Lelaki Berkuda

oleh

Oleh : Salman Yoga S

Kuda pun diperlakukannya sebagai bagian dari anggota keluarga. Satu ketika aku tidak dizinkan makan sebelum kuda pacu yang kami pelihara di samping rumah belum diberi makan atau karena aku lupa menyambit rumput.

“Ia juga makhluk Allah yang perlu diperhatikan jika memang sudah benar-benar dipelihara,” katanya.

“Tidak boleh memperlakukannya sebagai hewan biasa sebab ia pun seperti manusia yang dapat merasa,” jelas bapak.

Aku tidak heran jika sewaktu-waktu atau ketika musim pacuan kuda di kota Takengon Aceh Tengah bapak selalu berpesan kepada kuda yang akan kutunggangi dalam lomba pacuan kuda tradisional yang tanpa pelana itu.

“Gelah jeroh perasat boh,” (yang baik tabiat ya) katanya dalam Bahasa Gayo kepada kuda hitam mengkilap yang bernama Buge Mujadi. Ini ia lakukan bukan saja pada setiap pacuan ketika kuda kesangan sekeluarga besar masuk babak final, tetapi setiap memberi makan dedak atau rumput di persawahan atau di kaki gunung.

Kuda-kuda peliharaan kami sangat mengenal suara dan aroma tubuh bapak. Setiap kali bapak memanggil kuda-kuda itu akan menyeringai dan berlarian mendekatinya meski dari kejauhan lereng gunung atau punggung bukit.

Ketika kuda-kuda itu mendekatinya bapak selalu mengelus setiap kuda yang berjumlah belasan ekor sambil beramanah seolah mengajak kuda-kuda itu berbicara. Tem, blang, dabul kata bapak menyapa setiap ekor kuda sesuai dengan warna bulunya masing-masing.

Hebatnya bapak ia punya kiat khusus agar kuda-kuda itu setia dan jinak pada tuannya. Setiap kuda mempunyai sifat yang berbeda-beda. Ada tuah dan tabiat yang berbeda masing-masing kuda berdasar warna bulu dan pusar di kepala atau badanya.

Terlebih jika kuda pacu, ada tanda yang menunjukkan seekor kuda punya tuah dan talen juara atau tidak. Makanan kuda selain rumput juga ada menu tambahan yang disediakan berupa dedak atau kulit padi yang sudah menjadi tepung, kerak nasi juga pedel ayam yang sudah dipanggang atau dimasak.

Makanan-makan itu sebelum diberikan kepada kuda terlebih dulu diludahi oleh bapak. “Ini salah satu cara agar kuda tau dan setia kepada tuannya,” jelas bapak kepadaku.

Di kotaku bapak selain dikenal sebagai peternak kuda juga sebagai pedagang tradisional. Ia menjajakan dagangannya berupa tembakau, daun nipah dan ikan depik kering di atas sebuah meja kecil dan kursi kayu di bawah tangga Pasar Ikan Kota Takengon.

Selain itu ia juga dikenal sebagai seorang ayah yang mempunyai banyak anak (empat orang putri dan sembilan orang putra), mantan Gecik (Kepala dan Wakil Kepala) Kampung Asir Asir selama lima belas tahun juga dikenal sebagai pemilik kuda pacu melegenda yang selalu juara.

Dua ekor kuda lokal yang melegenda dengan kurun waktu berbeda itu bernama “Buge Mujadi” berwarna hitam dan kuda bernama “Pesaka Due Belas” berwarna belang.

Kuda pacuan “Pesaka Due Belas” bahkan pernah mengalahkan kuda pacu super keturunan Australia dalam dua kali putaran di Gelenggang Musara Alun Kota Takengon pada tahun 2002.

Selain itu, orang-orang mengenal bapak dengan sapaan adat Sulaiman Aman Hafisah Meriah, hanya sebahagian yang tau masa remajanya adalah juga seorang Ceh Didong selebihnya mereka tidak tau. Terlebih silsilah, masa kanak dan masa perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Masa kanak bapak sangat sunyi. Ia sudah yatim sejak masih dalam kandungan ibunya Fatimah di kampung Kebet Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah. Saudara kandungnya hanya seorang bernama Besah Aman Abduh.

Ayahnya bernama Abdul Manah adalah seorang Raja Kebet (Pengulu Kebet) ketika seluruh negeri dikuasai oleh kolonialis Belanda. Kekuasaan berada di tangan Abdul Manah selama beberapa tahun sebelum akhirnya digantikan oleh Kali Kebet karena Abdul Manah mangkat.

“Kakekmu Abdul Manah dulu adalah orang yang sangat berpengaruh. Setiap ada acara yang terkait dengan kerajaan atau acara lain yang menyangkut sengketa tanah, prosesi adat, atau lainnya ia selalu diwajibkan untuk hadir untuk keabsahan ataupun menyelesaikan berbagai masalah. Kakekmu mempunyai nama kecil yang akrap disapa dengan nama “Onot”, ketika bapak lahir pada tahun 1925 Abdul Manah sudah meninggal beberapa bulan sebelumnya.

Dalam perjalanannya kemudian bapak menikah dengan Sufiah, putri semata wayang Reje Meluem M. Amin bin Segum Asir Asir. Dari pernikahan inilah lahir sejumlah 13 orang, dan aku adalah anak yang kesatu lusin.

Aku baru tau kehebatan bapak justru ketika sudah selesai kuliah S1. Bapak sering bercerita tentang banyak hal. Mulai dari masa kecilnya hingga waktu-waktu terakhir menjelang beliau wafat.

Kisah bapak, ia pernah bergabung dalam pasukan rakyat untuk mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Ia berlatih bersama Pasukan Berani Mati Barisan Gurilya Rakyat (Bagura) Pimpinan Tgk. H. Ilyas Leube yang diantara anggota pasukannya terdapat sejumlah nama seperti Pang Aman Dimot, Onot Pejebe, Syarifuddin Kadir, Pang Alim, Aman Khalimah, Agus Salim, Ali Jawa, Cut Reje dan puluhan nama lainnya.

Pasukan gelombang ketiga rencana akan diberangkatkan untuk bergabung dengan anggota pasukan lainnya yang lebih dulu telah berada di Tanah Karo untuk melawan Agresi Belanda ke-I dan Agresi Belanda ke-II (1947-1949). Namun pemberangkatan pasukan dihentikan karena Belanda sudah takluk terlebih dulu.

Kiprah bapak dalam pasukan rakyat mendapat penghargaan dari negara hingga tercatat sebagai Anggota Legiun Veteran dengan nomor anggota: 01.352/1.4/91. NPV: 1.028.513.

Beberapa tahun kemudian Aceh bergolak dengan meletusnya gerakan DI/TII Pimpinan Tgk. Daud Bereueh di Banda Aceh. Sementara di wilayah Gayo dipimpin oleh Tgk. H. Ilyas Leube.

Pada tahun 1955 bapak ditawari sebagai anggota pasukan/tentara kembali oleh pimpinan DI/TII yang juga adalah iparnya sendiri. Dengan berbagai pertimbangan bapak menolak dengan halus, meski ia tau perjuangan kali ini adalah untuk menegakkan Syariat Islam.

Alasan bapak karena anaknya masih kecil-kecil dan butuh biaya hidup dan pendidikan. Penolakkan ini dimaklumi oleh Tgk. H Ilyas Leube, meski kemudian ia menyanggupi opsi kedua yang ditawarkan oleh Tgk. H. Ilyas Leube untuk menjadi pensuport logistik gerakan secara rahasia.

Bapak berhenti berdagang di bawah tangga Pasar Ikan Kota Takengon ketika sebagian anak-anaknya sudah menikah dan hidup mapan.

Sepulang dari tanah suci bapak menikmati hari tuanya bersama puluhan cucu dan cicit-cicitnya hingga wafat tanggal 10 Oktober 2017 dalam usia 92 tahun, menyusul istrinya Hj. Sufiah Inen Hafisah Meriah yang wafat pada bulan Juni 2010. []

*Kisah nyata ini dipetik dari buku “Ayahku Jagoanku”, Jakarta: Kosa Kata Kita, 2021. Halaman 263-267.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.