Dengan 1 Milyar, Tour de Aceh Seharusnya Jauh Lebih Baik dan Berkelas

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Oktober tahun lalu, para atlet ISSI Aceh Tengah yang baru kembali dari Pra PORA diterima oleh Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar di lapangan pacuan kuda, M. Hasan Gayo Belang Bebangka.

Pada pertemuan itu, bupati Shabela menyeletuk menantang kami ISSI dan Dispora Aceh Tengah untuk menyelenggarakan ajang balap sepeda berkelas internasional. Bupati sendiri menjanjikan akan memberikan uang 100 juta untuk pemenang pertama.

“Sisanya kalian cari sendiri,” katanya.

Bupati Shabela menantang ini karena melihat bagaimana ajang balap sepeda Tour de Singkarak yang ditonton lebih dari satu juta orang, menjadi promosi meningkatkan branding Sumatera Barat secara signifikan, memicu pertumbuhan ekonomi yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pulang dari Belang Bebangka, saya dan Plt. Kadispora Aceh Tengah langsung mempelajari ide itu dan kamipun berkesimpulan untuk membuat balap sepeda “road bike” tapi berbeda dengan ajang-ajang balap sepeda yang hadir di dataran tinggi Gayo sebelumnya, acara yang akan kami selenggarakan ini, betulan balap sepeda dengan peserta atlit betulan, bukan penghobi seperti ajang-ajang berlabel “tour” sebelumnya.

Alasannya, terutama sekali karena acara yang akhirnya kami sepakati diberi nama Tour de Lut Tawar ini menggunakan uang negara.

Karena menggunakan uang negara, ada tanggung jawab untuk memberi manfaat kepada masyarakat atas penggunaan uang itu. Yang mana, manfaat itu harus bisa diukur secara kuantitatif, ada parameter penilainya.

Alasan mengapa kami memilih menyelenggarakan balap sepeda dengan peserta atlet betulan, bukan untuk penghobi sebagaimana ajang sebelumnya yang dibiayai swasta, kami paparkan dalam rapat di depan Forkopimda yang dipimpin langsung bupati.

Di rapat itu kami jelaskan, dengan peserta atlet sungguhan, fisik pembalap jelas sudah siap, sehingga balap sepeda Tour de Lut Tawar yang kami rencanakan terdiri dari 3 etape bisa dirancang melewati hampir seluruh kecamatan yang ada di Aceh Tengah.

Dengan begitu, efek promosi tidak hanya akan dinikmati Kota Takengon semata. Dengan dilewati pembalap, foto-foto serta video daerah yang dilewati peserta balapan akan muncul di berbagai platform media. Sehingga potensi-potensi yang ada di daerah tersebut baik itu potensi wisata maupun peluang investasi lain akan mengemuka dan dilihat oleh khalayak.

Dampak yang diharapkan, denyut pariwisata Aceh Tengah tidak hanya akan terkonsentrasi di seputaran danau dan Wihni Takengen yang lebih dikenal dengan nama sungai Pesangan.

Sebab berdasarkan survey yang kami lakukan, ada begitu banyak tempat menarik yang berpotensi menjadi destinasi wisata populer di Aceh Tengah selain danau. Sebut misalnya etape pertama yang melewati perkebunan kopi dan sayur di Lukup Sabun dengan pemandangan Burni Telong, lanjut ke perkebunan tebu di Ketol, melewati sungai Pesangan yang berpotensi dikembangkan untuk PLTMH. Semua begitu unik. Lalu masuk ke Celala, keluar melalui Kuyun ke Pegasing. Banyak potensi yang jarang diketahui publik, akan terpublikasikan.

Lalu etape kedua, melewati Atu Lintang, ke Jagong lalu ke Isak melewati hutan pinus layaknya pemandangan di Eropa, kalau balapan melewati daerah ini, kami yakin ini akan membuat penasaran banyak orang dan homestay ala rumah segitiga akan banyak dibangun orang di sana.

Di hadapan Forkopimda, ide dan cara mencapai serta parameter apa untuk mengukur keberhasilannya, kami paparkan.

Kami sampaikan bahwa target kami Tour de Lut Tawar ditonton 10.000 orang, dengan 5000 di antaranya, orang dari luar Aceh Tengah dan lebih spesifik lagi 2000 di antaranya kami targetkan adalah pengunjung dari luar provinsi Aceh.

Untuk mencapai target itu, dua bulan menjelang penyelenggaraan lomba yang akan diselenggarakan september nanti, kami akan membuat acara road to iTdL, entah itu berupa acara musik atau sepeda gembira (fun bike) di berbagai kota yang warganya jadi target kami untuk mengunjungi Aceh Tengah. Bireun untuk pantai timur dan utara, Meulaboh untuk pantai barat dan tentu saja Banda Aceh untuk pusatnya dan Medan untuk luar Aceh.

Rencana kami, mulai akhir juli, poster, spanduk dan baliho Tour de Lut Tawar akan terpasang di kota-kota tersebut.

Di samping promosi fisik, kami juga akan menggencarkan promosi di media sosial yang kami targetkan menjangkau setidaknya 150.000 viewer luar Aceh sebab berdasarkan penelitian, itu adalah angka pengunjung media sosial untuk bisa membuat 2000 orang memutuskan untuk datang.

Untuk mencapai target itu, tentu kami harus membuat banyak foto dan video, itu sedang dikerjakan sekarang untuk mulai dipromosikan pada juli nanti.

Mulai Agustus, kami akan meminta bantuan para tokoh Aceh dengan berbagai latar belakang di seluruh dunia untuk membuat video singkat mempromosikan acara ini.

Segala hal ini kami paparkan di depan Forkopimda dan akhirnya dengan persetujuan DPRK, pemerintah Aceh Tengah setuju mengeluarkan uang daerah sebesar Rp. 300 Juta untuk acara ini, dengan rincian Rp. 200 Juta dipotong pajak untuk EO pelaksana dan 100 Juta untuk panitia besar di Dispora Aceh Tengah.

Tentu saja, dengan uang seminim itu tidak mungkin cukup untuk menyelenggarakan acara seperti ini. Sehingga sisanya, EO yang kami ajak bekerjasama mau tidak mau harus mencari sponsor, istilahnya Pemkab Aceh Tengah hanya memberi kail dan umpan, ikannya silahkan pancing sendiri.

Dengan modal itu, panitia penyelenggara acara inipun putar otak dan banting tulang, membuat konsep yang saling menguntungkan untuk ditawarkan ke pihak sponsor.

Contoh, kepada perusahaan angkutan JRG, panitia menawarkan untuk menjadi partner resmi untuk pengangkutan pengunjung. Untuk membuktikan bahwa itu benar pengunjung iTdl, mereka membayar dengan voucher yang disiapkan panitia. JRG memberi diskon, kepada bank, panitia menawarkan jumlah nasabah yang akan membuka rekening baru dan seterusnya untuk calon sponsor lain.

Ini baru segelintir yang saya jelaskan, di baliknya ada banyak kerja besar lain yang sekarang sedang dikerjakan panitia iTdL sebagai persiapan suksesnya acara yang akan berlangsung september nanti, empat bulan dari sekarang.

Meskipun sekarang, untuk berkonsentrasi menghadapi kasus hukum yang ditimpakan seseorang kepada saya, saya sudah menarik diri dari kepanitiaan iTdL, tapi komunikasi saya dengan panitia masih tetap bagus dan saya tahu persis kalau mereka bekerja keras dan sekarang masih berada di jalur yang benar menuju september nanti.

Mengalami sendiri proses ini dari awal, saya kaget sekali ketika mengetahui dari berita sebuah media online bahwa Tour de Aceh, ajang bersepeda yang dibiayai senilai 1 Milyar oleh pemerintah Aceh, baru kemarin melakukan koordinasi, sosialisasi dan promosi, baru akan menyiapkan spanduk dan baliho padahal acaranya tinggal tiga hari lagi (sekarang tinggal dua hari)

Sangat sulit bagi siapapun untuk tidak menilai kalau acara berbiaya 1 Milyar ini dikerjakan sacara asal-asalan, pokoknya jadi, urusan kualitas tidak peduli.

Lebih mengagetkan lagi, membaca wawancara dengan pihak panitia, terkesan kuat kalau mereka sama sekali tak punya target jelas dan terukur soal tujuan yang dicapai untuk pariwisata Aceh dari acara yang menghabiskan 1 milyar uang negara ini.

Ajaibnya lagi, uang negara ini malah digunakan buat senang-senang kaum berpunya, melepaskan hobi bersepedanya yang sudah hampir pasti tak menarik buat dilihat karena tidak kompetitif dan cakupan daerah yang dieksposenya juga sangat kecil, karena fisik peserta terbatas, tak mungkin mereka mampu menjangkau daerah-daerah terpencil berpotensi besar untuk wisata, yang akan diketahui orang karena acara ini.

Adalah hal wajar kalau acara untuk penghobi berduit ini diselenggarakan pihak swasta, seperti RBA dengan Tour de Gayo nya. Karena itu yang digunakan untuk membiayai acara itu adalah uang mereka sendiri, bukan uang negara.

Tapi ini, Tour de Aceh, dibiayai 1 Milyar uang daerah yang bertahun-tahun menjadi juara termiskin di Sumatera, untuk lepas hobi orang kaya, yang katanya untuk promosi wisata tapi tak jelas target dan parameter pengukur keberhasilannya. Menurut saya, sangat tidak etis.

Dengan bekal dana 1 Milyar, Tour de Aceh seharusnya bisa jauh lebih baik dan jauh lebih besar memberi manfaat bagi rakyat Aceh, seandainya acara ini diselenggarakan secara profesional.

*Penulis adalah Ketua ISSI Aceh Tengah non aktif.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.