Oleh : Rizki Saradi*
Maimuah, begitulah orang-orang memanggilnya. seorang perempuan yang lebih memilih menikah muda setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas. Ia dinikahi lelaki yang dua tahun lebih tua dari umurnya, lelaki tersebut juga putus pendidikan dan lebih memilih menjadi petani di ladang pemberian orang tuanya, lelaki itu bernama Banta.
Maimunah tahu betul bahwa menikah muda bukanlah satu-satunya pilihan, tetapi menurutnya inilah pilihan terbaik dari semua pilihan.
Empat tahun sudah mereka membina rumah tangga dan telah dikaruniai seorang gadis cantik yag masih berumur satu tahun, tawa gadis ini sebagai penyembuh luka, penghilang lara ditengah-tengah menjalani hidup sebagai petani, Mereka tahu betul bahwa hidup untuk mencapai serba kecukupan adalah hal yang sulit untuk digapai untuk keluar dari lembah kesengsaraan.
Seperti hari-hari biasa, bertani adalah cara mereka bertahan hidup. Pagi-pagi buta mereka telah lebih dulu menantang kebutaan keluarga terhadap kehidupan mereka, keringat mereka serentak menguap bersama embun pagi.
“bang, kuneh mi keta kite ni bang, nyak selo kite lagu ini bang”, maimunah mengeluhkan keadaannya selama ini.
Maimunah tampak kesal dan mengerutkan dahinya. Ia menunggu lama atas jawaban dari pertanyaan yang ia tanyakan, tak ada kesabaran yang lebih tinggi dari kemiskinan yang ia alami.
“Bang!”, Maimunah berteriak dan membanting cangkul yang ia gunakan.
Bukan pertama kali ia menanyakan hal ini kepada sang suami dan bukan pertama kali ia tak mendapatkan jawaban. Setelah kejadian itu Maimunah beranjak pulang dengan menggendong gadis mungil yang menangis dalam pelukannya. dan meninggalkan suami seorang diri.
Dengan tersedu-sedu ia pulang dengan melewati keramaian, ratusan anak mata melihatnya tanpa rasa iba, ternyata kekayaan tak selamanya membawa kita untuk menjadi manusia, ada juga kalanya membawa kita lebih buas dari seekor buaya.
Di tengah keramaian terdengar bisikan seorang ibu kepada temannya
“beteh ko ke hey, Maimunah ho, Maimunah, si remalan ngemek anak ka. Nge gile le hey”
“Oyale kupenge ari jema pe lagu noya, kebere keluarga e pe gere mera olok iroi e” , tanpa sungkan ia merespon pernyataan temannya.
Di tengah keramaian yang semua mata menyudutkan seorang perempuan dan anaknya, tiba-tiba seorang kakek berteriak.
“Maimunah. nge ya, daleh mongot ne, ulak mi ko ku jema tue mu.”
Ia tidak menghiraukan kakek tesebut, ia terus berjalan di atas garis kemiskinan dan dibawah panasnya tuduhan orang-orang terhadapnya. Dituduh gila oleh orang-orang sekitarnya, tak tekecuali keluarganya sediri. Maimunah tahu betul keadaannya, tidak ada orang yang dapat memahaminya selain ia sendiri, ia bermaksud membuktikan bahwa yang gila itu adalah mereka.
Hari minggu, Maimunah mengajak suami untuk menemaninya ke pasar untuk membeli keperluan dapur. Berbekal uang lima puluh ribu ia tidak bisa berharap banyak, selain hanya untuk membeli dua bambu beras dan tempe sebagai lauk hari ini.
“Bang, oboh abang pe nong oros roa are padeh ne”, ujar Maimunah kepada pedangang.
Dengan menunjukkan beberapa jenis beras, pedangang tersebut menjawab “oros si hi kak e, ini lima belas ribu sara are, ini tujuh belas, ini sembil…….”
“15 ribu a deh” dengan cepat Maimunah memotong pembicaraan
“Abang serlo ni daleh beli rokok ge, sen ne gere genap” ucap Maimunah kepada suaminya sambil tersenyum.
Pedagang itu sempat merasa heran tetapi ia hanya melihat Maimunah dengan rasa penasaran. sepasang kekasih itu berjalan pulang bergandengan tangan, Maimunah bercerita sepanjang jalan tentang orang- orang yang selama ini menganggap ia gila.
Maimunah sengaja mengajak sang suami menemaninya agar ia terliat baik-baik saja dan tidaklah gila, yang gila adalah mereka. Semua yang ia lakukan membuat orang-orang lebih menyudutkannya, lebih membuat orang lain yakin bahwa Maimunah benar-benar gila.
“Maimunah, teduh mulo. Ara si male ku seder”, tiba-tiba seorang ibu menghadang jalan Maimunah di tengah keramaian.
“E, hana kak e”
“Cumen ko enti sedih, enti bengis”
“Akati hana mulo kak e”
“Nyanya di aku nyeder ne, cumen ini turah kuseder. Sebenare Banta, rawanmu nge benasa”
“Hahahaha aneh kakak ni, ini bang Banta i sampingku ni. Kune ke kakak ni.”
“Gelah seber ko engi ku, seber.”
“Aneh di kakak ni uy, aku ulak mulo kak eh.”
Maimunah meninggalkan kerumunan masa dengan menggandeng suaminya.
Dalam perjalanan ia memikirkan perkataan ibu-ibu tersebut, ibu Odah namanya. ibu Odah adalah istri dari abang kandungnya, lebih tepatnya kakak iparnya. Ia memikirkan kenapa orang-orang berubah menjadi gila termasuk keluarganya sendiri.
Menganggap orang waras menjadi gila adalah sebuah kegilaan menurutnya. Maimunah cukup tabah menghadapi cemoohan orang-orang selama dua tahun kebelang ini, tetapi ia sadar tak ada benar dan salah dalam hidup, yang salah adalah cara kita menyikapi hidup itu sendiri.
Dilain hari, berselang seminggu setelah kejadian di pasar, orang-orang mulai bertaya-tanya tentang keberadaan Maimunah yang dalam seminggu kebekang ini tidak pernah lagi terlihat. Semua orang mencari kerumahnya, tetapi rumah tersebut telah dipenuhi sarang laba-laba dan bau kemiskinan yang sangat menyengat.
Mereka juga mencari Maimunah ke kebun yang ia garap selama ini, tetapi mereka hanya menemukan cangkul yang tergeketak di atas kuburan, yang mereka tahu bahwa itu adalah kuburan Banta, suami Maimunah.
Masih di kebun yang sama, terdengar teriakan seorang pemuda dari kejauhan yang juga ikut mencari.
“Oy, tir musangka kini, ini Maimunah he.” teriak pemuda itu
Sontak selompok warga yang mencari Maimunah bergegas menghampiri pemuda tersebut
“Si, si Maimunah” dengan nafas terengah-engah seorang bapak bertanya.
Belum sempat pemuda itu menjawab, bapak tersebut telah melihat Maimunah dan anaknya rerikat dengab seutas kain panjang yang masing masing-masing ujungnya terikat di leher Maimunah dan anak gadisnya yang di gantung disalah satu cabang pohon.
Kejadian itu membawa mereka pada kejadian pada dua tahun yang lalu, Maimunah dan Banta menghadapi kondisi yang tak biasa, mereka terlilit hutang dan tak mampu membayarnya. Tak ada bahagia, yang ada hanya derita, air mata dan lara.
Banta tak sanggup membiayai rumah tangganya dan lebih memilih mengakhiri diri dengan cara bunuh diri. Seminggu berselang kematian suami, Maimunah gantung diri usai pulang berziarah dari makam suami.
Selama dua tahun, selama kematian Banta dan Maimunah beserta anaknya selama itu juga orang-orang disekitarnya dibayangi kemiskinan, penderitaan, kesengsaraan dan kesedihan dialami Banta dan Maimunah.
Semua orang merasa paling bahagia, sehingga tanpa sadar bahwa merekalah sumber kegilaan itu sendiri. Apa guna kaya, apa guna banyak harta, apa guna, apa guna apabila masih ada orang disekitarnya makan saja tak bisa. [SY]