Oleh : Dr. Joni MN, M. Pd. B. I.*
Pelayanan (services) adalah perilaku yang sangat menentukan kualitas si pelayan dan ketertiban, hal ini juga sangat memengaruhi perasaan dan harapan orang yang dilayani. Berkaitan dengan pembahasan tentang “pelayanan” Parasuraman (dalam Lupiyoadi, 2008:182) kualitas pelayanan jasa dapat dilihat dari lima dimensi antara lain: bukti langsung (tangible), kehandalan (reliability), ketanggapan (responsiveness), jaminan (assurance) dan empati (emphaty).
Konsep tersebut di atas seperti yang telah dipaparkan oleh ‘Parasuraman’ yang telah mengembangkan teori ‘Lupiyoadi’, di konsep adat Gayo juga terdapat konsep tersebut, namun telah dilupakan, padahal konsep pelayanan tersebut tidak kalah baiknya jika dibanding konsep pelayanan Parasuraman.
Konsep pelayanan menurut adat Gayo ini sangat baik digunakan oleh masyarakat secara umum, baik mereka itu sebagai birokrat dan bekerja di perusahaan, juga sangat baik digunakan oleh masyarakat pada saat berinteraksi sehari-hari dengan sesama.
Adapun konsep nilai adat Gayo yang dapat membangun kenyamanan dan damai adalah sebagai berikut:p
1. MUTIMAH LEMUT
Kualitas “Mutimah Lemut” dapat dilihat dari tindak-tanduk seseorang dalam berperilaku dan dapat dirasakan secara langsung oleh pelanggan tentang nyaman atau tidak nyaman atas layanan yang dirasakan orang yang dilayani. Bagaimana si pelayan tersebut bertegur sapa, meminta seseorang untuk dapat bersabar dan bagaimana si pelayan tersebut memperlakukan orang yang dilayani?.
Kualitas pelayan “Mutimah Lemut’ adalah suatu tindakan yang sangat mulia, tidak mudah emosi, penyabar, pandai bertutur kata, sopan dan santun, serta selalu bisa menyenangkan hati orang yang dilayani.
Bagi pelayan yang “Mutimah Lemut”, mereka pasti memiliki nilai-nilai (1) remalan bertungket Peri berabun, dan (2) perilaku dan tindak tutur mereka ini pasti menjauhi nilai-nilai berikut;, a) madu ni edet, b) jis- jengkat, c) kemali. Orang yang memiliki sipat “Mutimah Lemut”, yakni orang pandai menjaga hati dan perasaan orang lain serta sangat pandai membawa hati.
2. PERI BEBULANG CERAK BEPINGANG
Kualitas dalam konteks ini tidak lekang dari penerapan nilai-nilai filosofi, yakni; (1) umah mupepir, (2) amal betabir, (3) cerak bepikir, dan (4) lut Mupasir. Konsep dalam konteks ini sangat bersinggungan langsung dengan harapan dan perasaan si objek yang dilayani. Ke-empat unsur ini sangat dapat melindungi harga diri serta nahma (wibawa) orang lain, siapa pun, suku dan agama apapun mereka.
Konsep dalam konteks ini lebih kepada perlindungan dan menjaga harga diri orang lain. Selanjutnya, penerapan konsep ini juga dapat membangun harga diri si pelaku atau pelayan.
3. UME MUPATAL EMPUS MUPERULUKEN
Konsep ini memberikan layanan bagi yang dilayani. Konsep ini Jika ditilik dalam konsep Parasuraman adalah ada dalam wilayah konsep tangibles yang merujuk kepada pendekatan konkrit.
Sedangkan dalam adat Gayo hal ini lebih kepada pendekatan reliability bisa dikatakan hal yang abstrak tetapi sangat mengena pada diri si objek. Reliability sangat berdampak dan bersinggungan langsung dengan harapan si objek dan mitra bertutur.
Pendekatan ini mengharapkan agar si pelaku (pelayan) masyarakat mengetahui tatanan bertindak dan bertutur. Ia harus bisa memahami, ia berbicara apa, kepada si apa, dan di mana? Sehingga ia dapat membangun dan menata tata cara bertutur dan berperilaku, dan ia akan lebih menjaga diri serta ia membangun bagaimana seharusnya bertindak dan berperilaku.
Ketiga unsur di atas sangat ideal dan baik diterapkan di dalam praktik kehidupan sehari-hari, lebih-lebih ketiga unsur adat Gayo tersebut sangat dapat membangun kebaikan bagi pelayan-pelayan masyarakat, baik di birokrasi pemerintahan dan di instansi non kepemerintahan.
Ketiga unsur konsep adab pelayanan adat Gayo ini sangat bersinggungan langsung pada harapan hati dan perasaan setiap manusia, yakni kebaikan, karena siapapun, suku apa pun manusia itu dan yang beragama apa pun mereka pasti, mereka menginginkan untuk diperlakukan dengan cara yang baik.
Tidak ada satu manusiapun, yang menginginkan untuk diperlakukan tidak baik, siapa pun mereka. Perlakukanlah orang lain (yang dolayani) dengan baik, jika si pelayan juga ingin mendapatkan kebaikan dari orang sekitar dan lainnya.
Jangankan manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan dan mahluk lainya membutuhkan kebaikan, hutan, jika kita memperlakukannya dengan baik pasti tidak ada banjir, begitu juga manusia.
*Wakil Ketua 1 (Akademik) STIT Alwashliyah Takengon.