Ramadhan dan Spirit Persatuan

oleh

Oleh : Johansyah*

Kita semakin dekat dengan garis finish ramadhan. Beberapa hari ke depan Syawal telah siap menanti dan ramadhan segera undur diri. Di antara memori indah yang senantiasi kita ingat adalah semangat untuk melaksanakan shalat tarawih ke masjid secara berjama’ah yang meski pun di penghujung secara kuantitas mengalami penurunan.

Aktivitas shalat jama’ah adalah simbul persatuan umat. Dalam pribahasa dinyatakan; ‘bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh’. Persatuan adalah modal yang wajib dimiliki oleh sebuah kelompok, komunitas, hingga negara jika mereka ingin maju, berkembang, disegani, dan ditakuti karena dalam persatuan ada nilai harga diri dan kehormatan yang sangat tinggi.

Persatuan dalam Islam sendiri harus didasarkan atas ikatan iman dan keyakinan. Hal ini ditegaskan dalam surah ali-Imran ayat 103; ‘dan berpegang teguhlah kepada tali Allah, janganlah kalian bercerai berai…’. Jika persatuan didasarkan pada pemahaman, pemikiran, kepentingan dan lain sebagainya, suatu saat pasti akan bubar dan terpecah belah.

Tapi persatuan yang dilandasi oleh keyakinan dan iman, akan menyatukan berbagai perbedaan hingga kepentingan.

Umat Islam boleh berbeda madzhab, organisasi, instansi, profesi, cara pandang, dan lain-lainnya. Tapi mereka bisa menyatukan diri berdasarkan iman. Tidak akan ada perbedaan ketika di antara kita menyerukan kalimat; lailahaillallah (tiada Tuhan selain Allah).

Dalam beberapa hal shalat kita boleh berbeda berdasarkan madzhab yang dianut, tapi Tuhan yang kita sembah tentulah sama. Organisasi juga mungkin beda; Muhammaddiyah, Nahdhatul Ulama, al-Washliyah, dan lain sebagainya, tapi tauhid kita tetaplah sama. Inilah ikatan persatuan yang didasarkan pada tali Allah, yakni keimanan.

Sebagaimana shalat di masjid ketika berjama’ah, itulah cerminan persatuan umat sejati. Jama’ah dipimpin oleh imam yang fasih, paham hukum, lebih senior, dan seterusnya. Ketika memimpin shalat jama’ah, dia dianjurkan untuk memendekkan bacaan karena mungkin ada sebagian jama’ah yang sakit, ada urusan lain, dan sebagainya.

Makmum di belakang mengikut gerakan dan bacaan yang dilakukan oleh imam. Jika imam keliru, makmum punya hak untuk menegur sehingga imam menyadari kesalahannya. Bahkan ketika imam batal wudhu karena buang angin, maupun sakit, harus ada salah satu makmum yang menggantikannya untuk melanjutkan shalat jama’ah tersebut.

Inilah konsep manajemen persatuan umat yang tiada bandingnya. Bahwa sebuah kelompok itu harus dipimpin oleh orang yang cerdas, dan memahami persoalan sosial yang terjadi di masyarakat. Selama pemimpin dalam jalur kebaikan dan kebenaran, rakyat wajib menaatinya.

Tapi ketika pemimpin keliru, dia harus siap dikritsi dan diingatkan atas kekeliruannya. Dalam mengingatkan, rakyat juga harus punya etika, tidak boleh ditempuh dengan cara yang keras, tapi dengan cara yang santun sebagaimana dalam shalat jama’ah.

Ketika bacaan imam salah, jama’ah tidak berteriak dari belakang; ‘woy itu, salah’ tapi cukup membaca subhanallah. Kalau tiga kali juga masih salah, baru dituntun bacaannya.
Jika pemimpin ‘buang angin’, melakukan kesalahan fatal, dia harus siap mundur karena kalau dipaksakan dampaknya bisa buruk bagi rakyat.

Kalau di era kepemimpinannya seseorang menghadapi berbagai masalah dan masalah tersebut dianggap karena keteledorannya dalam memimpin, sebaiknya dia mundur. Jangan bertahan ketika dia tau bahwa dia sudah ‘buang angin’, tapi masih tetap memaksakan diri menjadi pemimpin.

Itulah yang mungkin terjadi saat ini, banyak pejabat yang ‘buang angin’ tapi tetap memegang jabatan meskipun kebusukan sistem yang dibangunnya sudah tercium. Atau rakyat sebagai makmum juga banyak yang tidak paham bagaimana menegur seorang pemimpin yang menjadi imam.

Ketika pemimpin keliru sedikit, mereka langsung demo, teriak di tengah jalan dengan mengucapkan kalimat kasar dan kotor. Padahal ada cara yang lebih bijak untuk ditempuh.

Ini artinya, di dalam masjid kita masih mematuhi tata tertib shalat jama’ah karena kalau tidak shalatnya bisa batal. Tapi bagaimana implementasi jama’ah dalam konteks sosial kemasyarakatan? Justru kita sangat jauh dari spirit jama’ah itu sendiri.

Demokrasi telah mengelabui dan kita terbuai dengan apa yang diiklankannya; demokrasi sebagai simbul modernitas dan memberikan hak untuk setiap individu.

Padahal dalam filosofi jama’ah sudah jelas meskipun semua orang memiliki hak sebagai imam, tapi belum tentu semuanya layak. Ada syarat tertentu yang harus dipenuhi. Tapi demokrasi telah meruntuhkan tata tertib filosofi jama’ah yang seharusnya kita gunakan sebagai acuan dalam membangun sistem.

Faktanya saat ini, banyak orang yang ingin menduduki jabatan tertentu meskipun banyak yang menilai bahwa dia tidak layak. Tapi karena modalnya besar, dia layakkan diri dengan itu. Dia mengubah ketidaklayakan dalam benak masyarakat dengan sumbangan sekarung beras dan satu kotak indomie sehingga masyarakat penerima akan mengatakannya layak, meski pun tidak semua.

Kembali pada aktivitas jama’ah di masjid, meskipun di sana ada konglomerat, jenderal, pejabat, dan sebagainya, tapi tidak serta-merta dia bisa maju ke depan menjadi imam karena syarat menjadi imam dalam shalat bukanlah karena dia jenderal, orang kaya, maupun pejabat, melainkan kefasihan dan kepahamannya terhadap hukum dan ada beberapa syarat lainnya.

Implementasi dari jama’ah di masyarakat Islam saat ini persis seperti jama’ah di masa covid. Posisinya tidak rapat dan lurus dalam satu barisan sehingga setan tidak punya peluang untuk menyusup. Wujud jama’ah kita dalam masyarakat saat ini berposisi jarang sehingga yang lebih tampak adalah sifat individual, bukan kebersamaannya.

Dari jauh kelihatan rapi, tapi dalam posisi dekat ternyata kita melihatnya tidak sedang bergandeng tangan dan tidak saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya.
Kita sudah terserang covid lahir-batin. Coba perhatikan, kalau ada saudara yang terkena virus, kita akan menjauhi karena takut juga tertular.

Sementara covid batin lebih ngeri lagi; antara saudara, tetangga di sekelilinya tidak saling menguatkan dan melengkapi. Mereka hidup masing-masing tanpa tolong menolong, bahkan saling menjelekkan dan menjatuhkan antara satu dengan yang lainnya.

Di suasana covid gelombang kedua ini lebih ganas lagi, spirit persatuan kita semakin melemah dan itu tampak sekali dari ketidakberdayaan mayoritas di negerinya sendiri. Kebijakan-kebijakan pemerintah banyak yang dirasakan ganjil sehingga dirasakan aneh oleh umat Islam.

Mengapa semua itu kemudian begitu mudah berlaku dan berlalu? Karena rapuhnya persatuan umat. Kebanyakan terjebak dalam kepentingan dan mengaburkan semangat persatuan karena iman.

Akhirnya, pelajaran penting yang sejatinya kita jadikan tafakkur dan sebagai modal perbaikan pada masa yang akan datang adalah semangat jama’ah di bulan suci ramadhan yang harus dijadikan pemicu untuk mewujudkan ummatan wahidah (ummat yang satu) dalam konteks sosial kemasyarakat, khususnya Indonesia. Wallahu a’lam bishawab!

*Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.