Kebenaran di Balik Kehidupan, Sebuah Renungan di Hari yang Fitri.

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Ramadhan telah berlalu, Idulfitri telah tiba. Pengekangan diri selama sebulan, usai sudah dan hari ini, akhir dari pengekangan diri itu dirayakan besar-besaran.

Sebagai umat Islam, kita percaya bahwa dengan mengekang keinginan selama sebulan penuh, hari ini kita kembali suci seperti bayi yang baru lahir.

Bagi orang yang berbeda kepercayaan dengan kita, apalagi yang atheis atau agnostik yang sering menyinyiri ritual agama, ritual puasa yang kita lakukan, sering mereka tertawakan sebagai hal yang tidak berguna.

Mereka mendewakan sains dan segala hal yang logis dalam kacamata positivistik sebagai satu-satunya realita.

Kalau kita bicara kepentingan praktis untuk hidup secara fisik, benar sains yang objektif adalah segalanya.

Tapi, sejarah menunjukkan kalau pengetahuan yang bersifat fisik ini tidaklah cukup untuk memuaskan manusia. Karena itulah ada kepercayaan, ada agama.

Saya sangat sering bertemu orang dari negara maju yang tak tak percaya agama.
Secara lahiriah mereka mengaku kalau segala kebutuhannya terpenuhi, tapi mengaku merasa hampa, seolah ada yang kosong dan tak tahu apa tujuan hidupnya.

Kita yang beragama berbeda, selain kebutuhan fisik kita juga percaya kalau ada hakikat yang lebih penting dari itu, yaitu jiwa. Meski ini hanya bisa dirasakan secara subjektif dan tiap orang bisa jadi berbeda.

Seperti tubuh, kita percaya, jiwa juga membutuhkan makanan dan supaya kuat, seperti tubuh yang perlu olahraga, kita percaya, untuk kuat jiwa perlu latihan.

Jiwa yang rapuh mudah membuat orang frustasi.

Frustasi sering terjadi karena keinginan yang tidak terpenuhi, padahal kita semua paham belaka kalau tidak semua hal di dunia ini mengikuti keinginan kita.

Puasa salah satunya adalah melatih kita untuk menerima fakta kalau tidak semua keinginan kita bisa terlaksana.

Kemudian, yang sangat membedakan puasa dengan ibadah lain, yang tahu kita berpuasa atau tidak adalah diri kita sendiri dan sang pencipta.

Ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk kembali menyadarkan kita, bahwa dibalik topeng-topeng persona diri yang kita tampilkan di depan khalayak, yang sudah kita poles dan kita hias sedemikian rupa demi citra diri yang ingin kita tampilkan. Pada akhirnya, yang tahu bagaimana diri sebenarnya diri kita, hanyalah kita dan sang pencipta. Dan itulah yang nanti kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Sebuah fragmen dari sebuah novel yang dulu pernah saya baca, tapi sudah lupa judulnya, menggambarkan situasi ini dengan sempurna.

Redaksinya kira-kira seperti ini :

Kita manusia seperti pulau-pulau terpencil yang mengambang di lautan takdir.

Pertemuan manusia seperti tabrakan pulau-pulau kesepian ini, dan begitu mereka bersentuhan, akan ada efeknya.

Terkadang, pulau-pulau itu saling menempel, atas nama ‘minat’, ‘kekerabatan’, ‘persahabatan’, ‘cinta’ dan ‘benci’.

Namun akhirnya, mereka akan berpisah, berjalan sendiri-sendiri menuju jalan kehancuran yang disebut mati.

Inilah kebenaran di balik kehidupan.

Sayangnya orang selalu takut sendirian, mereka mendambakan keaktifan kerumunan manusia, dan mereka menolak untuk melakukan apa-apa dengan waktu mereka.

Ramadhan, menyadarkan kita kembali tentang realitas ini dan idulfitri kita sambut gembira untuk merayakan keberhasilan dari pelatihan kita.

Tapi banyak dari kita yang kemudian larut dalam perayaan ini dan melupakan tujuan dari pelatihan kita.

Semoga kita tidak termasuk dalam kelompok ini dan semoga kita diberi kesempatan bertemu bulan ramadhan kembali.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.