Oleh : Fauzan Azima*
“Bukan perpisahan kutangisi, hanya pertemuan kusesali” penggalan lirik lagu Mansur S itu rasanya tepat untuk menggambarkan Rahmandi yang baru saja diberhentikan dari jabatannya sebagai Kadis Peternakan Aceh.
Bagi saya bukan pemberhentian Rahmandi yang pantas diperbincangkan, tetapi justru pengangkatannya sebagai kepala dinas yang menurut saya belum memenuhi standar kapasitas pemangku jabatan di tingkat provinsi sehingga selama menjalankan tugasnya sarat dengan masalah.
Faktanya, dalam menjalankan tugasnya sepatutnya bawahan sebagai banper atasan, namun dalam kasus Rahmandi justru sebaliknya, atasan yang harus turun tangan untuk mengatasi masalah yang terjadi dalam dinas yang dipimpinnya. Rahmandi belum “siap tempur” untuk bermain di tingkat provinsi.
Kalau kita membaca rekam jejak selama ini, sejujurnya pimpinan sayang padanya. Ketika terjadi pergantian pimpinan kelak semua mata akan tertuju kepadanya dan akan dibully habis-habisan yang ujungnya merugikan lembaga dan dirinya pribadi. Sebelum itu semua terjadi, maka sudah menjadi pilihan tepat, beliau harus diberhentikan.
Kita sudah berumur di atas 50 tahun, tentu dalam sisa hidup ini ingin hidup tenang dan tidak dihina-hina. Walaupun dalam menjabat siap menerima resiko apapun, tetapi meminimalisirnya penting untuk kebaikan kita pribadi, keluarga dan masyarakat. Apalah artinya jabatan kalau siang malam kita menjadi bahan dipergunjingkan yang tidak baik.
Setiap orang yang menjadi pemimpin pasti diberikan kelebihan dari orang yang biasa. Sehingga kebijakan dan keputusannya kadang di luar nalar dan keinginan kita. Di antara kelebihan pemimpin adalah kemampuan membaca dengan cerdas dibalik peristiwa masa kini dan yang akan datang.
Naik turun jabatan itu hal yang biasa. Apalagi sebagai ASN sudah teken siap naik dan siap turun serta bersedia ditempatkan di mana saja. Begitulah tugas negara yang harus diemban. Masalahnya hanya fikiran naif kita saja yang membangun skenario yang macam-macam.
Sebagai masyarakat, kita hanya dapat melihat pencopotan Rahmandi dari jabatannya sebagai hikmah bahwa jabatan bukanlah milik pribadi. Semua ada pergilirannya. Selagi kita masih menjabat tidak perlu sombong.
Sekecil apapun ingatlah jasa orang-orang yang telah membesarkan kita agar tidak dianggap “kacang lupa kulitnya”. Sehingga kalau berhenti pun, kita dari jabatan tetap terhormat. Tokh, setinggi apapun jabatan kita tetap kembali kepada masyarakat biasa.
(Mendale, 16 Juni 2022)