Hijrah Kita, Harusnya Lebih Taat

oleh

Catatan : Muhammad Nasril, Lc. MA*

Saat ini kita sudah memasuki tahun baru hijriah,1 Muharram 1445 H.

Pada hari tersebut, umat Islam memperingati hari besar Islam yaitu tahun baru Hijriah yang bertepatan dengan peristiwa agung perjalanan baginda Rasulullah dari Mekkah menuju Madinah, yang dikenal dengan hijrah.

Peristiwa hijrah ini bukan peristiwa biasa, tapi peristiwa dimana kondisi tertentu mengharuskan baginda Rasullullah Saw dan sahabatnya  untuk melakukannya. Hijrah merupakan peristiwa perpindahan dari Makkah ke Madinah dengan tujuan mempertahankan dan menegakkan risalah Allah, berupa akidah dan syariat Islam.

Hijrahnya baginda Rasulullah SAW merupakan perintah Allah, perjuangan yang besar, sebagai bentuk perlawanan terhadap kaum musyrikin Mekah, sehingga kehilangan nyawa adalah taruhan paling dekat saat itu. Nabi dan para sahabat meninggalkan tempat yang tidak kondusif untuk berdakwah.

Saat itu, Rasulullah SAW bersama para sahabat mendapat perlakuan buruk dan kasar dari orang-orang Quraisy yang masih kafir, umat muslim dikejar-kejar dan dianiaya. Ketika melihat kondisi Makkah tak lagi aman bagi umatnya, Nabi Muhammad SAW mengizinkan sahabatnya untuk hijrah.

Walau demikian sulit perjalanannya, hijrah tersebut  bukanlah melarikan diri, apalagi  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru berhijrah tatkala semua sahabatnya telah berangkat menuju Madinah. Beliau meminta Abu Bakar ash-Shiddiq dan seorang pemandu jalan Abdullah bin Uraiqit untuk menemaninya, menempuh jarak lebih kurang 500 KM dan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk sampai ke tempat tujuan dengan melewati medan yang sangat sulit dan transportasi yang masih manual, ditambah lagi dengan musuh yang terus mengejar baginda Rasulullah Saw bersama Sahabat.

Melihat peristiwa agung tersebut menyisakan hikmah dan pelajaran penting dalam kehidupan kita untuk senantiasa berproses ke arah lebih baik, menjadi mukmin dan muslim sejati, menjadi penolong agama Allah.

Dari peristiwa itu, seperti disampaikan dalam beberapa literatur bahwa hijrah menjadi dua macam, yaitu hijrah makaniyah yakni berpindah dari satu tempat ke tempat lain
dan hijrah maknawiyah mengubah diri, dari yang buruk menjadi lebih baik demi mengharap keridhaan Allah SWT, dari maksiat menuju ketaatan.

Meski saat ini kita tidak lagi dituntut  berhijrah dari satu tempat ke tempat lain karena alasan musuh dan faktor yang membahayakan bagi diri dan agama, sejatinya kita dapat  mengambil makna hijrah secara maknawi, ikhtiar menjadi insan lebih baik dan terus bergerak ke arah lebih baik, karena berpindah dari keadaan yang semula buruk menjadi keadaan yang baik, dari kondisi yang sudah baik menjadi kondisi yang lebih baik, itulah hijrah.

Untuk saat ini hijrah secara maknawi lebih cocok kepada kita. Hijrah tidak boleh salah kaprah, hijrah bukanlah tren atau mazhab, bukan milik sebagian kelompok, tapi hijrah adalah keharusan, milik semua insan untuk terus-menerus memperbaiki diri, memperbaiki cara berpikir, dan memperbaiki cara berucap serta bersikap, sehingga dengan berhijrah kita bertekad bagaimana menjadi hamba yang baik menurut Allah.

Kita dituntut untuk berbuat kebaikan kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Bukan hanya pada manusia, tapi juga kepada lingkungan, termasuk tumbuhan dan hewan.

Jadi, hijrah itu bergerak sepanjang hayat, berhijrah juga meninggalkan segala hal yang buruk baik, negatif, maksiat, kondisi yang tidak kondusif di rumah, kampung dan tempat kerja menuju keadaan yang lebih baik, positif dan kondisi yang menguntungkan serta menata diri melawan semua penyakit hati.

Untuk kita semua, mari hijrah, hijrah ke arah yang lebih baik dalam segala aspek selama menjalani kehidupan dan kini saatnya kita Hijrah. hijrah kita tak sekedar ucapan tapi komitmen dan istiqamah. Selamat tahun baru hijriah 1442 H, semoga wabah Covid 19 ini juga segera pergi, damai negeri ini, Merdeka.

*ASN Kemenag Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.