Oleh : Fauzan Azima*
Ketika aku masih anak-anak, guruku bercerita; Ibrahim sebelum kenabiannya mencari dan terus mencari apa dan di mana Tuhan itu? Seperti orang hanyut, Ibrahim menangkap setiap benda yang melintas di depannya sebagai Tuhan. Setelah menemukan jawaban itu, Allah mengangkatnya sebagai Nabi yang bergelar Khalilullah atau kekasih Allah.
Sebagaimana Nabi Ibrahim AS, eksistensi seseorang teruji dan baru bisa “dilantik” sebagai tokoh pembaharu dalam lingkungannya jika mampu mendobrak tradisi yang dijalankan berabad-abad lamanya.
Dalam pengantar ceramah orang-orang Gayo menyebutkan, merubah keyakinan ummat manusia “Ari gelap kusiterang, ari geldok ku pematang” sebagai kata lain dari “Mengeluarkan ummat manusia dari jahiliah kepada ilmu pengetahuan.”
Di Aceh banyak tokoh-tokoh perempuan dahulu yang tidak layak disebut sebagai tokoh emansipasi karena pada masa itu kedudukan perempuan setara dengan laki-laki. Inen Mayak Teri dan Datu Cari sebagai pimpinan grilyawan melawan Belanda. Tidak ada tradisi yang menghambat “perempuan petempur” itu sebagai pemimpin perang.
Berbeda jauh dengan Kartini yang dinobatkan sebagai tokoh emansipasi perempuan karena pada masanya dan lingkungannya peran perempuan dimarjinalkan. Keluhannya sebagai “Perempuan Jawa” melalui surat-surat yang dikirim kepada rekannya di Belanda sebagai bentuk “pemberontakan” yang sulit.
Kecuali kategori pemilihan “perempuan hebat bertempur dengan pedang” tentu Inen Mayak Teri dan Datu Cari menjadi nominasi utama sebagai pemegang gelar itu.
Berani berbeda dan bisa mempengaruhi cara berpikir dan bertindak banyak orang adalah ciri orang cerdas. Memang tidak “sim salabim” menjadi “Intan permata” di tengah lumpur, perlu perjuangan panjang dan tidak jarang berdarah-darah untuk mewujudkan perubahan di dalam masyarakat yang jahiliah.
Bukankah Kota Roma tidak dibangun dalam waktu satu malam? Tentu saja itu tidak dapat dilakukan oleh orang yang biasa-biasa saja. Perlu lahir “Ibrahim dan Ibrahim” yang merubah dari yang biasa menjadi luar biasa.
Beranjak remaja, aku belajar pada guruku yang lebih bijak tentang agama dan lain sebagaimana dengan menyatakan bahwa cara Nabi Ibrahim mencari Tuhan disebut sebagai “Awaluddin Ma’rifatullah” atau awal agama adalah mengenal Allah melalui Sifatullah dan Zatullah pada diri dan alam semesta.
Sehingga, Tuan guru itu berkesimpulan bahwa manusia adalah representasi dari alam semesta dan Allah Ta’ala sendiri. Bahkan, pesannya, carilah Tuhan di dalam diri dengan bertapa di dalam “gua” atau dalam bahasa Betawi “gua” berarti “aku”.
Kalau kita kaji lebih dalam, terkesan seperti ungkapan putus asa, “Kita ini apalah?” yang ujungnya bermuara kepada “faqir illallah” atau sesunggunya kita faqir kecuali Allah. Tidak ada yang perlu disombongkan. Semua milik kita, bahkan kita sendiri adalah milik Allah.
Oleh karenanya, selayaknyalah niat bersedekah, “mengembalikan milik Allah kepada Allah” bukan “Aku bersedekah” yang merupakan ungkapan kesombongan karena pernyataan “aku”.
Meskipun kita “larut” dalam Zat Allah, bukan berarti kita harus seperti “katak dalam tempurung” yang meski dipanaskan tidak akan pergi sampai mati. Justru Allah memerintahkan dan membebaskan kepada kita untuk merubah kehidupan ini dengan menggunakan akal fikiran, sebagai mana Firman Allah dalam QS Ar-Ra’d pada ayat ke 11, “… Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…”
Selanjutnya, saat aku sudah dewasa, aku memposisikan diri, melihat persoalan agama dan sebagainya seperti burung elang yang terbang bebas, mata tajamnya menatap ke bawah tampak seluruh kawasan ekosistem, di mana manusia dan “lat batat kayu atu” hidup berdampingan saling mengasihi satu sama lain.
Dari ketinggian aku melihat ada cahaya yang tidak biasa dan perlahan aku turun menghampirinya. Sungguh hatiku berbunga-bunga, ternyata pemilik cahaya itu, Dia yang telah membuka pintu hatiku yang selama ini tertutup.
Pada kesempatan ini dan kesempatan sebelumnya aku menjabat erat tangannya yang tidak bisa dijelaskan dengan etika tingkat dasar atau syariat. Kalau boleh membandingkan; etika itu sama dengan syariat, estetika itu sama dengan tarekat, eksotika itu sama dengan hakikat dan esoterik sama dengan ma’rifat.
“Jabat erat” ada pada penjabaran wilayah eksotika atau hakikat yang kadang kala sering bertolak belakang dengan etika. Seperti phrase “Syiah Kuala” dengan “Syekh-ku Allah.” Apa yang tersurat dan yang tersirat tidak selalu identik sama.
Aku masih menjabat erat tanganmu yang kulitnya berwarna kuning langsat, sementara aku melihat cahaya lembayung di ufuk barat sebagai tanda matahari akan tenggelam. Perlu waktu 12 jam lagi untuk melihat kehadiran cahaya matahari kembali.
Dalam hati, aku bertanya dan terus bertanya, siapakah mewakili siapa? Cahaya lembayung mewakili dirimu atau warna kulitmu mewakili lembayung? Aku hanya tahu pasti; cahaya lembayung dan warna kulitmu yang kuning langsat itu tidak tercipta, kecuali “karena kamu Muhammad” kata Allah.
Selanjutnya, di mataku, di hatiku dan di rasaku bahwa dirimu melekat profil bidadari. Aku tidak kuasa untuk tidak memujimu. Biarlah para ilmuan menganggap sesuatu yang agung itu hanya ada di langit yang sebenarnya sedang mengarang cerita agar tidak kehilangan pengikut. Bagiku dirimulah bidadari yang padanannya tidak ada dalam bahasa manapun , kecuali dalam bahasa Gayo, “Simehate banan diri.”
(Mendale, 28 Mei 2021)