Mengapa Klaim Sejarah Membutuhkan Pendekatan Ilmiah?

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Menurut penelitian para ahli yang mengamati perilaku manusia. Yang namanya manusia itu, dari sejak nenek moyangnya, memiliki cara berpikir yang diawali dengan mode unscientific (tidak ilmiah) yang basis berpikirnya adalah mitos yang tidak masuk akal.

Manusia biasanya terus merasa nyaman berada dalam mode berpikir seperti ini sebelum ada kebutuhan yang membuat manusia “terpaksa” berpikir secara ilmiah.

Kebutuhan ini terjadi karena manusia akhirnya sadar kalau cara berpikir tidak ilmiah, yang berdasarkan kekeberen, mitos dan tahayul ini tidak menjawab persoalan.

Persoalan ini sendiri macam-macam, kalau di dunia pertanian misalnya padi mengalami serangan hama wereng. Cara berpikir tidak ilmiah, seperti ini karena “Datu polan bengis.” Solusi unscientific alias non ilmiah untuk masalah ini, redakan kemarahan sang datu, caranya memberikan sesajen berupa bertih, kunyit, awal pisang nur dan tenaruh rebus dan memotong ayam merah atau ayam putih, tergantung permintaan sang datu melalui perantaraan seorang guru kampung.

Kalau masalah serangan hama wereng ini selesai dengan cara non ilmiah ini. Maka tidak akan ada kebutuhan untuk berpikir ilmiah. Karena memang tidak perlu, sebab penyelesaian secara non ilmiah pun sudah cukup.

Kebutuhan untuk berpikir secara ilmiah, baru muncul ketika cara penyelesaian masalah dengan cara non ilmiah ini tidak berhasil.

Rom ken nos ertih nge meh sidah are, kurik ilang wan sara kampung nge meh igelihi, tapi persoalan hama wereng belum selesai. Baru orang beralih ke cara berpikir ilmiah.

Kasus yang sama terjadi dalam segala bidang, entah itu kesehatan, peternakan, perikanan sampai sejarah.

Terkait sejarah, di Gayo, ketika tidak ada kebutuhan bahwa sejarah itu menjadi masalah. Kita di Gayo sudah cukup puas dengan kisah bahwa orang Gayo tiba di sini dibawa oleh Nabi Nuh, diturunkan di Buntul Linge, nenek moyang kita datang dengan layangan. Istrinya dikirim dari negeri Rum dalam ikan yang bersisik gambar aneka binatang dan seterusnya.

Cerita ini terus diulang-ulang, tanpa adanya sikap kritis.

Tapi, ketika kemudian muncul turbulensi secara politik. Orang dari pesisir mulai membuat klaim bahwa Gayo adalah pendatang di daerah ini sehingga wajar mendapat perhatian lebih sedikit dibanding mereka yang penduduk asli.

Ini ditambah dengan pandangan umum yang didasari pandangan logis bahwa Gayo dan Batak memiliki beberapa kemiripan, secara fisik maupun bahasa, lalu menyimpulkan bahwa Gayo berasal dari Batak.

Klaim dari pesisir inipun seperti klaim sejarah Gayo, dasarnya adalah mitos. Cuma yang di pesisir olahan mitosnya sedikit lebih canggih karena adanya buku yang namanya “Hikayat Raja-Raja Pasee” yang menyebut bahwa sebutan Gayo itu berasal dari kata Kayo yang artinya pengecut.

Kalau perdebatan antara dua kelompok yang sama-sama mengandalkan mitos sebagai dasar argumen ini diteruskan. Sampai kiamat tak akan ada kesimpulan. Kalaupun ada pemenang dalam debat seperti ini, pemenangnya adalah yang paling banyak mendapat tepuk tangan, alias pendapat yang paling banyak mendapat dukungan masyarakat luas.

Dengan cara ini, cukup dengan melihat komposisi jumlah penduduk Gayo dan pesisir, tak perlu punya IQ setinggi Einstein untuk bisa menebak dengan tepat, siapa yang akan memenangkan perdebatan.

Pada posisi ini, orang Gayo yang selama ini menyandarkan argumen sejarahnya banyak yang mulai sadar kalau yang klaim sejarah yang tidak ilmiah itu tidak menjawab persoalan.

Dalam situasi seperti inilah, kebutuhan untuk berpikir atau mendapatkan penjelasan secara ilmiah, muncul.

Yang ilmiah di sini artinya penjelasan yang menggunakan pendekatan rasional dan empiris, artinya melalui pendekatan yang masuk akal dan ada faktanya.

Beruntungnya, pada situasi ini ada penelitian Ceruk Mendale yang sepenuhnya dilakukan dengan dasar ilmiah.

Hasilnya? Penelitian yang baru seumur jagung ini, sudah berhasil membantah klaim Hikayat Raja-Raja Pasee, karena ternyata suku Gayo sudah mendiami daerah ini, jauh sebelum catatan itu ditulis.

Penelitian ini juga menunjukkan, kalau tidak benar Gayo berasal dari Batak, karena orang Gayo sudah jauh lebih dahulu mendiami daerah ini, sebelum orang Batak mendiami tanah Batak.

Karena belum benar-benar mengalami benturan besar terkait sejarah ini. Di Gayo, masih ada saja orang yang ingin tetap mempertahankan cara penelusuran sejarah non ilmiah, dengan metode pendekatan melalui mitos, klenik dan tahayul. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.