Sosok Misterius “Datu Oregon”

oleh
Dinika Yusuf (Ist)

Oleh : Dinika Yusuf*

Beberapa ruas jalan sepi ada makhluk tidak kasat mata atau sebagian orang menyebutnya sebagai “penunggu”. Dalam istilah Gayo orang menamakan “empuni tempat” yang biasanya sosok perempuan. Dalam waktu-waktu tertentu sering menampakkan diri, bahkan berinteraksi dengan manusia biasa, tetapi mereka tidak menyadarinya.

Pada jalan nasional batas antara Pantan Cuaca dan Rikit Gaib, Kabupaten Gayo Lues , “Tok Beru” sering menampakkan diri kepada pengendara yang melintas. Demikian juga di daerah Jembatan Senapit, Sare, Gunung Seulawah, Aceh Besar sering muncul sosok “Halimah” dan jalan yang menghubungkan antara Mendale, Aceh Tengah dan Kute Kering, Bener Meriah ada “Datu Oregon” dalam waktu-waktu tertentu keluar menyapa pengendara sepeda motor.

Tiga tahun lalu, saya bersama teman yang sudah lama tidak berjumpa memutuskan berjalan-jalan dengan sepeda motor untuk menikmati indahnya pemandangan di seputar Danau Lut Tawar. Setelah mengunjungi beberapa tempat wisata dan kami abadikan dengan berselfie ria untuk menghilangkan penat setelah sekian lama mengelola dan bekerja di rumah kecantikan.

Setelah puas dan rasanya beban di kepala sudah lenyap, kami pun memutuskan pulang ke tempat kediaman kami di Bener Meriah. Hanya saja sampai di Loyang Mendale, tempat nenek moyang orang Gayo yang berusia ribuan tahun ditemukan, di simpang jalan itu kami mulai berdebat kecil; antara meneruskan lurus lewat jalan KKA yang tembus ke RS Muyang Kute di Bener Meriah atau lewat jalan biasa, belok kiri lewat Kampung Kebayakan, lalu ke Simpang Empat dan terus kembali ke Teritit, Bener Meriah.

“Tidak apa kita lewat jalan KKA saja, sekalian jalan-jalan, mana tahu ada tempat yang bagus untuk diabadikan dengan berfoto-foto” kata teman saya penuh semangat.

Saya sudah dua kali lewat jalan KKA, kalau sekarang pun harus lewat jalan itu, berarti sudah tiga kali saya melewatinya. Memang benar pemandangan di puncak kawasan Oregon sangat indah. Dari ketinggian di kurang lebih 1800 meter dari permukaan laut itu, tampak seluruh Kota Takengon dan di sisi lain, jelas terlihat sebagian daerah Bener Meriah serta tampak dengan gagah Gunung Api, Burni Telong.

Apalagi hari itu cuaca cerah, cahaya matahari langsung menatap bumi Gayo. Belum ada tanda-tanda akan hujan. Kami hanya mengkhawatirkan kondisi jalan yang sepuluh kilo meter lagi belum beraspal. Juga masih banyak bebatuan berserakan di jalan dan kiri kanan jalan pun masih banyak yang masih semak belukar. Namun lagi dan lagi kawan saya meyakinkan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Kami pun sepakat lewat KKA dan saya pun mulai menancap gas sepeda motor yang kami kendarai. Sepanjang perjalanan ada keheningan dan kami tidak saling bicara. Sudah lebih lima kilo meter perjalanan kami tidak berjumpa dengan masyarakat atau pengendara yang berpapasan dengan kami. Mulai ada rasa sedikit khawatir, tetapi kami cepat menepis perasaan yang tidak baik itu. Saya terus memacu sepeda motor secepat yang saya bisa.

“Kita jalan terus, tidak perlu khawatir, kalau apa-apa kita masih punya handphone untuk menghubungi keluarga kita” kata kawan saya agar kami menjadi semakin berani.

Belum lama kawan saya bicara, sinyal handphone mulai hilang. Kami terus jalan sambil menggoyang-goyangkan handphone . Barangkali sinyal hilang karena terlalu lama kami kantongi. Namun sinyal tidak ada juga. Barangkali sinyal di sana benar-benar tidak ada karena liukan gunung yang tidak dilalui sinyal.

Dalam kebingungan kami itu, tiba-tiba seorang nenek sudah berada di samping kami. Nenek itu diperkirakan sudah berumur 70 tahun itu memakai pakaian lusuh dengan rambut terurai menutupi sebagian wajahnya.

Aroma yang tidak akrab di hidung kami sedikit menyengat. Ia berjalan sedikit membungkuk tanpa alas kaki sambil memegang ranting kayu sebagai tongkat. Barangkali untuk menghalau binatang melata.

Nenek itu memanggil kami dan kami pun berhenti seketika. Mungkin dia orang yang tersesat dan tidak tahu jalan pulang. Ia perlu kami untuk menunjukkan arah pulang. Kami sedikitpun tidak merasa bertemu dengan nenek itu sebagai beban.

Dalam fikiran, kami harus membantu nenek itu. Kami masih mengira nenek itu pasti masyarakat yang sedang mencari kayu bakar yang sedang tersesat. Meskipun dalam fikiran kami, tidak masuk akal di jalan sepi dan jauh dari perkampungan, ada orang tua yang berjalan-jalan tanpa ditemani sanak keluarganya.

“Kumpuku, tolong julen aku male minum susu ku borho (Cucuku, tolong antarkan nenek ke atas, nenek mau minum susu)” suara nenek itu jelas terdengar.

Kami tidak serta merta menjawab permintaan nenek itu, saya dan teman masih di atas sepeda motor, saling pandang dan berbahasa isyarat, siapa di antara kami yang mengantar karena tidak mungkin juga di antara kami ada yang tinggal. Haripun mulai agak gelap karena awan berarak mulai menahan cahaya matahari untuk menyinari bumi.

“Ya sudah, biar saya saja yang menunggu di sini. Kamu antar nenek itu terlebih dahulu” pinta kawan saya sambil turun dari sepeda motor.

Saya pun tanpa ragu mengantar nenek itu ke tempat yang dimaksud. Selama dalam perjalanan kami diam. Tidak saling bicara.

Sesekali saya memandang kaca spion, tapi tidak ada Keanehan dari nenek itu, kecuali keganjilan soal umur dan pakaian yang lusuh. Beberapa kilo perjalanan, nenek itu minta berhenti di sebuah warung pondok yang kosong. Tidak ada seorang pun di sana.

“Berizin kumpuku (terima kasih cucuku)” ucapnya dengan suara yang berat sambil memandang wajah saya sambil sedikit tertawa tapi tampak giginya hitam dan berkarat, tetapi matanya masih menutupi rambutnya.

Saya kaget mendengar suaranya seperti suara “Mak Lampir” dalam sinetron TV. Lalu nenek itu tertawa girang sambil melambaikan tangannya. Tidak menunggu lama dan mulai ada rasa takut, saya memacu sepeda motor dengan kencang menuju tempat kawan yang saya tinggalkan.

Sesampai di tempat kawan itu, saya bersikap biasa saja. Seolah tidak terjadi apa-apa. Lalu saya perhatikan dari mana nenek itu keluar, ternyata dari semak belukar yang tidak mungkin orang masuk ke dalamnya. Kami melihat beberapa tulang belulang, yang tidak dapat kami pastikan apakah itu tulang hewan atau manusia.

Suasana yang semula angin berhembus kencang, seketika hening. Tidak ada angin dan suara-suara burung. Kami melihat jam di handphone, ternyata tepat pukul 12 siang. Lagi-lagi entah apa yang merasuki, kami tetap meneruskan perjalanan lewat jalan KKA itu. Fikiran kami, siapa pun dia nenek itu, pasti sudah pergi jauh.

Sesampai di gubuk tempat saya menurunkan nenek tadi, ternyata kami masih melihat nenek itu, meski kami lewat, ia tidak mau menoleh kepada kami, ia hanya membelakangi kami, sampai kami berlalu. Namun setelah melewati nenek itu, baru masing-masing kami merasa ketakutan. Kami larut dalam fikiran ketakutan masing-masing. Kami terus membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang kami bisa hapal.

Berbagai macam rintangan yang kami hadapi di jalan. Batu-batu besar berserakan dan cabang-cabang kayu yang menutupi jalan, bahkan kabut mulai turun, sehingga kami tidak bisa meneruskan perjalanan. Lalu kami putuskan kembali ke Arah Kampung Mendale. Kami pun berbalik arah.

Kami terus melewati jalan semula dengan susah payah, dan sampailah ke tempat nenek itu duduk. Semula ia membelakangi jalan, kini ia menghadap jalan dan menatap kami dengan sorot mata yang tajam.

Ia tertawa keras. Kami seperti tertarik ke belakang, tetapi saya terus mempercepat laju sepeda motor, sementara nenek itu terus tertawa dan tangannya melambai-lambai kepada kami dan akhirnya ia melambaikan tangannya ke langit.

Akhirnya kami sampai juga di Kampung Mendale. Kami menarik nafas dalam-dalam. Setelah itu seperti lepas semua beban yang ada dalam batok kepala kami. Tanpa fikir panjang kami langsung pulang lewat jalan biasa.

Sejak peristiwa itu, lama tidak terdengar tentang “Datu Oregon”, sampai kemudian pada awal Januari 2021, saya bersama adek kandung saya ada keperluan dengan aparat desa di Kampung Mendale. Tidak disangka kami sampai tersesat di puncak gunung Mendale. Hampir tiga jam sejak maghrib dan keluar pukul 21.30. Pada saat itulah adek saya melihat kembali “Datu Oregon” pergi ke semak-semak menjauhi cahaya sepeda motor kami.

(Teritit, 1 Juli 2022)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.