Nova dan Alhudri Diserang, Lawannya Menabuh Gendang, Kenapa Kita Ikut Menari?

oleh

Oleh : Ricky Arasendi*

Beberapa hari ini, kalau kita mengikuti di dinamika di dunia maya, kita akan membaca rentetan framing negatif terhadap para pejabat asal Gayo yang berkarir di tingkat provinsi. Framing itu sebenarnya tidak berhubungan dengan esensi terkait kinerja, tapi lebih pada serangan pada hal-hal yang bersifat karakter pribadi.

Diawali dengan serangan kepada Nova Iriansyah terkait gesturnya saat bertemu presiden Jokowi yang dikomentari dengan gegap gempita dengan berbagai komentar berbahasa Aceh. Rata-rata komentar itu bernada menghina, beberapa di antaranya mengaitkannya dengan latar belakang kesukuan Nova Iriansyah.

Belum redup serangan pada Nova Iriansyah, target lain sudah dibidik. Kali ini yang menjadi sasaran serangan adalah pejabat asal Gayo lainnya, Alhudri, yang saat ini menjabat sebagai Kadisdik Provinsi Aceh.

Ucapan Alhudri yang menegaskan, kepada kepala sekolah, terutama wali kelas untuk melakukan berbagai upaya agar para siswa mau divaksin, kecuali bagi mereka yang memang tidak diizinkan secara medis, mereka jadikan sebagai pintu masuk serangan kepada mantan camat Syiah Utama (Samarkilang) ini.

Padahal kalau ditelisik lebih jauh, apa yang diucapkan oleh Alhudri ini adalah untuk menjawab tuntutan publik yang menginginkan Aceh segera menggelar sekolah tatap muka. Menariknya sekarang “publik” yang sama yang sekarang menghajarnya terkait dengan ketegasannya soal vaksinasi siswa.

Vaksinasi siswa ini adalah terkait dengan keselamatan jiwa, bayangkan kalau nanti sekolah tatap muka benar-benar dijalankan dan siswa belum divaksin, lalu terjadi penyebaran Covid secara massal da nada siswa yang meninggal karenanya, apakah orang-orang yang sekarang mencerca Alhudri akan bertanggungjawab? Tentu tidak.

Liciknya, para penghujat ini kemudian menyebarkan video pernyataan dari menteri pendidikan Nadiem Makarim bahwa “vaksinasi siswa bukan syarat wajib untuk melakukan sekolah tatap muka” tapi dalam video itu, mereka sengaja memotong bagian dimana Nadiem mengatakan bahwa ini diutamakan untuk “kota-kota besar dimana laju vaksinasi sudah cukup besar,” dan “tapi di sini pasti saja ada berbagai macam kendala yang mungkin niat baik dari satgas covid daerahnya ataupun pemdanya untuk melakukan hal lain” sengaja tidak ditampilkan. Padahal disitulah esensinya, kondisi tiap daerah itu tidak sama.

Aceh adalah negeri para aulia yang sangat banyak warganya yang sampai saat ini masih tidak percaya kalau Covid itu ada. Di negeri seperti ini, seandainya, Kadisdik bersikap lembek seperti diinginkan penghujatnya, jangan heran ketika sekolah tatap muka dilaksanakan, para siswa, satu persatu akan bertumbangan.

Kita mungkin bisa menyimpulkan kalau serangan kepada Alhudri kali ini sebenarnya didasari oleh niat baik dari orang-orang yang menginginkan kualitas pendidikan Aceh jadi lebih baik, sebagaimana ucapan ibu-ibu nyinyir yang tampil dalam video pendek berbahasa Aceh, kalau serangan pada Alhudri hanya fokus pada soal ucapannya ini. (Ibu-ibu ini sepertinya lupa, kalau peringkat Aceh dalam hal penerimaan lulusan SMA/SMK di perguruan tinggi yang sebelumnya istiqamah di papan bawah, di masa Alhudri langsung melonjak ke 8 besar)

Tapi yang menarik, tidak lama setelah pintu serangan ini dibuka. Kemudian muncul di berita salah satu media online Aceh yang kemudian ditampilkan di sebuah grup facebook yang terkenal dengan komentar-komentar rasis anggotanya terhadap Gayo. Berita itu berjudul “Dalam dua tahun, harta Kadisdik Aceh, bertambah 2 milyar”.

Tidak perlu otak yang terlalu pintar untuk menyimpulkan bahwa, judul berita seperti ini adalah framing untuk mengarahkan pembacanya untuk berpikir bahwa Kadisdik Aceh yang saat ini dijabat Alhudri, melakukan korupsi.

Framing yang nyata yang bisa kita lihat di sini adalah kata “Dalam dua tahun” dan “Kadisdik Aceh.” Dengan judul seperti itu, pembaca digiring untuk berpikir bahwa, baru dua tahun menjabat Kadisdik hartanya sudah bertambah sebegitu luar biasa. Padahal kenyataannya, Alhudri belum setahun menjabat Kadisdik Aceh.

Kemudian, ketika kita baca beritanya, di sana yang ditampilkan adalah nilai tanah milik Alhudri, harta tak bergerak yang secara natural, setiap tahun nilainya meningkat.

Entah karena saking pintarnya atau karena bodohnya, berita yang memojokkan Alhudri yang disambut gegap gempita di berbagai platform yang terkenal karena banyaknya komentar rasis berbahasa Aceh ini juga diposting oleh seorang wartawan Gayo yang bekerja di media nasional dan hasilnya inipun menjadi pembicaraan orang Gayo dan dikomentari banyak orang.

Sebuah komentar menarik datang dari akun facebook Arika Kute Beranang yang sehari-harinya adalah seorang petani sekaligus pemasok biji kopi yang sepertinya mengenal baik latar belakang keluarga Alhudri mengatakan “Secara warisen dele tanohe bapak ni ,karena i Bebesen pe, dele tanohe ,secara reje baluntara Toweren pe dele ni pakeni warisen ne , sawah ku Gewat ara tanohe, te ke ben udah i bagi warisen selo kite betih, ke secara si banan pe ,dele reta ni pakea , te sana ni kite si maciki.”

Yang kalau diartikan ke bahasa Indonesia, kurang lebih berarti “Secara warisan, banyak tanah bapak ini, karena di Bebesen pun, banyak tanahnya, secara Raja Baluntara Toweren pun mereka banyak warisannya, sampai ke Gewat ada tanahnya, barangkali mereka baru bagi warisan, mana kita tahu. Kemudian secara pihak istri pun, (keluarganya) punya banyak harta mereka, lalu apa pula kita yang risau”

Ketika dua serangan yang seolah tidak berhubungan ini, ditujukan kepada orang-orang yang punya sama dalam waktu berdekatan. Terlalu janggal kalau kita berpikir bahwa ini adalah sebuah kebetulan. Adalah sangat wajar jika kemudian ada orang yang berpikir bahwa ini sebenarnya serangan sistematis yang dirancang oleh orang-orang dari kelompok yang sama.

Mengapa kita katakan wajar, ketika ada orang yang berpikir ini adalah serangan sistematis yang dirancang oleh orang-orang dari kelompok yang sama.

Pertama, jelas, latar belakang Nova Iriansyah dan Alhudri, mereka berdua berasal bukan dari kelompok etnis mayoritas di provinsi ini. Nova sendiri, bukan sekali dua kali menjadi target serangan bernada rasis dari kelompok etnis mayoritas di provinsi ini. Kentara sekali, mereka tidak senang ketika pemimpin provinsi ini tidak dijabat oleh orang dari kelompok etnis mereka sendiri.

Pihak ini sering mengembangkan isu bahwa para pejabat asal Gayo lebih mengutamakan daerah asalnya sendiri, meski ini sebenarnya wajar karena, terkait pembangunan yang menggunakan dana pemerintah, dalam banyak hal daerah Gayo ini jauh tertinggal dari daerah lain yang penduduknya didominasi oleh etnis mayoritas di provinsi ini, tapi kenyataannya, Gayo jauh lebih banyak menerima perhatian ketika gubernur Aceh dijabat oleh Irwandi.

Kalau memang ini tujuannya untuk kebaikan Aceh, kenapa dari sekian banyak kepala dinas yang ada di Aceh, yang disorot hanya Alhudri berdasarkan kenaikan nilai harta tak bergeraknya? Apakah kepala dinas lain tidak ada yang mengalami kenaikan harta selama dua tahun ini ? Kenapa bukan lebih dari 90 milyar kelebihan pengeluaran anggaran dari Kadisdik Aceh sebelum Alhudri yang disorot? dan banyak lagi pertanyaan lain.

Kemudian, alasan kedua, mengapa wajar ada orang berfikir seperti ini, adalah fakta bahwa Dinas Pendidikan Aceh adalah salah satu dinas gemuk anggaran di provinsi ini, mereka hanya kalah dari dinas PUPR.

Dengan anggaran yang gemuk, tentu selama ini banyak yang mendapatkan bancakan dari sini. Sementara di masa kepemimpinan Alhudri, dia berulangkali menegaskan kalau di bawah kendalinya, Disdik Aceh tidak akan jorjoran lagi melakukan pembangunan fisik, dia akan lebih banyak memfokuskan perhatiannya pada peningkatan mutu pendidikan. Artinya, akan banyak penikmat proyek fisik di dinas ini yang selama ini berpesta pora, tiba-tiba gigit jari.

Jadi bukanlah hal aneh kalau pihak-pihak yang selama ini menikmati bancakan yang menghasilkan banyak bangunan fisik yang tak ada manfaatnya bagi masyarakat tapi memperkaya sebagian kalangan ini, tidak senang dengan adanya Alhudri di posisi ini. Mereka membutuhkan, orang yang bisa mereka kendalikan untuk duduk di posisi Alhudri.

Kesimpulannya, adalah hal yang sangat wajar kalau di berbagai grup media sosial yang selama ini kita kenal dengan komentar-komentar rasis anggotanya menyerang Nova Iriansyah dan Alhudri dengan berbagai macam kesalahan yang dicari-cari.

Tapi adalah bodoh sekali, kalau kita orang Gayo yang sama sekali tak mendapat keuntungan apapun seandainya mereka berdua atau salah satunya dijatuhkan dari jabatan yang dia emban selama ini, ikut-ikutan menari dengan rentak gendang yang ditabuh oleh kelompok ini. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.