Oleh : Ali Abubakar (Aman Nabila) dan Luthfi Auni (Aman Epi)
Sistem kekerabatan suku Gayo didasarkan pada konsep klan atau belah yang bersifat kebapakan (patrilineal). Masyarakat adat Gayo melarang pernikahan sesama anggota belah (endogami); mereka memiliki sistem perkawinan eksogami atau perkawinan antar-belah.
Perkawinan pada masyarakat Gayo akan menyebabkan perpindahan anggota belah satu belah pihak suami maupun istri. Ada dua bentuk perkawinan dalam suku Gayo; kerje juelen/ango (istri akan menetap di rumah atau lingkungan suami) dan kerje angkap (suami akan menetap di rumah atau lingkungan istri).
Istilah juelen (berarti “jual”) digunakan oleh pihak perempuan, sedangkan pada pihak laki-laki disebut dengan ango (berarti “jemput”). Istilah juelen ini tidak tepat makna. Istilah yang paling tepat adalah julenen sebagai lawan dari ango. Karena sudah di-ango (dipinang), maka di-julenen (diantar).
Karena perubahan masa, maka julenen menjadi juelen. Dalam juelen, di samping mahar, pihak perempuan (biasanya ibu calon pengantin) meminta sejumlah harta benda (teniron) dalam berbagai bentuk dari pihak laki-laki sebagai mahar dan bagian dari mahar.
Misalnya, mereka meminta sejumlah uang, peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur atau kamar tidur. Bentuk perkawinan ini menyebabkan si pengantin perempuan (inen mayak) keluar dari belah bapaknya dan selanjutnya masuk ke dan menjadi bagian dari belah suaminya.
Sebagai bekal hidup, inen mayak diberikan oleh orangtuanya sejumlah harta benda yang disebut unyuk atau tempah. Pemindahan belah tersebut dianggap sebagai sebuah kejadian yang sangat besar sehingga dilakukan melalui beberapa prosesi adat yaitu pepongoten (ratapan), bersinen (permohonan izin), dan penyerahen (penyerahan; dari kepala desa [reje] pihak perempuan kepada reje pihak laki-laki).
Selain pindah belah, kerje juelen atau ango memberikan konsekuensi pada hukum adat kewarisan. Anak perempuan yang kerje juelen tidak mendapat harta warisan dari orangtuanya karena ia sudah mendapat unyuk/tempah.
Sekiranya suatu saat ia kembali kepada orangtuanya karena cerai mati, ia tetap tidak mendapat warisan karena telah diberikan unyuk/tempah saat dia menikah, sementara saudara lelakinya tidak mendapatkan pemberian yang sama.
Bentuk kedua adalah angkap yang umumnya dibagi dua yaitu angkap nasap (angkap nasab) dan angkap sentaran (angkap sementara). Kerje angkap nasap adalah perkawinan yang menyebabkan laki-laki masuk ke belah perempuan. Keturunan dari pernikahan ini akan mengikuti garis keturunan keluarga inti ibu (matrilineal).
Melalui angkap nasap ini, status laki-laki seolah-olah menjadi anak kandung dari orangtua isterinya dan memiliki kedudukan yang sama dengan anak laki-laki orangtua istrinya.
Bahkan, Sebagian ahli adat Gayo menyebutkan bahwa dalam angkap nasap ini posisi pengantin laki-laki menjadi anak sedangkan pengantin perempuan menjadi menantu (pemen). Di sinilah dikenal istilah “pemake jarum patah” (pengguna jarum patah); maksudnya, fungsi suami adalah mengisi kekosongan atau menyelesaikan masalah yang ada di keluarga baru.
Lelaki yang di-angkap nasab akan diberikan bekal oleh orangtua istrinya untuk memulai kehidupannya seperti lahan pertanian atau rumah. Dalam banyak kasus, dalam model perkawinan angkap nasap ini, mahar dan teniron, yang seharusnya disiapkan oleh lelaki, juga disediakan oleh orangtua perempuan.
Begitu pentingnya posisi laki-laki dalam angkap nasap ini sehingga ia disebut sebagai “penopang hidup” keluarga besar yang barunya. Kin penurip murip, kin penanom matee (penopang waktu hidup, pengubur waktu meninggal) atau kin kiding pantas, kin pumu naru (lebih kurang bermakna ringan tangan, cepat langkah). Namun demikian, angkap nasap tidak menyebabkan pihak laki-laki mendapat harta warisan dari orangtua istrinya.
Perkawinan angkap nasap ini setidaknya disebabkan oleh tiga hal yaitu (1) orangtua si calon pengantin perempuan hanya memiliki satu orang anak perempuan dan orangtuanya menginginkan agar ia tetap tinggal bersama mereka. Karena itulah orangtua tersebut bersedia menanggung seluruh biaya perkawinan;
(2) keluarga calon pengantin perempuan tidak memiliki anak laki-laki untuk membantu orangtua perempuan tersebut untuk bekerja; (3) calon pengantin laki-laki adalah anak yatim, berasal dari keluarga yang tidak mampu, atau memiliki karakter idaman orang tua perempuan tersebut seperti kemampuan agama dan lainnya.
Berbeda dengan angkap nasab, kerje angkap sentaran (sementara) pada dasarnya adalah kerje juelen. Tetapi, perkawinan ini diperlakukan seperti perkawinan angkap nasab karena calon pengantin laki-laki atau keluarganya tidak mampu membayar mahar dan teniron pada saat perkawinan berlangsung. Jadi, mahar dan teniron masih dalam status hutang.
Selama ia masih di rumah keluarga istrinya, ia diberikan pekerjaan tertentu oleh mertuanya sebagai upaya untuk melunasi hutang mahar dan teniron. Ketika si laki-laki sudah mampu membayar kedua hal tersebut, ia kembali ke belah orangtuanya, dimana semua aturan sosial dan adat perkawinan juelen akan kembali berlaku.
Dalam bahasa Gayo, keadaan ini disebut dengan istilah “geh berpenesah, ulak berpenesoh” (kurang lebih bermakna: laki-laki masuk ke belah isterinya dengan sebuah proses pengesahan, dan kembali ke belah bapaknya dengan proses dalam keadaan telah memenuhi semua persyaratan adat).
Meskipun masyarakat Gayo mempraktikan pernikahan juelen (patrilokal) dan angkap (matrilokal), perempuan memainkan lebih banyak peran di ranah domestik rumah tangga. Keterlibatan perempuan di luar rumah hanya pada pekerjaan yang dilakukan bersama-sama perempuan lain dari klannya, misalnya menanam padi (munomang) dan memanen padi (munuling), dimana lelaki juga terlibat untuk peran yang berbeda.
Dalam rumah tangga, perempuan di Gayo juga banyak terlibat dalam pemenuhan nafkah keluarga dalam posisi membantu pekerjaan suami di kebun.
Kedua bentuk perkawinan di atas; juelen dan angkap sudah jarang sekali terjadi pada era modern, terutama di perkotaan. Pada umumnya, masyarakat perkotaan saat ini menganut sistem perkawinan kuso kini. Dalam sistem perkawinan ini, pasangan suami-istri bebas menentukan sendiri tempat menetapnya (neolokal); di rumah orangtua isteri atau suami atau di rumah sendiri.
Para ahli adat mengakui bahwa kerje kuso kini adalah bentuk perkawinan baru yang muncul karena desakan pekerjaan suami-istri atau salah satunya. Kuso kini berarti “kesana-kemari” atau “kadang-kadang di sana, kadang-kadang di sini”.
Bentuk kuso kini ini baru muncul di awal kemerdekaan Republik Indonesia dan dimulai dari Kota Takengon. Ini sangat memungkinkan terjadi karena Kota Takengon dan sekitarnya dihuni oleh dua buah klan besar (urang) besar yaitu Bukit dan Bebesen; masing-masing memiliki beberapa belah.
Di samping itu, di Kota Takengon juga menetap suku Aceh dan Minang yang sudah ada sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang, termasuk (sebagian kecil) Jawa. Jadi, faktor pertama adalah perkawinan antarsuku; Orang Gayo yang tinggal di Kota Takengon ada yang menikah dengan pasangan dari suku Aceh, Minang, dan Jawa. Di beberapa pedesaan, di mana banyak tinggal warga suku Jawa sejak masa Belanda atau sejak program transmigrasi, banyak terjadi perkawinan Gayo-Jawa.
Kedua, perubahan mata pencarian. Pekerjaan awal sekali masyarakat Gayo umumnya adalah bersawah (berume), berburu (mungaro), dan mencari ikan (begule) di danau atau di sungai. Keadaan ini berubah ketika kebun kopi diperkenalkan oleh Belanda, perekrutan pegawe oleh Pemerintah RI, dan beragam jenis usaha dagang.
Pembukaan kebun kopi mengalihkan fungsi belah ke fungsi keluarga besar; menjadi pegawe atau mekat menuntut perpindahan anggota belah yang secara berlahan melemahkan juelen dan angkap.
Ketiga, banyak perempuan Gayo menjadi pegawe; sebagian besar adalah sebagai guru. Jumlah pegawe perempuan yang bekerja di kantor pemerintah berimbang dengan jumlah laki-laki. Tetapi di bidang pendidikan, dari sekolah tingkat dasar hingga tingkat atas—jumlah guru perempuan jauh lebih banyak dari laki-laki.
Akibatnya, perempuan Gayo harus menetap di lokasi yang dekat dengan tempat bekerja. Jika mereka menikah setelah menjadi pegawai, maka pilihan terbaik adalah kuso kini karena ini tidak menyebabkan mereka harus pindah domisili.
Sedangkan jika mereka menjadi pegawai setelah menikah, misalnya dengan juelen atau angkap, maka fungsi domisili setelah menjadi pegawai tidak berjalan lagi. Dengan perkembangan jenis pekerjaan ini, fungsi belah juga akan tergerus dengan sendirinya.
Keempat adalah penyebaran penduduk; akibat dari terbukanya akses jalan ke berbagai daerah di dataran tinggi Gayo, pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pembukaan lahan perkebunan baru ke pedalaman hutan dan penugasan pegawe ke berbagai daerah di pedalaman.
Penduduk semakin menyebar yang menjadikan fungsi belah yang menjadi dasar juelen dan angkap semakin lama semakin berkurang. Semua perkembangan ini mengalihkan konsep kekerabatan pada klan atau belah ke keluarga besar (extended family) yang selanjutnya akan beralih secara perlahan ke keluarga batih/inti (nuclear family).
*Dosen Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh