagai manusia, saling mengingatkan untuk tidak berlaku seolah telah menjadi manusia yang paling sempurna iman, Islam dan ihsannya.

Saya sepakat dengan pernyataan Wakil Ketua DPRA, Bung Hendra Budian, bahwa Bang Nova Iriansyah adalah Gubernur Aceh yang terbaik sepanjang sejarah. Saya kira pernyataan itu bukan soal benar atau salah, tetapi sebagai penyeimbang pernyataan para “haters” yang sudah kelewatan. Sebagai sahabat tentu harus saling membesarkan hati. Jangan harap orang lain yang membela saudara kita, kecuali kita sesama orang Gayo.

Saya tidak memaparkan prestasinya karena penilaiannya kebanyakan soal suka atau tidak suka. Saya hanya bangga dalam sejarah hidup saya bahwa ada “urangte” yang menjadi Gubernur Aceh, yang menurut “adat” tidak akan mungkin lagi terjadi, walaupun peristiwa itu terjadi akibat “bola muntah” yang merubah takdir sejarah Aceh yang hanya dipimpin oleh tokoh-tokoh pesisir.

Barangkali itu sudah menjadi keberuntungan orang-orang yang lahir di tahun 1970-an dan 1980-an. Banyak peristiwa perputaran sejarah yang dilihat dan dirasakan; dari ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan nasional (Ipolek-sosbud-hankamnas) maupun perubahan tatanan dunia.

Satu hal yang saya amati, apakah itu kelemahan atau kelebihan dari kepemimpinan Bang Nova Iriansyah. Selama menjabat tidak membawa keluarganya ke dalam pendopo. Sangat berbeda dengan gubernur sebelumnya, mulai dari satpam, tukang sapu, pamtup sampai kepala dan asisten rumah tangga adalah saudaranya.

Seolah pendopo telah menjadi rumah pribadi, sehingga kuat dugaaan, ada salah satu istri gubernur yang menduplikasi aset-aset di dalamnya. Aset yang asli dibawa menjadi koleksi pribadi, sedangkan duplikatnya masih bertengger dengan “megah” di sana. Selama kepemimpinan urangte jauh dari sikap yang tidak terpuji seperti itu.

Sikap tidak rakus itu merupakan “legacy” tidak saja bagi diri pribadi Bang Nova Iriansyah dan keluarganya, tetapi juga bagi urangte. Sehingga pada masa depan orang akan bicara, “Pada saat kepemimpinan saudara kita dari gunung, mewariskan kebaikan ini dan kebaikan itu.”

Satu hal yang menarik dan menjadi bahan perenungan kita bersama, ketika kami berdiskusi dengan Wali Nanggroe; yang mulia Teungku Malek Mahmud Al-Haytar, Dr. Rafik dan Irjenpol Agung Makbul beberapa waktu lalu di Medan, Sumatera Utara, Dr. Rafik mengatakan ada dua persoalan di Aceh, yaitu; “personal branding” atau jual diri dan “haters” atau kebencian terhadap sesama.

Sebenarnya itu terjadi di seluruh dunia, tetapi kita perlu berkaca dan berkaca. Negeri kita adalah negeri syariat yang seharusnya kesempurnaan berakhlakul karimah menjadi patokan utama dalam bersikap, bertutur dan berbuat.

Orang-orang yang asyik melihat dan menilai manusia di luar dirinya, sehingga lupa dan berakibat tidak akan tahu siapa dirinya. Dengan begitu mudah kita simpulkan, menurut para sufi, “Orang yang tidak mengenal dirinya, maka mereka tidak mengenal Tuhannya.”

Ternyata kini zaman “keakuan” dan kebencian telah menjadi perhiasan dunia. Tidak terkecuali di Aceh yang mengaku “Bansa teulebeh di ateuh reung donya”. Hanya saja di negeri Serambi Mekkah ini prakteknya sudah berlebihan dan sudah mengarah kepada rasis serta Bang Nova Iriansyah adalah sasaran kebencian utama.

Sebagai pejabat publik beliau cukup sabar menghadapi kelakuan para “haters” walaupun sudah mengarah kepada keluarganya. Tidak banyak orang membelanya, termasuk orang-orang dekatnya pun diam. Seperti tidak ada rasa solidaritas sesama sahabat. Seiring dengan perjalanan waktu, ternyata jawabnya takut tidak populer dalam pemerintahan yang akan datang.

Akhirnya, terima kasih Bang Nova Iriansyah, kami tetap bangga pernah bersama membantu kapal Pemerintahan Aceh yang Abang nakhodai sampai ketepian. Selama mengarungi lautan, banyak pelajaran dan hikmah yang kami dapat. Semoga ke depan Bang Nova Iriansyah dan keluarga selalu dalam keadaan sehat walafiat dalam meneruskan hidup dan kehidupan. Amin Ya Allah.

(Mendale, 6 Juli 2022)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.