UUPA Pasal 150 Mati Suri, Pengelolaan Kawasan Leuser Harusnya Milik Aceh Kini Kembali ke Pusat

oleh

TAKENGON-LintasGAYO.co : Mantan Kepala Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), Fauzan Azima menyebutkan, secara legalitas dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA), Aceh seharusnya sudah mengelola dan memiliki 50 persen kawasan hutannya sendiri.

Menurut Fauzan, di pasal 150 UU PA, salah satu point nya adalah pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). “Selama 32 tahun Aceh berjuang, sebenarnya yang diperjuangkan itu adalah kepemililan dan pengelolaan,” kata Fauzan Azima dalam diskusi Sabtuan yang berlangsung di Bayakmi Coffee, Sabtu 22 Agustus 2020 dengan tema Bedah UU PA dalam konteks kekhususan Aceh.

“Dalam UU Pemerintahan Aceh sendiri, yang kami kawal itu cuman satu pasal yakni pasal 150 untuk pengelolaan kawasan ekosistem Leuser. Sementara untuk pasal-pasal yang lain ada pihak lain yang mengawal,” tambah Fauzan.

Menurut Fauzan, isi pasal 150 itu, luar biasa untuk mengembalikan KEL ke Aceh. Di KEL ini ada banyak lembaga yang mengelola, kalau ibarat kambing ada banyak tali.

“Ada BKSDA, ada lembaga sertifikasi hutan non kayu, ada BTNGL, ada Yayasan Lestari Leuser International, ada Yayasan Ecosistem Lestari, yang semuanya mengklaim bahwa ini wilayah mereka,” tegas Fauzan.

“Maka lahir lah, UU PA dengan pasal 150 nya, dimana seluruh kawasan KEL kembali kepada Pemerintah Aceh,” tambahnya.

Namun BPKEL kini telah dibubarkan, Fauzan Azima sendiri yang memimpin lembaga itu selama hamlir enam tahun. Mantan Panglima GAM Wilayah Linge ini menambahkan, pembubaran BPKEL bukan karena profesionalisme dan segala macamnya yang bermasalah, tapi karena kebencian.

“Harusnya kalau karena kebencian, saya saja yang dikeluarkan, jangan lembaganya. Tapi, karena kebencian tadi, lembaga ini pun dibubarkan. Apa kebenciannya, karena kami akan mengelola uang kurang lebih 400 milyar pada masa itu,” ungkap Fauzan.

“Kawan-kawan melihat, hanya karena saya tidak terlibat dalam Partai Aceh. Padahal BPKEL itu dibentuk berdasarkan UU PA, sampai betul-betul itu menjadi lembaga. Sampai-sampai penelitian dari luar negeri, waktu itu tidak harus ke Kementerian Kehutanan, tapi cukup izinnya ke kita,” jelasnya.

Menurut Fauzan, satu peneliti bisa menghabiskan biaya 100 juta untuk perizinan saja, tapi dengan adanya BPKEL dan itu bisa dipangkas. “Dengan catatan peneliti harus memberikan hasil penelitiannya kepada kita. Jadi kita tidak minta uang sedikit pun dari mereka (peneliti),” katanya.

Tambahnya lagi, KEL itu ada di 12 Kab/Kota di Aceh, artinya 60 persen wilayah Aceh itu adalah hutan. Satu kawasan lagi ada di Ule Masen, itupun sudah meniru BPKEL dirikan ini.

“Padahal dengan KEL yang luasnya mencapai 2,3 juta hektar. Kalau ini betul-betul Aceh yang kelola, itu hampir 50 persen wilayah adalah milik Aceh,” ujar.

Permasalahan saat ini kata Fauzan lagi, setelah BPKEL dibubarkan, lalu siapa lembaga yang bertanggung jawab atas hal itu, tidak ada lagi. Artinya pengelolaannya sudah kembali ke Kementerian kehutanan sudah ke Pusat lagi. “Jadi untuk apa, kita berjuang berpuluh-puluh tahun, tapi pengeloaan hutan Aceh kembali lagi ke Pusat,” tegas Fauzan Azima.

“Padahal untuk mengelola sendiri itu sudah ada pintu masuknya dengan UU PA 150 itu. Pasal 150 itu sudah mati suri, kelembagaannya tidak ada kemudian point-point yang disitupun tidak pernah dilaksanakan,” tambah Fauzan.

“Dan beberpaa waktu lalu, ternyata UPT dari Kementerian Kehutanan untuk menaikan atau menurunkan status dari hutan, artinya kembali lagi kepada pusat.”

“Jadi intinya dari UU PA pasal 150 itu, sudah gagal, pengelolaannya kita tidak dapat begitu juga kepemilikkannya,” demikian Fauzan Azima menimpali.

[Darmawan Masri]

Saksikan video lengkapnya disini :

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.