[Resensi Buku] “Gergel”nya Sastra Tanah Gayo

oleh

Judul Buku: Gergel
(Antologi Puisi Modern 5 Penyair Gayo)
Penulis : Ansar Salihin, Salman Yoga S., Vera Hastuti, Win Gemade, Zuliana Ibrahim
Penerbit : The Gayo Institute, 2021
Tebal : 135 hlm + xiv

Oleh : Bambang Widiatmoko*

Kesastraan di Aceh selalu menarik untuk diperbincangkan. Demikian pula antologi puisi Gergel yang berisi sajak=sajak 5 penyair Gayo. Tidak saja keragaman tema yang ditulis oleh para penyairnya. Terlebih lagi kopi Gayo yang merupakan produk andalan dan ikon Gayo, diolah menjadi sebagian besar sajak dalam antologi ini.

Sisi menarik yang lain adalah bagaimana para penyair mengeksplorasi kemaritiman dalam antologi ini. Kita ketahui sejarah kemaritiman dunia setidaknya dapat diketahui melalui catatan Asnan (2014) yang mengambarkan aktivitas perdagangan di wilayah Sumatra sebelum penguasaan bangsa Barat.

Tahun 1510, Pidie merupakan daerah perdagangan yang penting dengan komoditas utama lada, beras, kapur barus, dan emas. Akan tetapi, masa kejayaan Pidie menurun sejak Malaka dikuasai oleh Portugis.

Kebangkitan Pasei pun muncul ditandai dengan banyaknya saudagar yang datang dari berbagai negara seperti Benggala, Rumes, Turki, Arab, Pesia, Gujarat, King, Melayu, Jawa, dan Siam. Bahkan Pasei menjadi tempat pelabuhan pengumpul barang dagangan.

Tampaknya jalur rempah di Aceh meski termasuk tertua di Nusantara tidak mendapat perhatian oleh lima penyair ini. Meskipun demikian ada sajak kemaritiman yang bagus ditulis oleh Salman Yoga S dengan judul “Dari Linge ke Lingga”:

Entah batu atau lumut laut/Aku memangut-manggut di pantai Dugong/Seperti selonsong peluru kehabisan mesiu/Terpaku didekap angina terdiam diserbu nyiur/Lunaslah dendam kembara/Dengan sekali baca sajak//Entah batu atau lumut laut/Garis pantai menyatukan nusa/Dari linge Gayo ke Lingga Riau/Yang memendam risau tentang rentangt tali panjang/Yang belum kutemukan simpul kepalnya/Seperti jangkar yang tenggelam/Merendamkam diri dibalik karang/Lalu terpaut antara mimpi dan misteri/Menjadi rahasia, menjadi kabut/Menjadi Dugong pemalu/Menjadi lumut, menjadi laut//(hlm. 38).

Sangat menarik apa yang dikemukakan Salman mempertautkan jarak dari Linge ke Lingga. Dalam sajak yang mengisahkan tentang Dugong atau Duyung yang pemalu. Habitat Dugong yang terdapat di padang lamun pesisir pantai Trikora Kepulauan Riau, dilukiskannya dengan penuh metafora.

Begitulah seharusnya sajak ditulis. Sajak harus memiliki karakteristik dan daya ucap yang khas. Bukan sesuatu wujud yang belum diolah namun terlalu dini dihadirkan seperti dalam sajak Ansar Salihin “Ini Bukan Puisi”:

Ini bukan sajak yang teratur tertata di lembar/Hanya syair gelombang menjelang senja/Di tepi pantai nan jauh desir pasir/Bersama hembusan memeluk rohku/Terbenam di sini/Masih terlalu singkat/Menjadi puisi//((hlm. 16).

Tentu peminat dan penikmat sastra memerlukan membaca sajak yang sudah jadi dan berisi. Sajak Ansar lainnya cukup berhasil ditulis seperti sajak “Kerawang Pitu Ruang” dan “Tujuh Kuala”.

Diharapkan Ansar belajar untuk menyeleksi karyanya sebelum menyertakan dalam penerbitan antologi puisi bersama.
Sajak “yang belum jadi” atau memerlukan revisi juga dapat dibaca pada karya Vera Hastuti. Sajaknya banyak yang masih berisi tentang kerinduan dan belum diolah menjadi bangunan diksi-diksi yang menarik. Seperti dalam kutipan sajaknya “Sajak Gerimis”:

dimalam selepas gerimis/kutulis sajak tentang rindu/aku merenungkan kenangan/menerjemahkannya dalam sebait doa//(hlm. 57). Juga tentunya dihindari kesan menggurui yang menurut Seno Gumira Ajidarma adalah salah satu dari tiga mitos yang harus dihindari penyair. Seperti dalam kutipan sajak “Saat Semuanya Pergi”: Saat…/Mati, tak ada lagi yang melayat/Maka…/Saat itu…marilah kita segera bertobat//(hlm. 69).

Membaca sajak-sajak Vera beberapa di antaranya tanpa judul yang menarik. Misalnya “Rindu”; “Terkenang”; “Kampung Halaman”; “Rumah Kita”; “Ber…Ber…Ber”. Juga penulisan tiga titik (. . .) bertebaran pada sebagian besar sajaknya. Tentu tidak semuanya sajak Vera adalah “sajak yang belum jadi”.

Sajak “Danau Lut Tawar” adalah sajak yang cukup bagus: Ada yang samar di tepi Danau Lut Tawar/Pada perahu-perahu yang terlalu dini menambatkan diri/Di sudut dermaga/Meninggalkan desir ombak/Di atas pasir kenangan/Dalam gerimis hujan musim depik/Gigil begitu menyiksa/Lalu hanyut ke pinggir sungai Pesanan/Mengenangi ujung jembatan Saril/Tempat ikan depik/Bermuara pada kedinginan yang sunyi//(hlm. 71).

Sajak-sajak Win Gemade secara keseluruhan tampil menarik. Kita baca kutipan sajaknya “Menanti Hujan Tiba di Janarata”: hamparan kopi terbungkus sunyi/buah merah jatuh ke tanah/tak ada jemari cekatan menghampiri/lincah menari antara ranting dan daun/perdu-perdu sange pun menutup jalanan/isyarat kegelisahan/entah siapa yang akan menanti di persimpangan//((hlm. 88).

Saya terkesan dengan sajak-sajak Zuliana Ibrahim. Di antaranya sajak “Wanita Bisu Air Mata”(kepada Mamak): Matamu adalah ladang yang menghantarku menuju mimpi/susuri kuning ilalang beraromakan gersang/aku mengisap jejak dari tubuhmu sepanjang jalan/yang kerap banjir peluh di dahi/seperti kisah-kisahmu; bisu air mata di hadapku/terus menyantap tirus dari pipimu sewarna gelap/adalah napas sesak ke hulu relungku setiap detak waktu//Mak, bahkan pada langit pucat pun kau masih berkarib/berteduh balut tudung lingkar di kepalamu/demi himpun bekal hidup di kantong kerontang//Mak, kala mendekte deret siasat di debar palung hatimu/serupa tirai yang ingin kukoyak sebab merisaukan/memanggilmu saja tak ayal ingin segera lari dari puruk/seraya menunggu doa yang belum terlunas oleh Tuhan/kita rapa saja jejak ini/untuk surga yang lebih pantas kau terima//(119).

Dalam antologi puisi ini masih terdapat beberapa kata salah cetak dan konon salah cetak adalah “musuh penyair”. Filosofi dan makna Gergel yang dipergunakan untuk judul antologi puisi ini juga belum sepenuhnya tercermin pada sajak-sajak di dalamnya. []

*Bambang Widiatmoko (lahir di Yogyakarta) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal secara luas melalui karya-karyanya berupa esei, cerita pendek, dan puisi yang dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di berbagai antologi puisi, esei, dan memoar.

Puisi-puisi Bambang banyak dibahas dalam berbagai kajian, digunakan sebagai materi lomba baca puisi dan musikalisasi puisi. Namanya tercatat sebagai salah satu penyair Dari Negeri Poci. Di sela pekerjaannya sebagai dosen, Bambang Widiatmoko juga aktif sebagai Ketua Komunitas Sastra Indonesia.

Beberapa perhelatan sastra berskala nasional dan internasional pernah mengundangnya hadir sebagai peserta dan pembicara, antara lain Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia dan 33rd World Congress of Poets di Ipoh Malaysia, 2013.

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.