Sebelum saya memulai cerita ini, ada dua hal yang harus saya jelaskan. Pertama, tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi suami yang diceritakan kepada saya. Kedua, kata “curug” adalah bahasa Sunda yang artinya “air terjun.”
Suami saya, semasa mudanya adalah seorang pecinta alam. Hampir setiap hari libur dimanfaatkan untuk naik gunung, terutama Gunung Salak yang terletak di Kabupaten Bogor. Di samping lokasinya tidak begitu jauh dari Jakarta, juga medannya kurang menantang dibandingkan Gunung Gede Pangrango atau Gunung Rinjani.
Salah satu pintu masuk ke puncak Gunung Salak lewat Curug Bandung, Jasinga, arah jalan ke daerah Lebak Banten. Kawasan itu sudah termasuk Kawasan Adat Baduy, komunitas masyarakat adat yang ada di Jawa Barat.
Sebelum masuk ke Curug Bandung, terlebih dahulu melewati kawasan hutan di bawah pengelolaan Perhutani. Batas antara perhutani dengan hutan alam terdapat batu besar. Orang-orang menyebutnya sebagai batu angsa, yang katanya sering berpindah tempat.
Setelah beberapa kali camping di Curug Bandung bersama kawan-kawan sekolah Aliyahnya, ia mengabarkan lokasi itu kepada sepupunya bernama Ibnu Sina yang waktu itu, sekolah di STM, sekarang SMK. Ibnu Sina mengajak kawan-kawan sekolahnya ke sana, termasuk satu orang perempuan.
Sore itu, setelah berjalan kaki sekitar satu jam lebih dari Kampung Jasinga, mereka pun berbelok ke kiri melewati jalan setapak mengarah ke hutan Perhutani. Menjelang maghrib mereka memasuki perkampungan.
“Asep, di mana rumah Pak lurah” tanya Ibnu Sina kepada pemuda tanggung yang berpapasan dengan mereka.
Pemuda itu pun menunjukkan rumah Pak lurah yang berada di tengah-tengah kampung itu. Mereka meminta izin kepada lurah untuk menginap semalam di kampung itu, dan lurah pun memberikan satu rumah untuk ditempati bersama, di samping rumahnya.
Pada malam itu, salah seorang dari rombongan anak sekolah itu, bernama Rahmad Hidayat bersama anak-anak kampung pergi ke warung untuk membeli perlengkapan; mie instan, roti, beras, ikan dan rokok untuk keperluan esok hari.
Malam itu mereka istirahat dengan nyenyak karena lelah menempuh perjalanan jauh, dari Jakarta ke Jasinga. Bahkan sangking terlelapnya, tidak seorang pun yang bermimpi aneh.
Paginya setelah sarapan mereka pun berangkat dengan seorang anak kecil sebagai penunjuk jalan. Sebelumnya lurah berpesan, silahkan ambil buah-buahan yang ada di kebun masyarakat untuk dimakan sekenyang-kenyangnya asal jangan dijual.
Naas sampai ke kawasan Batu Angsa, satu-satunya perempuan yang ikut dalam rombongan itu, tiba-tiba kesurupan.
Mereka pun menunda perjalanan dan mendirikan bivak-bivak sederhana, menunggu gadis itu sembuh dari “kerasukan jin” tetapi sampai malam hari gadis itu tidak kunjung sembuh. Bahkan semakin menjadi-jadi, sampai mereka harus menginap di lokasi batu angsa itu.
Pagi harinya, gadis itu tidak sembuh juga. Ibnu Sina sebagai pimpinan rombongan memutuskan untuk kembali ke kampung dalam kawasan hutan Perhutani.
Betapa kagetnya mereka, ternyata kampung itu tidak ada lagi. Bahkan tempat mereka menginap kemarin hanya sebuah gubuk kecil. Sampai di kampung itu, anak kecil sebagai penunjuk jalan juga menghilang seketika.
Akhirnya mereka sadar, bahwa kemarin malam mereka telah masuk ke alam bunian. Bukan alam siluman atau alam jin karena makanan dan barang-barang yang mereka beli tidak berubah wujud.