Catatan : Win Wan Nur*
Seluruh rangkaian pertandingan piala AFF 2020 dengan segala dramanya, berakhir sudah tadi malam, dengan hasil yang sudah kita ketahui bersama Thailand kembali juara untuk keenam kalinya, dan Indonesia, kembali gagal meraih gelar di final keenamnya.
Kegagalan meraih juara setelah enam kali final, memang terasa menyesakkan, tapi kegagalan Indonesia kali ini rasanya beda dengan kegagalan sebelumnya. Kegagalan kali ini, meskipun pahit tapi menyisakan asa.
Kenapa begitu?
Tim Indonesia yang turun di AFF kali ini adalah tim muda, yang kalau usianya dirata-ratakan, adalah yang termuda dari seluruh kontestan AFF yang berlaga tahun ini.
Para penggemar sepakbola Malaysia yang kecewa karena tim kesayangan mereka disikat tim ini dengan skor mencolok 1 -4 di babak penyisihan dan gagal lolos ke semifinal rata-rata kaget karena nyaris tak mengenali satupun nama pemain Indonesia selain Evan Dimas.
Apa yang berbeda dengan timnas senior rasa kelompok umur ini?
Pertama, berbeda dengan timnas-timnas sebelum ini, mereka benar-benar main dengan pola. Gol-gol yang mereka ciptakan selama turnamen, rata-rata adalah gol yang dirancang baik dengan kerjasama tim yang sempurna. Meski tak punya striker murni yang berkualitas, tim ini berhasil mencetak 20 gol sepanjang turnamen ini, terbanyak dari seluruh tim yang berlaga di AFF tahun ini.
Kedua, stamina. Berbeda dengan timnas-timnas sebelumnya yang biasanya hanya mampu bermain 70 menit dan selanjutnya keteteran di sepanjang akhir laga, tim ini tidak, mereka terus mampu bermain kencang sampai 90 menit bahkan sampai 120 menit dengan tambahan waktu seperti yang kita lihat saat melawan Singapura di semifinal.
Ketiga, mentalitas. Keputusan Shin Tae Yong, potong satu generasi, meninggalkan pemain-pemain senior berpengalaman yang sudah kenyang makan asam garam bersama tim nasional terlihat nyata hasilnya pada tim ini. Mentalitas tim ini luar biasa, mereka seperti tak merasa takut meski sudah tertinggal terlebih dahulu, mereka terus menyerang.
Terbukti, tim ini mampu mengatasi trauma 11 tahun selalu kalah dari Malaysia. Padahal timnas sebelumnya, meski kualitas pemain lebih baik daripada timnas kali ini, dan jelas-jelas di atas Malaysia, tapi tiap kali ketemu tim negeri jiran ini, entah kenapa hancur mainnya. Mereka tiba-tiba jadi emosi berlebihan, gampang terprovokasi dan bermain jadi tanpa pola.
Permasalahan klasik tersebut tidak terjadi pada tim ini, sebagaimana kita saksikan bersama-sama, tim ini, meski sudah tertinggal 0 – 1 di awal-awal laga, terus bertempur penuh semangat, mencetak demi gol, mengajak lari punggawa-punggawa uzur tim harimau tua dan akhirnya memenangkan laga dengan skor 4 – 1 dan memaksa Vietnam bertemu Thailand di semifinal.
Keempat daya juang. Menyaksikan tim muda ini berlaga di setiap laga AFF, kita bak menyaksikan sekumpulan gladiator yang bertarung untuk hidupnya. Seluruh pemain yang turun bertanding di tim ini bertarung dengan segala dayanya. Tidak peduli kalah atau menang, mereka memberikan segalanya.
Pertandingan terakhir kemarin yang berakhir dengan skor 2 – 2 menunjukkan dengan terang bagaimana daya juang tim ini.
Kalah 0 – 4 di pertandingan sebelumnya dan praktis menutup rapat peluang juara, tak membuat tim ini kehilangan semangat tempur. Thailand, yang tampak begitu superior dan jumawa di final leg pertama, pada babak pertama leg kedua ini seolah tak diberi ruang untuk sekedar bernafas.
Gajah Perang yang unggul segalanya dari tim ini, baik dari segi kualitas pemain dan pengalaman mereka gempur habis-habisan sampai-sampai kiper mereka membuat blunder, gagal mengamankan dengan sempurna bola hasil tendangan keras Ricky Kambuaya yang menerima umpan dari Witan Sulaiman.
Sepanjang babak pertama ini, Thailand nyaris tak mendapat peluang bersih ke gawang Indonesia yang dijaga Nadeo Argawinata.
Babak kedua, ada yang berubah, Thailand mengubah pola permainannnya, Indonesia seperti kaget dan tidak siap dengan perubahan itu dan tim negeri Siam itu pun berhasil mencetak dua gol dalam waktu berdekatan, Indonesia tertinggal 1 -2.
Tapi, apakah tim ini menyerah? Tidak, tim ini terus bertarung, mengejar bola, memepet setiap pemain Thailand yang menguasai bola, tak memberi ruang gerak yang bebas pada mereka. Asnawi sang kapten yang terus berlari, terlihat mengeluarkan darah dari hidungnya, tapi dia tidak peduli, bak singa terluka dia terus bertarung dan bertarung.
Hasilnya, dari sebuah kerjasama di lini tengah, Witan mencungkil bola, mengarahkannya ke ruang kosong di jalur lari Egy Maulana yang mengejarnya dengan mengandalkan kecepatan dan skill olahbola yang dia matangkan di eropa, mengalahkan bek Thailand yang menjaganya lalu dari sudut yang lumayan sulit di sisi kanan pertahanan Thailand, dengan tendangan yang tidak terlalu keras dia berhasil mengarahkan bola ke pojok kiri gawang Thailand dan mengubah skor menjadi 2 – 2.
Hasil ini bertahan sampai peluit akhir dibunyikan, Thailand juara dan Indonesia kembali harus puas menjadi juara kedua.
Tapi sekali lagi, kekalahan di final kali ini berbeda, kekalahan ini menyimpan asa. Indonesia dengan tim muda ini telah menggemparkan jagat sepakbola Asia Tenggara.
Selama PSSI tidak kembali ke kebiasaan lama, memecat pelatih tiap kali gagal juara di satu turnamen. Banyak pihak di Indonesia yakin, kalau Shin Tae Yong tetap dipertahankan sebagai pelatih, dengan berbekal tim muda ini sebagai kerangka utama, dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia akan menjadi kekuatan utama sepakbola Asia Tenggara. []