Dasar-Dasar Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

oleh

Catatan: Mahbub Fauzie*

Seringkali ada pertanyaan terkait masalah pencatatan perkawinan atau pernikahan di kalangan masyarakat muslim yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) di sekitar kita. Terutama sekali menyangkut hal-hal syarat dan ketentuan yang musti dilengkapi oleh para calon atau pasangan suami istri.

Untuk mempermudah pemahaman informasi tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh warga yang perkawinannya ingin tercatat secara resmi di KUA tanpa harus melanggar peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku, baik yang terkait dengan syarat syariat maupun regulasi negara, maka dalam tulisan ini penulis paparkan secara deskripsi dasar-dasar perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Dijelaskan bahwa, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalizan ( QS. An-Nisa, 4:21) untuk mentaati perintah Allah Swt dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Surah Ar-Rum ayat 21. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan.

Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah, karenanya perkawinan harus dilangsungkan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah agar mempunyai kekuatan hukum.

Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal ini tentunya harus melalui proses pemenuhan syarat rukun-rukun nikah serta aturan yang berlaku.

Dalam hal perkawinan yang tidak dapat.dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Itsbat Nikahnya ke Pengadilan Agama atau ke Mahkamah Syar’iyyah jika warga Muslim tersebut berada di wilayah hukum Provinsi Aceh.

Itsbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyyah terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya Akta Nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. I Tahun 1974 dan;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No.I Tahun 1974.

Putusnya perkawinan selain cerai mati (ditinggal mati oleh pasangannya) yang secara umum kemudian disebut dengan status duda atau janda, hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyyah baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.

Apabila bukti berupa surat cerai (akta cerai) tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Sya’iyyah dan dapat diajukan permohonan ke lembaga tersebut.

Tulisan ini merujuk pada Buku Kompilasi Hukum Islam di Indonesia terbitan Kemenag RI tahun 2018

*Mahbub Fauzie, adalah Kepala KUA Kec. Pegasing Kab. Aceh Tengah


Ikuti channel kami, jangan lupa like and subscribe :

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.