[Bag. 1] Romansa Gayo dan Bordeaux : Ufuk Barat Indonesia

oleh

Novel Karya : Win Wan Nur*

-Maret 1998-

Matahari sudah naik agak tinggi. Di sebuah pantai sempit yang tersembunyi di antara dua bukit kecil yang ditumbuhi hutan sekunder. Seorang pemuda berkulit coklat berambut hitam panjang sebahu, keluar dari dalam air sehabis menyelam.

Dia memakai celana surfing Rip Curl dengan warna dominan hijau, di lehernya tergantung kalung dog tag seperti yang dipakai oleh Charlie Sheen di film Platoon. Pada pergelangan tangan kirinya melingkar jam tangan Casio G-Shock, sedangkan tangan kanannya dihiasi gelang yang terbuat dari jalinan tali kernmantel kecil berwarna merah, biru dan hitam.

Pemuda ini keluar dari air sambil menenteng alat bantu renang “kaki katak”. Goggle, kacamata selam yang dilengkapi penutup hidung dari karet dan selang, masih terpasang di kepalanya meski kacanya sudah tidak lagi menutupi mata, melainkan diangkat ke atas kening. Posisi ini menghindarkan rambutnya yang basah turun ke wajah, menutupi pandangan.

Tak lama kemudian dia menjejakkan kakinya di pasir putih. Dia melayangkan pandangan ke sekelilingnya, seperti pemandangan sehari-hari yang dia lihat di tempat ini, tubuh-tubuh manusia berkulit putih terang, laki perempuan, berpakaian minim, bergeletakan di sana sini.

Yang laki-laki, hampir semuanya bercelana pendek dan bertelanjang dada. Sementara yang perempuan, hanya menutupi kulit di bagian tubuh paling sensitifnya dengan dua potong kecil kain yang mereka sebut bikini. Mereka berjemur dan bermalas-malasan di bawah teriknya sinar matahari yang menyinari negeri tropis yang wilayahnya dibelah oleh garis khatulistiwa.

Si Pemuda berjalan langsung menuju ke sumur milik umum, satu-satunya sumber air tawar yang ada di tempat ini. Sambil berjalan, tetesan air berjatuhan dari rambut dan sekujur badannya.

Tanpa dia sadari, sepasang mata milik seorang perempuan berambut pirang pendek menatapnya lekat-lekat. Perempuan berbikini biru muda dengan tattoo aksara Tionghoa di sisi kiri tubuhnya. Dengan mimik wajah penuh rasa penasaran, sorot mata perempuan ini mengikuti kemanapun dirinya melangkah.

Di mata si pirang, sosok pemuda ini begitu unik alias tidak biasa. Dari sisi tampilan saja, si pemuda begitu berbeda dengan orang-orang yang memenuhi pantai ini, yang mana hampir semuanya memiliki ciri fisik seragam: berkulit putih, hidung mancung, berambut coklat atau pirang. Ciri-ciri fisik yang umum ditemui pada manusia yang terlahir dari ras kaukasoid bertipe nordic dan mediteranian. Pendeknya, di matanya, pemuda ini berbeda.

Jika melihat sekilas tanpa memperhatikan wajah, orang akan menduga dia adalah anggota etnis mayoritas yang mendiami daerah ini, pemilik gen campuran kaukasoid type indic yang memiliki ukuran tubuh lebih tinggi daripada rata-rata penduduk pribumi Indonesia.

Tapi saat diperhatikan lebih dekat, wajah si pemuda adalah menunjukkan ciri ras mongoloid bertipe indo-malayan sebagaimana pribumi Indonesia kebanyakan. Ciri kaukasoid sama sekali tak terlihat pada wajahnya. Bentuk rahangnya khas Austronesia, yang juga agak mirip dengan Polinesia, seperti orang Thailand, Vietnam atau Melayu. Matanya agak sipit seperti orang Tionghoa.

Hidungnya medium, tidak pesek dan tidak mancung. Rambutnya yang agak bergelombang yang dibiarkan tumbuh panjang mencapai bahu, berwarna hitam pekat.Rambut itu sekarang terlihat lepek karena basah setelah menyelam. Tampilan seperti ini membuat sosok pemuda ini terlihat semakin eksotis di mata si pirang.

Begitu tiba di tempat yang dituju, si pirang melihat pemuda itu melepaskan goggle dan meletakkannya bersama dengan kaki katak di lantai semen di sekeliling sumur. Timba plastik yang terikat tali nilon diraihnya dan diturunkannya ke dalam sumur yang tepinya dipasangi ring beton setinggi pinggang, tali itu dia goyang-goyangkan untuk memastikan timba plastik itu terisi air, lalu menariknya ke atas dan air sumur yang sejuk langsung dia guyurkan ke sekujur tubuhnya.

Kesejukan air tawar yang berasal dari kedalaman sumur menjelajahi seluruh lekuk kulit yang membungkus otot dan persendiannya. Menghanyutkan dan membersihkan sisa-sisa garam yang menutupi pori-porinya.

Garam ini begitu cepat terbentuk dari air laut yang mengering di permukaan kulit akibat panas matahari yang terik. Air sumur yang dingin mengalir dari ujung rambut sampai ke kakinya, menghadirkan sensasi segar yang begitu nyaman dirasa.

Dari tempatnya berjemur, si pirang memperhatikan semua proses itu dengan seksama. Setiap detail kecil adegan si pemuda yang sedang membersihkan badan tak luput dari perhatiannya. Ketika si pemuda menutup mata saat mengguyur air di kepala, tanpa sadar si pirang meleletkan lidah. Ketika si pemuda menggoyangkan kepala sehingga percikan air dari rambut gondrongnya terpapar kemana-mana, dia menggigit bibir bawahnya.

Tingkah gadis ini tak lepas dari pengamatan temannya, seorang perempuan berambut coklat yang berusia sepantarannya yang berbaring tepat di sebelahnya.ya

“Udah, dekati sana!” seru si rambut coklat sambil menyenggol tangan si pirang.

“Eh, ah…” Si pirang gelagapan. Dia tersadar dari lamunan berbalut imajinasinya.

“Atau biar aku ke sana ngomong langsung sama dia?” goda si rambut coklat seolah bersiap bangkit berdiri. Dia tidak sabar melihat kelakuan temannya yang sudah bertingkah seperti ini sejak si pemuda tiba di tempat ini tiga hari lalu.

“Jangan!!!” Cegah si pirang. Nada panik terdengar jelas dari suaranya, cepat-cepat dia menarik tangan temannya. Wajahnya bersemu merah.

Sementara itu, si pemuda berkulit coklat ini hampir selesai mandi ketika hidungnya mencium aroma sedap ikan panggang berpadu dengan suara dentingan logam.

Aroma dan suara itu berasal dari restoran Wind Long yang berada tepat di belakangnya, sekitar 20 meter dari bibir pantai.

Dari speaker yang terpasang di teras restoran itu, terdengar alunan lembut lagu Human Behaviour yang dinyanyikan oleh Björk, penyanyi perempuan asal Islandia.

Kepalanya menoleh ke arah teras berlantai pasir yang dilengkapi dengan beberapa kursi dan meja. Teras ini adalah merupakan ruang utama restoran Wind Long. Di tempat itu, dilihatnya dua orang laki-laki berkulit putih tak berbaju melambaikan tangan padanya. Pemuda ini membalas lambaian tangan kedua laki-laki itu lalu melanjutkan mandinya.

Tempat di mana kedua laki-laki berkulit putih ini duduk, adalah bagian paling nyaman dalam restoran Wind Long. Bagian ini sekaligus adalah bagian yang paling disukai pelanggan. Sebab dari tempat ini pandangan mata terbuka bebas tanpa halangan ke arah pantai.

Wind Long, nama yang dipilih oleh pemilik restoran ini dicomot berdasarkan terjemahan salah kaprah dari Lhong Angen, sebuah pantai yang terletak di sisi lain bukit yang memisahkan pantai itu dengan pantai ini.

Sambil mandi, bibir pemuda menyunggingkan senyum. Dia teringat pada pengalamannya tiga tahun yang lalu ketika untuk pertama kalinya datang ke tempat ini. Waktu itu dia merasa seperti masuk ke dunia lain. Sebuah sensasi yang di istilahkan oleh orang Prancis sebagai depaysement atau sens dépaysé yang tak bisa ditemukan padanannya dalam bahasa Inggris atau dalam bahasa Indonesia.

Depaysement adalah sebuah perasaan berada di tempat yang sangat berbeda, asing tapi bukan dalam konteks negatif, sebuah perasaan yang menyentuh alam bawah sadar bahwa kita sedang tidak berada di rumah tapi berada di sebuah tempat yang indah yang tidak biasa.

Bangunan-bangunan restoran di tepi pantai ini, desainnya begitu sederhana, terkesan sangat lokal dan nyaris seragam. Berdinding dan bertiang kayu dengan lantai pasir pantai serta daun muda pohon rumbia yang dikeringkan sebagai atap. Hanya ada penutup dari papan setinggi 1 meter dengan pintu dari papan jarang-jarang sebagai pembatas antara bagian dalam dan bagian luar bangunan. Gunanya hanya untuk mencegah binatang tidak masuk sembarangan.

Tepat di samping pintu masuk, di bagian depan sebelah luar semua restoran ini, terpampang papan bercat hitam berisi daftar menu yang ditulis dengan kapur tulis warna-warni. Menu yang tersedia didominasi oleh nama-nama masakan khas Barat seperti Pancake, Noodle, Omelette dan berbagai menu ala Barat lainnya yang bersanding dengan Fried Rice dan Grilled Fish. Diingatnya, dulu dia tersenyum geli melihat nama menu-menu itu.

Dia membayangkan kalau menu seperti ini ditulis Banda Aceh, kota tempatnya tinggal, mungkin orang akan segan masuk karena menyangka itu semua masakanb yang mahal dan rasanya belum tentu cocok di lidah.

Padahal menu yang ditulis dalam bahasa Inggris itu sebenarnya cuma kue apem, mie, telur dadar, nasi goreng dan ikan panggang.
Di belakang restoran-restoran ini, terdapat tanah berbukit yang berkontur terjal. Di tempat itu berdiri belasan bungalow sederhana dengan gaya arsitektur dan bahan yang senada dan sama sederhananya dengan restoran.

Perbedaan mencolok hanya bisa dilihat dari tampilan bungalow-bungalow ini yang dibuat berbentuk panggung berlantai kayu dengan tiang-tiang penyangga balok kayu seukuran betis orang dewasa di keempat sisinya. Dimana untuk mencapai bagian beranda, orang harus memanjat tangga.

Tiang-tiang penyangga bungalow-bungalow ini dipancang mengikuti lekukan kontur tanah tempatnya berdiri, jadi tiang tersebut tingginya tidak seragam, ada yang pendek dan ada yang tinggi.

Pohon-pohon hutan sekunder yang tumbuh di kanan kiri bungalow dibiarkan tetap tumbuh tanpa gangguan.

Beberapa bungalow itu mencuat lebih tinggi dari puncak pepohonan. Sehingga ketika dilihat dari kejauhan, atap bangunan ini yang dibuat dari daun muda rumbia kering yang berwarna kecoklatan, tampak kontras dengan warna hijau daun di sekitarnya, sebagaimana kontrasnya warna setumpuk jamur merang yang tumbuh di atas arang basah hasil pembakaran jerami.

Pada bagian teras di antara dua tiang depan bungalow, tergantung jaring-jaring bekas pukat nelayan yang sudah tidak terpakai. Oleh pemilik bungalow, jaring-jaring ini difungsikan sebagai hammock, tempat tidur gantung. Di dalam hammock, tubuh-tubuh berkulit putih, berambut coklat atau pirang, berbaring santai dan bermalas-malasan.

Dengan pakaian seadanya, mereka menikmati hembusan angin sepoi-sepoi sambil membaca novel karya dari penulis-penulis semacam Rosie Boycott, James Patterson, Douglas Kennedy dan sejenisnya, Para penulis ini namanya cukup familiar di kalangan pembaca novel populer di luar negeri, tapi asing bagi orang Indonesia.

Bukan hanya ketika baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, sampai hari inipun, meski dia sudah mengunjungi tempat ini berkali-kali, tiap kali dirinya berada di tempat ini, menyaksikan pemandangan seperti ini, merasakan teriknya sinar matahari yang menyengat kulitnya sembari aroma lezat masakan yang sedang disiapkan di restoran menggoda indera penciumannya, sensasi sens dépaysé masih selalu dia rasakan.

Pemuda ini sudah selesai mandi. Dia sedang membereskan peralatannya ketika dilihatnya sebuah perahu merapat ke pantai. Seorang nelayan berkulit legam tiba dari laut. Dengan sigap menarik perahu kecilnya ke darat dan memanggul jaring di bahu sambil menenteng ember kecil berisi ikan hasil tangkapan.

Si nelayan berjalan menjauhi pantai. Perhatiannya tidak teralihkan sama sekali oleh dua perempuan berbikini yang berjemur terlentang tepat di bawah matanya. Seperti sang nelayan, dua perempuan dengan bentuk tubuh sempurna ala manekin lengkap dengan hidung mancung, kulit putih mulus dan wajah jelita inipun tidak tampak terganggu oleh kehadirannya.

Tanpa mengacuhkan si nelayan dan perempuan pirang yang tidak dia sadari terus mengikutinya dengan pandangan mata sejak tadi, si pemuda dengan santai mengayunkan langkah menuju utara, ke arah jalan setapak rabat beton membelah bukit kecil berhutan menuju tempat tersembunyi lain di bukit berhutan sekunder, di mana terdapat lebih banyak lagi bungalow dengan desain yang hampir sama dengan bungalow-bungalow di tepi pantai ini.

Di bagian bukit yang dia tuju, terdapat tiga buah restoran yang juga merupakan pusat administrasi dari puluhan bungalow-bungalow mandiri yang semuanya dibangun di bawah rimbun pepohonan, seolah tersembunyi.

Dari ketiga restoran tersebut, dua diantaranya menggunakan nama perempuan, “Aminah Restaurant & Bungalows” dan “Hamidah Restaurant & Bungalows” hanya restoran ketiga yang letaknya paling ujung dari kompleks bungalow ini yang menggunakan nama laki-laki: “Hamdan Restaurant & Bungalows”.

Uniknya, meski restoran ini memilih menggunakan laki-laki, tapi pemilik yang mengelola sendiri restoran bersama kompleks bungalow ini adalah seorang perempuan. Namanya Rahma, seorang perawan tua berusia 30-an.

Pemuda berkulit coklat berambut hitam bergelombang panjang sebahu ini, menginap di salah satu bungalow yang berada di bawah manajemen Hamdan Restaurant.

***

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.