Benarkah Sekdaprov, Penyebab Utama Aceh Jadi Provinsi Termiskin di Sumatera?

oleh

Laporan : Tim Redaksi LintasGAYO.co

Beberapa hari yang lalu, jagat media sosial di Aceh heboh dengan berita “prestasi” provinsi paling barat Indonesia ini yang menjadi juara pertama sebagai provinsi termiskin di Sumatera.

Berita ini segera menimbulkan pro dan kontra di masyarakat Aceh. Banyak yang menimpakan kesalahan atas capaian memalukan tersebut pada kepada gubernur Aceh, Nova Iriansyah, tapi ada pula yang tidak sepakat.

Tapi, selain dua pandangan mainstream tersebut, kami juga menemukan pandangan yang agak berbeda. Yaitu pandangan yang menuding bahwa terpuruknya Aceh di segala lini adalah akibat Aceh salah memilih dr. Taqwallah, M.Kes sebagai Sekda.

Pandangan seperti ini banyak kami dapati datang dari kalangan birokrat dan mantan tim sukses Irwandi – Nova di pemilihan gubernur yang mereka menangkan pada tahun 2017 silam.

Sekilas kita baca, tudingan ini terkesan mengada-ada, karena kalau kita telusuri rekam jejak Taqwallah sebagai abdi negara, kita akan menemukan fakta bahwa dokter yang mendapatkan gelar magister kesehatan masyarakatnya di Universitas Indonesia ini adalah sosok pegawai negeri sipil yang penuh prestasi.

Sebagai dokter, dia mendapat sebagai dokter teladan se Indonesia pada tahun 1996. Pada tahun 2010 dia mendapat penghargaan sebagai PNS dengan prestasi kerja luar biasa baiknya dan tahun 2014 dia mendapatkan penghargaan di urutan ke Sembilan dari Kemenpan dalam hal inovasi pelayanan publik.

Ketika menjadi kepala puskesmas dan lembaga apapun yang dia kepalai, umumnya semua mendapat predikat teladan.

Jadi mengapa dengan rekam jejak sementereng itu, ada pihak-pihak yang “tega” menyebutnya sebagai sosok sentral yang membuat Aceh gagal keluar dari langganan prestasi sebagai provinsi termiskin di Sumatera?

Seorang mantan anggota tim sukses Irwandi –Nova yang tidak mau disebutkan namanya yang kini bekerja sebagai konsultan industri kreatif, berdomisili di Jakarta adalah salah seorang yang meyakini bahwa kegagalan Aceh untuk maju keluar dari peringkat provinsi termiskin di Sumatera adalah karena kesalahan Irwandi yang menempatkan dr. Taqwallah, M.Kes sebagai Sekda.

Ketika dalam wawancara yang kami lakukan, kami menyinggung soal prestasi Taqwallah sebagai abdi negara yang mendapatkan banyak penghargaan. Tokoh muda yang kerap berkeliling Indonesia karena mendapat undangan untuk melakukan pelatihan dan pendampingan pengembangan industri kreatif ini tidak menafikan itu semua.

Tapi menurutnya, meski sekilas terkesan penuh prestasi, sosok Taqwallah ini adalah tokoh dari masa lalu dengan prestasi-prestasi yang didapat dengan penilaian baik dan buruk menggunakan standar masa lalu, yang mungkin bagus untuk masanya tapi sangat ketinggalan zaman untuk menjadi pejabat publik apalagi menjadi pemimpin pejabat publik di era 4.0 ini.

Sebab menurutnya, prioritas yang diambil Taqwallah dalam menentukan kebijakan-kebijakannya yang berdampak langsung pada publik sudah tidak sesuai dengan tantangan zaman saat ini.

Anak muda yang berasal dari wilayah selatan Aceh ini mengatakan, berdasarkan pengalamannya berkunjung ke pelbagai wilayah Indonesia, dia mendapati kalau semua pejabat publik yang berhasil memajukan daerahnya mempunyai karakter yang nyaris seragam.

Mereka mampu melakukan kolaborasi, memiliki fleksibilitas, mampu mendelegasikan pekerjaan kepada pihak lain dan mampu menerima kritik. Menurutnya, tak satupun dari karakter itu yang dimiliki oleh Taqwallah.

Taqwallah menurutnya adalah sosok yang kaku, khas pejabat bergaya feodal dari masa lalu, gayanya memimpin seperti gaya pamong praja mulai dari zaman hindia Belanda sampai Orde Baru. Dia sama sekali tak punya visi bagaimana untuk memajukan Aceh.

Dalam pandangannya, gaya memimpin Taqwallah itu otoriter layaknya seorang diktator, kaku, anti kritik, hanya tahu benar sendiri, cenderung anti kritik serta tidak segan mempermalukan bawahan di depan umum.

Seperti khasnya pejabat feodal dari masa lalu, prioritas kebijakannya bukan pada bagaimana supaya ASN di Aceh memberikan pelayanan yang bisa memunculkan kreatifitas yang bisa mendorong timbulnya kebijakan-kebijakan yang membuat masyarakat bisa berkembang secara ekonomi.

Prioritas Sekda justru bagaimana supaya secara kulit luar ASN di bawah pemerintah Aceh terlihat indah, meski kacau secara esensi.

“Ini tercermin dari program BEREH* yang dia canangkan. Dari empat poin dalam akronim itu saja sudah terlihat kalau tidak ada satupun yang terkait dengan kualitas pelayanan pada publik. Semua terkesan hanya untuk memuaskan obsesi pribadi sang sekda pada keindahan tampilan luar, ”ujarnya.

(BEREH ini adalah akronim dari bersih, rapi, estetis dan hijau- Red).

Supaya artikel ini tidak terkesan sebagai serangan pribadi berdasarkan kerterangan sepihak, Jumat 19 Februari 2021 pukul 20.24 WIB, kami mencoba menghubungi dr. Taqwallah, M.Kes, melalui nomer telepon selulernya, tapi beliau tidak menjawab.

Ketika pernyataan dari mantan tim sukses Irwandi-Nova ini kami konfrontasikan dengan para ASN di bawah jajaran pemerintah Aceh yang pernah berhubungan langsung dengan Taqwallah, semua yang kami tanyai mengamini pandangan ini.

Mereka yang kami temui, semuanya mengaku lebih takut dan gugup saat kantor mereka dikunjungi Sekda daripada dikunjungi gubernur.

Sialnya lagi, dalam kapasitasnya sebagai Sekda tingkat provinsi, Taqwallah tidak merasa cukup mendelegasikan kebijakannya pada aparat di bawahnya. Bahkan sampai ke urusan camat bahkan guru SMA pun dia merasa perlu ikut campur alias melakukan intervensi secara langsung.

Contohnya, seorang mantan camat di salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Tengah menyatakan bahwa benar dia pernah dipermalukan di depan umum oleh Taqwallah.

Waktu itu, menurutnya dia yang belum mengenal Taqwallah di depan masyarakat dan pejabat daerah melaporkan luas wilayah yang dipimpinnya, jumlah penduduk dan hal teknis lain.

Tapi di tengah penjelasan Taqwallah memotong dan menyatakan dia lebih tahu, lalu dengan gaya diktatornya, dia mengatakan bahwa dia lebih tahu. Jadi yang mau dia tahu bukan itu, tapi apa yang sudah dilakukan camat untuk masyarakatnya.

Tentu saja si camat bingung sendiri dengan sikap atasannya, sebab bagaimana dia tahu apa yang diinginkan Taqwallah karena dia belum cerita. Sejak saat itu dia merasakan kalau sedang berjalan atau berkunjung ke wilayah yang dipimpinnya, seolah ada banyak orang yang diam-diam mentertawakannya.

Di kasus yang lain, program BEREH yang dicanangkan Taqwallah dengan kebijakan tangan besi ini justru menjadi kontraproduktif karena mengganggu tugas dan peran utama ASN yang digaji oleh negara.

Contoh paling nyata bagaimana program BEREH yang dicanangkan Taqwallah, malah mengganggu dan menurunkan kualitas pelayanan adalah di bidang pendidikan.

Sebelum Nadiem Makarim menjadi menteri pendidikan, banyak survey yang menunjukkan peringkat pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berbagai kajian menemukan salah satu penyebab utama rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah banyaknya tugas yang tidak perlu yang dibebankan kepada guru.

Misalnya seperti kewajiban membuat RPP yang detail dan berlembar-lembar sehingga guru tak punya cukup waktu untuk mengembangkan dirinya untuk memperdalam materi pelajaran yang dia ajarkan dan menciptakan terobosan-terobosan kreatif untuk membuat proses belajar mengajar menjadi proses yang menyenangkan.

Atas dasar itulah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dalam mengeluarkan kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar”.

Untuk meringankan beban administrasi guru. Mendikbud memerintahkan penyederhanaan RPP dari yang sebelumnya terdiri dari belasan komponen menjadi tiga komponen inti yang dapat dibuat hanya dalam satu halaman.

Ketika secara nasional, sumber penyakit dalam dunia pendidikan ini sudah berhasil diidentifikasi dan diobati. Eh di Aceh, seorang dokter yang menjadi sekda menumbuhkan kembali penyakit kronis yang sudah berhasil diobati oleh menteri pendidikan ini.

Alhasil, di bawah kendali Taqwallah yang secara diam-diam dijuluki Pak Bereh oleh para bawahannya. Pertama kali dalam sejarah, seluruh guru dibawah naungan Dinas Pendidikan Aceh wajib membuat buku kerja yang kemudian dipresentasikan dan dinilai oleh pengawas sekolah.

Menariknya, yang diperintahkan oleh Pak Bereh dalam buku kerja, bukan hanya rancangan kerja mereka, tapi juga harus memuat foto pribadi guru, foto keluarga lengkap dangan anak-anak mereka.

Siapapun yang masih memiliki kemampuan berpikir dan menganalisa tentu paham bahwa buku kerja yang begitu penting di mata Pak Bereh ini, selain untuk memuaskan obsesi pribadinya akan kerapihan dan keteraturan, kebijakan seperti ini jelas tidak membawa pengaruh apa-apa untuk dunia pendidikan di Aceh.

Ini persis seperti yang dikatakan oleh mantan timses Irwandi – Nova yang kami singgung di bagian awal tulisan ini. Pada akhirnya, apa yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia pra Nadiem Makarim, kembali terulang di Aceh.

Akibat beban yang diberikan pak Bereh, dalam seminggu terakhir, guru di Aceh sibuk mempersiapkan urusan yang sama sekali tak ada dampaknya untuk peningkatan kemampuan akademis siswa ini.

Lebih menyedihkan lagi, sudahlah tidak memberi pengaruh pada meningkatnya kemampuan akademis siswa, beban kesibukan yang tidak perlu yang diberikan oleh Pak Bereh pada guru-guru di Aceh, yang menyita waktu mereka ini malah berdampak kepada berkurangnya jam belajar siswa.

Salah seorang guru di salah satu SMA di Aceh, menantang kami untuk mengamati semua SMA yang ada di Aceh saat ini. Dia memastikan kalau sekarang proses belajar mengajar siswa SMA dan sederajat di seluruh Aceh untuk jenjang SMA saat ini terganggu karena guru sibuk menyiapkan perangkat yang diperintahkan pak Bereh.

Jadi tidaklah mengherankan, akibat berbagai kebijakan ajaib Pak Bereh ini mutu pendidikan remaja di Provinsi Aceh menempati posisi terendah di tingkat nasional dan sebagaimana Rektor Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Samsul Rizal, Provinsi Aceh tercatat sebagai salah satu provinsi dengan skor Tes Potensi Skolastik (TPS) terendah secara nasional.

Setelah mendengar penjelasan dari berbagai pihak dan kemudian melihat bagaimana kebijakan tidak pentingnya di dunia pendidikan, malah menurunkan mutu proses belajar mengajar dan bagaimana dia juga memaksakan kebijakan sejenis di dinas-dinas lain.

Mau tidak mau kita harus mengakui, bahwa pandangan yang menyatakan bahwa Aceh menjadi juara termiskin di Sumatera akibat penunjukan dr. Taqwallah, M.Kes sebagai Sekda, jadi terlihat masuk akal. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.