Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*
Hak milik yang didapat seorang perempuan semenjak ia masih dalam kandungan baik berupa kepemilikan yang didapat melalui pewarisan, hibah, sadaqah, wasiat menjadi hak kepemilikan sempurna bagi perempuan, artinya harta tersebut boleh diwariskan kembali kepada mereka yang berhak menerima, boleh dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari atau juga disadaqahkan kepada orang atau suatu lembaga tertentu.
Harta kepmilikan ini tidak mempunyai batasan waktu sampai diserahkan kepada yang berhak sebagaimana dsebukan.
Selanjutnya setelah perempuan melakukan pernikahan maka semua kebutuhannya menjadi tanggungjawab suami, seperti kebutuhan terhadap makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Perempuan tidak mempunyai kewajiban untuk menggunakan hartanya, tidak berkewajiban memnggunakannya sebagai nafkah, membeli pakaian dan juga tidak berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarga dengan hartanya, karena semuanya menjadi kewajiban suami.
Kewajiban yang dimiliki perempuan ketika dia menjadi istri adalah menjaga, mengurus dan menggunakn harta milik siaminya untuk seluruh kebutuhan keluarga.
Bagaimana dengan harta perempuan yang dibawa kedalam pernikahan, tidak ditemukan pembahasan yang lengkap di dalam kitab-kitab yang ditulis oleh ulama.
Tetapi kalau harta perempuan yang didapat dari suami, seperti mahar mendapat penjelasan dalam al-Qur’an surat al-nisa’ ayat 4, yakni mahar merupakan pemberian dari seorang laki-laki kepada perempuan dengan penuh kerelaan. Kemudian jika perempuan menyerahkan sebagiannya kepada suami maka boleh digunakan.
Artinya bahwa mahar yang didapat menjadi milik suami selanjutnya dapat digunakan untuk kebutuhan keluarga, pakah itu membeli makanan atau untuk digunakan sebagai modal untuk berusaha.
Ketika perempuan menjadi istri sebagaimana disebutkan maka kewajibannya hanya menjaga dan mengurus harta suaminya, harta yang diurus tersebut adalah milik suami yang digunakan untuk nafkah keluarga (untuk istri dan anak-anak).
Bila suami tidak memberikan hartanya untuk nafkah istri dan anak bukan karena uzur (alasan ketiadaan harta), maka istri boleh mengambil dari harta suami secukupnya tanpa harus dengan sepengetahuan suami.
Katika suami tidak mempunyai harta untuk digunakan sebagai nafkah, maka tidak ada keharusan suami menggunakan harta istri untuk nafkah, bahkan lebih diutamakan menggunakan mendapatkan nafkah dari orang tua atau wali suami.
Di sisi lain dalam keadaan suami tidak mempunyai harta untuk nafkah dan ketika meminta kepada wali juga tidak ada, maka dalam keadaan seperti ini suami boleh meminjam harta istri untuk digunakan sebagai nafkah, dengan ketentuan harta yang dipinjam kepada istri sebagai hutang suami kepada istri – ini menunjukkan harta istri ada dan tidak dapat digunakan untuk nafkah karena nafkah menjadi kewajiban suami—, dan karena harta tersebut sebagai pinjaman maka suami wajib membayarnya ketika nanti suami memunyai harta.
Ulama sepakat kalau suami tidak mempunyai harta untuk digunakan sebagai nafkah bagi istri dan anak, maka boleh meminjam kepada istri yang mempunyai harta (harta istri tentunya harta yang didapat sebelum perkawinan), dan ulama juga sepakat kalau pinjaman suami tersebut didolongkan sebagai hutang.
Tetapi ulama berbeda pendapat apakah hutang kepada istri tersebut wajib dibayar atau tidak, Sebagian ulama mengatakan bahwa setiap yang dinamakan hutang maka wajib dibayar, sedangkan sebagian lagi mengatakan bahwa hutang suami kepada istri tidak harus dibayar, karena istri sangat tau kalau suaminya tidak mempunyai harta untuk membayar.
Kemudian harta istri tidak lagi menjadi miliknya dan dapat digunakan oleh suami atau anak-anak ketika istri meninggal dunia, ketika ini terjadi maka harta milik istri menjadi harta warisan bagi ahli warisnya.
Bila suami yang ditinggal istri mempunyai anak maka suami mendapat ¼ (seperempat) dari seluruh harta (setelah digabung harta istri dan harta suami), dan bila tidak mempunyai anak maka suami mendapatkan ½ (setengah) dari seluruh harta. Sebelum meninggal istri boleh berwasiat jika ia mau berwasiat, boleh bersadaqah dan juga pemberian lain dari harta miliknya.
Ketika perempuan sebagai istri bercerai dari suaminya, maka perempuan kembali kepada keluarganya atau dia akan tinggal sendiri atau tinggal dengan orang lain, perempuan tidak membawa harta dari rumah mantan suaminya, karena harta yang didapat oleh suami sebelum dan sesudah pernikahan adalah milik suami dan tidak diberikan kepada istri bila terjadi perpisahan. Perempuan akan hidup dengan harta yang didapat dan dimiliki sebelum terjadinya pernikahan.
Perempuan akan mendapat harta atau nafkah dari mantan suaminya ketika dalam masa iddah, dan apabila ketika terjadi perceraian ia sedang mengandung anak suaminya. Kemudian juga apabila perempuan yang sudah dicerai mendidik anak-anak suaminya. Jadi nafkah perempuan yang sudah dicerai melekat pada anak yang ia kandung, ia susui dan yang ia didik.
Demikianlah kepemilikan perempuan dalam pemahaman fiqih klasik atau fiqih tradisional, karena pemahaman hukum syara’ menurut sebagian ulama tidak pernah berpindah dari satu orang mukallaf kepada orang mukallaf yang lain.
Hukum wajib nafkah yang ada pada sumi tetap berada pada suami walaupun bagaimana kondisinya dan tidak pernah berpindah kepada istri, sehingga istri yang berkewajiban menggantikan suami, dan juga belum ada pemahaman hukum yang menetapkan kalau kedua suami istri keduanya mempunyai kewajiban.
*Dosen Ushul Fiqh pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh