Oleh : Fauzan Azima*
Saya lebih baik tinggal dalam hutan belantara meneruskan perjuangan Aceh Merdeka daripada turun dan bermukim di kota yang riuh dengan hiruk pikuk gila harta dan ambisi kekuasaan.
Akan tetapi saya juga manusia; ingin juga menikmati hidangan makanan menu western; ikan dori goreng setengah matang dibungkus tepung krispi yang disajikan dengan salad dan dibaluri mayoneis.
Apalagi sajian tongseng bumbu merica, daun salam, bawang, jahe, lengkuas dan sereh, serta tidak lupa sop ikan tuna dan daun sawi dengan bumbu belimbing yang membuat rasa asam terasa pas di lidah.
Ditambah steak tenderloin dari sapi “perawan” yang menjadi menu pavorit di Restoran Chicago, Singapura yang ukuran enam orang tamu dengan bayaran Rp. 30 juta. Harga yang setara dengan mengundang makan orang sekampung di negeri kita.
Semua menu makanan “kebarat-baratan” itu ditata apik di atas meja yang bersih dan kursi yang nyaman. Kita menikmatinya perlahan-lahan seperti bangsawan dalam keraton atau istana yang didampingi dayang-dayang sambil mendiskusikan, “Pos TNI/Polri mana yang akan kita serang malam ini?”
Andai semua itu terjadi dalam bergerilya dari hutan ke hutan; mungkin tidak ada yang mau turun gunung menerima Aceh dalam bingkai NKRI. Namun faktanya, jarang yang tahan lapar berketerusan sepanjang bergerilya, kecuali bagi orang yang teguh mempertahankan sumpahnya.
Dengan kondisi itu, saya sendiri menabung amal dari rasa lapar dengan puasa ala Nabi Daud AS; sehari puasa dan sehari berbuka. Tidak jarang saat waktu berbuka tidak ada yang dimakan. Kepalang tanggung, lanjut puasa lagi. Saking seringnya puasa berat badan saya kurang dari 50 Kg. Tulang rusuk saya mulai menonjol seperti tuts piano.
Sebenarnya, kalau sekedar lapar tidak menjadi soal. Masalahnya sudah lapar dikepung dan diserang lagi. Dalam keadaan lapar, kadang tidak mampu lagi untuk berjalan, terapi begitu senjata musuh menyalak, ternyata bisa juga lari kencang. Begitulah naluri manusia untuk menyelamatkan diri.
Syekh Jemaat atau populer dengan sebutan Tengku Alus, dan saya memanggilnya “Abang” memiliki kemampuan menembus ruang dan waktu. Sehingga tidak perlu khawatir soal kekurangan makanan. Sebentar saja beliau pergi ke semak-semak, pulangnya sudah membawa kurma dan penganan lepat panas.
Di antara kami gerilyawan tidak ada yang punya kemampuan seperti Abang Tengku Alus. Sehingga dengan segala resiko harus turun ke kampung mencari perbekalan makanan. Turun ke kampung tidak tahu medan, sehingga salah masuk pos TNI/Polri untuk minta beras. Begitulah nasib Pang Cekala dari Samarkilang yang tidak tahu kalau rumah kakaknya sudah berubah menjadi markas musuh.
Pernah juga terjadi, ketika gerilyawan sedang memasak untuk sarapan pagi di kawasan “Bathin Pak Budi.” Para gerilyawan memasak dengan iringan musik dan lagu di radio dari group Project Pop “Dangdut Is The Music of My Country” yang sedang viral pada masa itu.
Suara musik terlalu keras, sehingga para gerilyawan tidak sadar kalau sedang diintai musuh. Tiba-tiba…dor…dor…dor…musuh menembak tepat pada radio dan priok nasi yang sedang mendidih. Selanjutnya terjadi kontak tembak. Tidak ada korban dari pihak gerilyawan, kecuali harus menahan lapar di pagi yang tidak bersahabat itu.
Pada peristiwa lainnya; juga pada pagi hari, Pang Ayah Pong, Pang Gerep dan Pang Medang sedang menanak nasi di daerah Bathin Atas. Mereka tidak sadar sedang terkepung. Bahkan Pang Ayah Pom yang sedang menenteng AK-56 bertanya kepada seorang anggota TNI “Sedang apa Pak?” Mungkin TNI itu baru bangun tidur dan menjawab sekenanya, “Sedang operasi Pak!”. Tidak sempat terjadi kontak senjata, tetapi para gerilyawan terpaksa meninggalkan priok nasi untuk menghindari kepungan.
(Mendale, Senin, 31 Agustus 2020)
Ikuti Channel kami dengan like and subscribe :