Oleh : Win Wan Nur*
Sebelum menjadi seperti sekarang, kawasan Paya Ilang tadinya adalah merupakan daerah konservasi. Masih segar dalam ingatan saya, ketika saya masih tinggal di Panti Asuhan Budi Luhur, kami sering menangkap ikan dan memerangkap belibis di tempat itu.
Karena dasarnya, Paya Ilang adalah daerah penampung air, secara alami kondisi lahannya, tidak cocok untuk digunakan untuk membangun gedung massif lebih dari satu lantai. Massif di sini dalam pengertian, bangunan yang besar, bukan seperti ruko atau rumah tinggal.
Gedung yang massif, biasanya digunakan untuk kantor, ruang pertemuan atau pergudangan.
Sebenarnya, sebuah gedung yang massif bisa dibangun di mana saja, tapi untuk alasan keamanan, untuk tempat yang kondisi tanahnya tidak begitu baik untuk dibangun sebuah struktur bangunan yang massif dibutuhkan dana yang lebih besar dibandingkan, kalau bangunan itu dibangun di tempat dengan kondisi tanah yang ideal.
Sebab untuk membangun gedung massif, dasar pondasi harus mencapai tanah keras sehingga bangunan itu aman menurut perhitungan secara geoteknik.
Konsekuensi dari pilihan ini adalah terjadinya pemborosan pada pembuatan pondasi bangunan, kalau misalnya gedung yang sama dibangun di lahan dengan kondisi tanah ideal, seharusnya untuk bangunan massif dua lantai, cukup dibangun di atas pondasi telapak dengan kedalaman dua meter saja.
Tapi untuk kondisi lahan di Paya Ilang, agar pondasi bisa berdiri di atas tanah keras, maka kedalaman pondasi harus mencapai kedalaman antara 7 sampai 9 meter, yang mana ini terhitung sebagai pondasi dalam.
Pilihan lain adalah, menggunakan pondasi tiang pancang.
Kedua pilihan ini berbiaya sangat mahal.
Kalau membangun gedung semacam itu di Paya Ilang, demi menghemat dana kemudian dipaksakan untuk berdiri di atas pondasi dangkal 2 -3 meter, itu berarti pondasi tersebut akan berada di atas tanah timbun yang “mengapung” di atas tanah lunak Paya Ilang.
Situasi yang tentu saja tidak memadai secara geoteknik. Alhasil, bangunan menjadi gampang rusak akibat terjadinya settlement alias penurunan muka tanah karena tidak kuat menahan berat beban bangunan.
Situasi ini bisa dilihat secara kasat mata pada gedung-gedung massif yang saat ini berdiri di Paya Ilang, sebut saja seperti terminal, bangunan community, bangunan resi gudang yang kalau diperhatikan, jelas terlihat semuanya sudah mengalami keretakan di beberapa bagian.
Dan kalau ditelaah berdasarkan ilmu Teknik Sipil, hal seperti itu sangat wajar terjadi sebab pada bagian pondasi tak kuat menahan beban akibat rendahnya daya dukung tanah.
Jikapun ingin tetap membangun gedung satu lantai dan massif di Paya Ilang, seperti disebutkan sebelumnya, tak ada pilihan selain menggunakan tiang pancang dan bor.
Contoh bangunan di Paya Ilang yang didirikan dengan pondasi seperti ini adalah gedung imigrasi yang dibangun pada tahun 2019 dengan biaya total sebesar 13 milyar.
Hasilnya, bisa kita saksikan, mungkin gedung imigrasi inilah satu-satunya bangunan massif di Paya Ilang yang tidak mengalami keretakan sebagaimana gedung-gedung lain.
Bahaya lain dari yang lebih menakutkan dari pembangunan konstruksi gedung massif di Paya Ilang yang tidak mengindahkan kaidah keamanan berdasarkan ilmu geoteknik adalah resiko yang terjadi saat terjadi gempa. Gedung-gedung dengan pondasi yang lemah ini akan mudah runtuh.
Seorang pengamat bidang konstruksi, rekan saya sesama alumni Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Unsyiah yang mengambil S2 bidang struktur di ITS yang tidak ingin disebutkan namanya. Ketika saya ajak berbicara mengenai hal ini di Solong Premium Ulee Kareng, menyatakan keprihatinannya atas kondisi Paya Ilang.
Menurutnya, dampak pertama yang paling mengkhawatirkan, tentu secara teknis, keamanan gedung tersebut. Kalau gedung itu tidak aman, otomatis gedung itu akan menjadi disfungsional sehingga dianggap gagal.
Karena masalahnya ada di pondasi, ketika gedung-gedung yang dibangun di atas tanah Paya Ilang ini mengalami keretakan, berapa kalipun direhab, dalam waktu tak berapa lama, gedung tersebut akan rusak kembali.
Kedua, kalaupun pemegang kebijakan tetap nekat membangun gedung massif di atas lahan Paya Ilang dipaksakan dengan konstruksi pondasi seadanya. Ini akan mengakibatkan konsekuensi hukum yang tidak ringan bagi para pejabat, KPA dan PPTK-nya. Apakah itu di tingkat provinsi ataupun kabupaten.
Nanti meskipun mereka sudah tidak lagi menjabat, pembangunan gedung yang dia tandatangani pelaksanaannya ini akan menjadi temuan dan beresiko mengantarkan mereka ke balik jeruji di masa tuanya. Meskipun waktu itu mereka sudah tidak menjabat lagi. Mengingat untuk kasus dugaan korupsi bahkan untuk waktu 10 tahun ke depan pun, kasusnya masih bisa diungkap kembali.
Karena kalau situasi ini terus dibiarkan, ini akan jadi bencana di masa depan, sang teman ini menyatakan, kalaupun Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, bersikeras tetap ingin menjadikan kawasan Paya Ilang sebagai tempat dibangunnya gedung-gedung konstruksi sipil.
Kiranya Pemkab membuat lokakarya terkait dengan Paya Ilang dulu. Baik itu menyangkut sisi konstruksi mapun permasalahan lingkungan.
Sebab, meskipun nantinya dari sisi konstruksi permasalahannya bisa diselesaikan. Tapi karena secara tata letak, Paya Ilang ada di dalam geldok, air yang mengalir dari daerah Jalan Lembaga dan Lemah, semuanya mengalir ke sana. Jangan heran kalau di masa depan, seandainya semua lahan di Paya Ilang sudah ditutupi beton, daerah itu akan rutin mengalami kebanjiran. []