Terima Kasih Tim Opoh Kio

oleh

Catatan : Fauzan Azima*

“Tim opoh kio” ibaratnya seperti kewajiban menunaikan “fardhu kifayah”. Mereka yang melaksanakan rekonstruksi tenun Gayo berupa opoh kio, sehingga urang Gayo di seluruh dunia ini “tidak lagi berdosa” dan mendapat “pahala” karena telah melestarikan karya nenek moyangnya yang sudah hilang ratusan tahun lalu.

Diakui atau tidak “Urang Gayo” miskin karya. Generasi Gayo kreativitasnya mandeg karena faktor internal; ketidakmampuan, ketidakmauan dan tidak memiliki relasi. Kondisi itu diperparah dengan faktor eksternal; tidak mendapat dukungan dari masyarakat dan pemerintah setempat.

Lahirnya “tim opoh kio” yang dibidani Srikandi Gayo yang hebat Peteriana Kobat yang biasa dipanggil Ana Kobat Inen Nami, Zulfikar Ahmad, ST atau populer dengan sebutan Aman Dio dan Achrial Aman Ega. Kehadiran mereka di tengah pandemi Covid-19 dalam merekonstruksi karya tenun Gayo seperti setitik cahaya di ujung lorong yang gelap. Bermakna, besar peluang bagi generasi Gayo untuk melahirkan kembali banyak karya di Negeri Malem Dewa ini.

Kita percaya “tim opoh kio” tidak stagnan hanya sampai pada “opoh kio”. Mereka akan terus menggali karya-karya nenek moyang yang masih terpendam; baik seni, budaya, kerajinan dan sejarah. Tidak diragukan lagi, mereka adalah tim yang solid; Aman Dio mencetuskan ide dan melengkapi bahan-bahan, lalu Ana Kobat mencari dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari kementerian untuk mewujudkannya menjadi satu karya yang utuh.

“Tim opoh kio” bekerja saling melengkapi; Ana Kobat sebagai magnet tim dibantu Aman Ega dan Ujang Zumbiee yang bertugas merekonstruksi alat tenun. Dahlan aman ipak, Ridho, Fitri Heldiana Inen Fijer, Namirah Lavia Semayang, Edy Ranggayoni dan Velko Marzuk Ramadhan memainkan peran masing-masing sebagai tenaga administrasi dan kepanitiaan dalam “Seminar Opoh Kio.”

Posisi kita sebagai “Urang Gayo” di luar “tim opoh kio” seharusnya menjadi humas atau “public relation” dalam mengapresiasi pekerjaan mereka yang telah bersusah payah dalam memulai membangun dari nol kembalinya opoh kio di tengah-tengah masyarakat Gayo yang telah lama hilang dari peredaran.

Memang benar, setiap hasil karya memang harus dikritisi, apalagi karya tenun opoh kio yang sangat asing di telinga dan mata kita, tetapi arah dari koreksi itu bukan untuk mengkusutkan benang yang sudah terurai rapi, tetapi berupa sumbang saran untuk kesempurnaan karya yang berkaitan dengan opoh kio.

Mulai detik ini, sesama “urang Gayo” mari tunjukan kebersamaan dengan tolong menolong mewujudkan kembali lahirnya karya opoh kio. Jangan pernah ada fikiran melemahkan karakter pribadi Inen Nami, Aman Dio dan Aman Ega. Pandanglah mereka dengan kasih sayang yang mewakili kita untuk memenuhi rasa tanggung jawab bersama dalam melestarikan karya nenek moyang yang pernah ada.

Kita patut bangga pada “tim opoh kio” yang akan merampungkan seluruh pekerjaannya. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat-Nya berupa kesehatan jasmani dan rohani kepada mereka. Sehingga tidak ada hambatan yang berarti dalam menyelesaikan seluruh tahapan penelitian, seminar dan penerbitan buku “opoh kio” pada akhir tahun 2020 ini.

Besar harapan kita, pada masa yang akan datang di dataran tinggi Tanoh Gayo, kita bisa melihat satu bangunan yang berisi Alat tenun bukan mesin (ATBM) yang merupakan modifikasi dari alat tenun gedogan (tradisional) berupa peralatan yang dapat membuat kain tenun dan digerakkan secara manual oleh tenaga manusia yang dibuat rangka mesin untuk mempermudah dan mempercepat penyelesaian produksi kain tenun opoh kio

(Mendale, Senin, 21 September 2020)


Ikuti channel kami, jangan lupa subscribe :

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.