Oleh : Dr. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH*
Ada tiga kata yang sangat akrab dengan keseharian kita sebagai penganut agama Islam, yakni, Islam, muslim, dan salam. Kita harus bisa membedakan arti ketiga kata ini, agar kita semakin yakin bahwa beragama bukan sekedar yakin, tetapi ada tujuan yang hendak dicapai, ada proses untuk mencapai tujuan itu, dan ada input untuk proses. Jadi, beragama adalah kerja yang ada kinerja (performance)-nya, tampilan dari masyarakat yang mengaku atau mengklaim diri beragama.
Dalam ilmu manajemen, rumus kinerja adalah input, proses, output (outcome, benefits, impact). Beragama merupakan kerja ruhaniah yang berdampak langsung pada kehidupan nyata, karena nilai-nilai agama yang masuk ke dalam jiwa penganutnya diharapkan bisa mengeluarkan perilaku yang sesuai dengan kualitas input yang masuk.
Islam (nilai input)
Islam berasal dari kata aslama, yuslimu, islama yang artinya menyelamatkan. Islam kemudian menjadi sebutan untuk sebuah agama yang menjadikan perilaku menyelamatkan sebagai ciri utamanya. Nilai-nilai yang diajarkan agama itu jika diinternalisasi dengan baik oleh individu dan masyarakat, maka individu dan masyarakat itu akan bisa mewujudkan kondisi yang diinginkan dalam kehidupan, yakni keselamatan (salam).
Disebut Islam karena nilai-nilai yang diajarkan dalam agama ini sifatnya menyelamatkan manusia dan kemanusiaan. Semua yang diperintahkan, baik secara tersurat maupun tersirat, adalah hal-hal yang membawa kebaikan hidup; sebaliknya semua yang dilarang dan dibenti, baik secara tersurat maupun tersirat, adalah hal-hal yang bisa dibuktikan merusak dan berbahaya bagi kehidupan personal maupun sosial.
Jika nilai-nilainya diikuti, maka manusia akan hidup dalam harmoni satu sama lain, bekerjasama untuk menjaga keharmonian itu, dan tidak ada upaya untuk menindas satu sama lain.
Karena itu, sebagai nilai-nilai, maka Islam adalah bahan baku untuk membangun suatu peradaban. Nilai-nilainya dapat dijadikan ideologi bagi suatu masyarakat, baik dengan mengadopsinya secara tersurat maupun secara tersirat. Banyak pendekatan dalam hal ini, ada masyarakat manusia yang mengidentifikasi langsung dengan simbol keislaman, ada juga yang mengambilnya secara tersirat, mengarusutamakan nilai-nilainya daripada simboliknya, karena simbol tidak mungkin bisa diterima oleh suatu masyarakat.
Muslim (proses)
Islam sebagai nilai-nilai harus diupayakan untuk menjadi karakter. Tidak otomatis begitu seseorang mengaku beragama Islam lantas ia telah berkarakter seperti nilai-nilai yang ditunjukkan Islam. Islam adalah nilai-nilai yang kebenarannya adalah mutlak, 100 persen; tapi muslim adalah pilihan, muslim tidak mungkin ada yang bernilai 100 persen, karena ia sudah melekat kepada manusianya, membuat manusianya berperilaku menyelamatkan sesuai arti Islam. Keislaman dalam diri seseorang bersifat dinamis.
Tidak otomatis begitu seseorang menyatakan diri memeluk Islam atau KTP-nya Islam, atau orang tuanya Islam, lantas karakter-nya langsung karakter yang menyelamatkan; butuh upaya untuk sampai ke titik itu.
Mengaku berislam barulah merupakan tahapan mengetahui Islam sebagai ide yang sarat nilai kebaikan; tapi menghayatinya adalah proses men-download-nya ke dalam jiwa agar penghayatan itu mendorong manusianya berbuat atau berperilaku yang menyelamatkan sesuai kapasitas dan perannya.
Kalau ia seorang anak, dengan belajar yang baik sesuai arahan guru saja sudah merupakan keberhasilan mengamalkan nilai-nilai agama dari aspek dorongan agama Islam untuk menghiasi diri dengan ilmu pengetahuan.
Namun perilaku belajar sesuai arahan guru, baru merupakan perbuatan, perlu dijadikan kebiasaan, dan kebiasaan yang baik perlu dipertahankan agar menjadi karakter; karakter inilah yang ditunggu, dan muslim adalah orang yang karakternya telah kuat sebagai peribadi yang perbuatannya selalu menyelamatkan; menyelamatkan eksistensi dirinya, juga menyelamatkan eksistensi manusia yang lain dan juga lingkungan yang lebih luas sesuai kemampuannya.
Salam (kondisi kemanusiaan yang dituju semua manusia)
Salah satu kebiasaan orang Islam yang dilarang dilakukan selama Covid-19 ini adalah berjabat tangan, atau istilah lainnya bersalaman. Salam artinya bukan berjabat tangan, tapi saling mendo’akan keselamatan dan kedamaian agar selalu terlimpah di seluruh penjuru alam.
Dalam bahasa Indonesia disebut selamat, dan dalam bahasa Inggris disebut “good”. Artinya yang paling berharga dalam kehidupan ini adalah keselamatan dan kebaikan. Selamat dari berbagai kesulitan hidup seperti marabahaya, bencana, konflik, paceklik, dan sebagainya.
Karena keselamatan yang paling berharga dalam hidup inilah maka sesama manusia saling mendo’akan dan saling mengingatkan untuk menjaga perilaku agar keselamatan itu selalu menyertai semua orang, individu dan masyarakat.
Keselamatan pula yang harus dijadikan tujuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ada tiga hal besar yang bisa membahayakan keselamatan: yaitu perang, bencana alam, dan paceklik. Salam atau keselamatan dengan demikian adalah visi bermasyarakat dari semua masyarakat yang ada di bumi ini. Karena itulah, semuanya ketika bertemu satu sama lain saling mengucapkan salam.
Keselamatan adalah hasil, manfaat dan dampak dari nilai Islam yang berhasil menjadi karakter personal dan karakter sosial dalam sebuah masyarakat. Semakin banyak orang yang berkarakter menyelamatkan, maka akan semakin majulah sebuah masyarakat; karakter menyelamatkan bukan sekedar perilaku tanpa modal, modal utama untuk bisa berkarakter menyelamatkan adalah ilmu pengetahuan; tanpa ilmu perilaku menyelamatkan hanya dalam hal-hal yang elementer yang tidak terlalu besar dampaknya pada kemanusiaan.
Hari ini (12/08/2020), Presiden Putin dari Rusia, mengumumkan bahwa Rusia menjadi negara pertama yang sukses mengembangkan vaksin untuk Covid-19, dengan tegas Presiden Rusia itu menyatakan bahwa Rusia ingin menjadi bangsa pertama yang berhasil menemukan vaksin untuk wabah yang luar biasa ganas ini.
Kita tidak tau, nilai-nilai apa yang mendorong Rusia termotivasi untuk menemukan vaksin dan begitu semangat untuk mengalahkan bangsa lain. Terlepas dari motivasi politik, yang harus kita apresiasi adalah jiwa-jiwa yang bekerja untuk menemukan vaksin itu, pastilah jiwa-jiwa yang bekerja keras dan cerdas yang didorong oleh suatu nilai yang ingin menyelamatkan kehidupan manusia.
Secara subyektif kita boleh saja mengatakan bahwa Rusia bukan negara Islam, namun tudingan itu tidak cukup menghilangkan sifat nilai-nilai Islam sebagai nilai yang obyektif untuk diamalkan oleh siapapun tanpa ia sadari bahwa ia telah memeluk Islam secara formal atau tidak, yang jelas motivasi untuk menyelamatkan kemanusiaan adalah obyektif dari nilai-nilai Islam itu. Kenyataan ini harus memaksa kita berefeksi, siapakah yang muslim yang sesungguhnya, kita atau mereka???