Oleh : Fauzan Azima*
Jokowi sudah tujuh tahun memimpin Indonesia setelah memenangkan Pilpres untuk kedua kalinya. Kita patut bangga dan berterima kasih, pada masa Presiden Jokowi-lah terjadi percepatan pembangunan.
Andai dunia tidak dilanda pandemi corona, tentu Indonesia akan menjadi bangsa yang besar; sejajar dengan negara Eropa, Amerika dan Jepang.
Sayangnya, siapapun tidak pernah menduga skenario “panggung sandiwara” dunia akan seperti ini. Patutlah, rasa khawatir, akankah bangsa ini sanggup bertahan dalam bingkai kesatuan?
Situasi saat ini, jangankan sebuah negara, Ka’bah yang dikeramatkan dan dinapaktilasi selama berabad-abad, harus dikosongkan dan peringatan imam shalat agar shalat lurus dan rapatkan shaf, kini harus jaga jarak.
Para pengamat menebak bahwa dunia ini akan bersih dari virus pada akhir tahun 2022, namun pada kenyataannya, varian baru virus bermunculan. Pantaslah karenanya kita menyebutnya bahwa “perang virus” ini baru saja dimulai.
Bangsa ini sudah berangsur-angsur runtuh, bukan saja karena virus itu sendiri, tetapi juga karena pola fikir dan sikap yang menganggap covid-19 tidak ada dan itu hanya rekayasa, sehingga sebagian masyarakat ogah mengikuti himbauan pemerintah.
Tambah lagi, banyaknya kelompok masyarakat yang membangun dan menghimpun informasi hoax untuk menentang pemerintahan hanya karena bukan golongan mereka yang berkuasa.
Fakta hari ini, rakyat masih bersatu karena masih ada listrik, internet, gaji dan insentif para pegawai pemerintah yang masih bisa dibayar, walaupun pembangunan sedikit mengalami kemacetan dengan kebijakan, sebagian dana untuk penanganan Covid-19.
Pun demikian, Jokowi selalu membangun sikap optimis. Begitulah seharusnya pemimpin! Ia mampu membangkitkan masyarakatnya dari sikap keputus-asaan. Jargon “kerja…kerja…kerja” dan “Jangan kendor” digaungkan untuk tidak berpasrah dalam hidup.
Itulah isyarat Rasulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan Iman Ahmad, “Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma maka apabila dia mampu menanamnya sebelum terjadinya kiamat maka hendaklah dia menanamnya.”
Pemimpin harus seperti “koro gonok” atau kerbau yang tanduknya menutupi telinganya. Visi misi yang pernah disampaikan kepada masyarakat harus diwujudkan walaupun suara-suara sumbang menghambatnya. Demi mencapai tujuan negara biarlah menganut prinsip, “Anjing menggonggong kafilah berlalu.”
Presiden Jokowi harus mempertahankan persatuan bangsa ini agar utuh seperti keinginan para pendahulu dengan memperbanyak pembangunan sumber energi dan memperluas jaringan internet sampai ke pelosok-pelosok negeri. Jangan biarkan sejengkal area pun tanpa internet.
Saya kira negara ini sudah dalam darurat menuju pintu gerbang berpecah-pecah. Oleh karena itu, Presiden Jokowi yang masih punya “taring” untuk membuat babi itu luka.
Kebanyakan pemimpin kita, tidak mau berbuat ketika berkuasa, tetapi setelah pensiun berteori sampai ke ujung langit.
Kepada orang-orang seperti itu, wajar kita berpendapat, “Apa mungkin sudah tidak punya taring bisa membuat babi terluka?”
Presiden Jokowi harus menggunakan kekuasaannya menghimpun semua potensi yang ada dalam masyarakat untuk tetap bersatu seperti petawaren; yakni kearifan lokal di Gayo; berupa kumpulan air dan tumbuhan-tumbuhan; bebesi, celala, batang teguh dan dedingin. Kalau disatukan tidak tampak lagi unsur-unsurnya, yang ada hanya petawaren.
Praktik itulah gambaran dari kalimat “Qulhuwallahu Ahad.”
Apapun cerita, besar harapan di bawah Presiden Jokowi bangsa ini terus bersatu, akan tetapi rasa khawatir selalu menggelayut di dada dan menjadi tanda tanya, seperti populernya aplikasi WhatsApp atau WA atau Wal Awalu dan Wal Akhiru.
Akankah Presiden Soekarno sebagai presiden pertama (Wal Awalu) dan Presiden Jokowi menjadi penutup atau terakhir (Wal Akhiru)?
Bukankah semua sudah diskenariokan? Sebagai mana Firman-Nya dalam Surat AL-An’am ayat 59; bahwa tidak ada selembar daun pun yang gugur dunia ini tanpa sepengetahuan Allah SWT
Seperti sudah diatur, tanggal wafat Presiden Soekarno, 21 Juni 1970 adalah tanggal kelahiran Presiden Jokowi 21 Juni 1961. Di tambah kedua tokoh besar itu menyandang gelar Insinyur atau Ir.
Apalagi Indonesia telah mengalami lima kali periode kepemimpinan kaum; dari kaum adat diteruskan kepada kaum agamawan, lalu kaum intelektual dan selanjutnya direbut kaum militer serta sekarang negara ini di bawah kekuasaan kaum hartawan. Presiden Jokowi adalah representasi dari kepemimpinan kaum hartawan.
Sejarah akan mengalami pengulangan, hanya menunggu waktu kepemimpinan akan kembali kepada kaum adat yang tentu saja jauh dari sikap feodal dan membangun istana di dalam jiwanya.
(Mendale, 30 Mei 2021)