Dokter Muslim dan Dokter Kafir

oleh

Oleh : Dr. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH*

Paradigma yang dibangun dalam tulisan ini adalah memandang muslim dan kafir bukan sebagai agama seperti yang umumnya pandangan selama ini, tetapi muslim dan kafir sebagai perilaku, karena memang seharusnya demikian, sesuai dengan hadits Nabi bahwa ia diutus untuk mengarusutamakan perilaku yang mulia. Nabi diutus untuk seluruh alam, untuk siapapun yang berperilaku menyelamatkan.

Sekali lagi, ukuran kemusliman dan kekafiran hendaknya jangan dilihat dari KTP-nya, tetapi dari perilakunya. Akibat keislaman di-KTP-kanlah Islam dan muslim itu terjebak dengan simbol dan bendera dan banyak melupakan substansinya, yakni menyelamatkan kehidupan bersama.

Muslim artinya bukan orang Islam, tetapi orang yang perilakunya menyelamatkan, bukan seperti arti Islam yang selama ini dibangun sebagai berserah diri, pasif, alias cari selamat. Menjadi Islam bukan cari selamat, tetapi membangun jiwa menyelamatkan.

Jika arti muslim adalah perilaku yang menyelamatkan kehidupan, maka ukuran keberagamaan seseorang tidak bisa dilihat dari KTP-nya. Banyak koruptor yang ber-KTP Islam, padahal perilakunya itu sangat merusak kehidupan bersama. Banyak pemerkosa yang ber-KTP Islam, apakah layak disebut muslim padahal perilakunya kafir? Apakah penculik anak dan penjual manusia layak disebut muslim hanya karena ber-KTP Islam sedangkan perilakunya itu sangat kafir?

Sebaiknya yang dijadikan indikator keislaman adalah kesejahteraan dalam suatu komunitas bangsa atau masyarakat; semakin tertib, aman dan tenteram manusia yang hidup dalam negara atau komunitas itu maka semakin islami-lah masyarakat atau bangsa itu.

Kini, pelayanan publik yang baik, rendahnya angka korupsi, perlindungan pada anak-anak dan perempuan, perlindungan lansia, perlindungan kebebasan berpendapat, adalah indikator keberislaman; negara dan masyarakat manapun yang berhasil mewujudkannya itulah negara/masyarakat yang Islam.

Banyak negara yang mengaku negara Islam atau muslim justru gagal mewujudkan kehidupan bersama yang aman, tenteram dan damai. Yang ada omong besar saja. Islam hanya dijadikan sebagai topeng untuk menipu masyarakatnya sendiri. Islam diperalat menjadi alat pembodohan dan penjajahan bangsanya sendiri.

Keislaman harus terbebas dari subjektivitas, harus obyektif karena obyektivitas itulah yang disebut dengan adil. Siapapun yang gagal berlaku obyektif maka ialah kafir, dan siapapun yang gagal berlaku .

Muslim merupakan isim dari kata aslama yuslimu islaman, yang artinya bersifat aktif “menyelamatkan”, bukan cari selamat seperti arti berserah diri selama ini.

Kalaupun arti Islam adalah kedamaian maka harus dijadikan sebagai tujuan dari perilaku menyelamatkan, agar terwujud kedamaian di muka bumi.

Kafir juga bukan artinya non-Islam, sebab jika ini artinya seolah orang yang KTP-nya bukan Islam adalah orang kafir, ini cara pandang yang potensial memecah belah suatu masyarakat yang multi agama dan multi kultur seperti kita di Indonesia.

Kafir adalah perilaku yang secara diametral berlawanan dengan muslim. Jika arti muslim adalah perilaku yang menyelamatkan, maka arti kafir adalah orang yang perilakunya merusak. Salah satu arti lain dari kafir adalah orang yang perilakunya menutupi kebenaran dengan berbagai helah dan dalih.

Perilaku yang merusak adalah perilaku yang mengundang atau mendatangkan kemudharatan atau bahaya bagi eksistensi kehidupan manusia, yaitu perilaku yang bisa menyebabkan permusuhan sesama manusia, perang, konflik, perilaku yang menghilangkan atau berpotensi menghilangkan nyawa manusia, perilaku yang merampas harta orang lain tanpa hak, perilaku yang merusak regenerasi manusia secara, perilaku yang merusak lingkungan dan kelestariannya, dan sebagainya.

Karena itulah kata “kafir” layak digunakan untuk menghujat perilaku yang merusak. Dalam keseharian pun kita akan mengumpat dengan kata-kata itu untuk siapapun yang perilakunya jahat dan buruk, karena perilaku jahat dan buruk biasanya merusak, membahayakan dan merugikan orang lain.

Karena itu pula, alangkah tidak tepat dan sadisnya jika kata kafir disematkan kepada orang yang agama resminya dalam KTP berbeda dengan kita, padahal dia berperilaku menyelamatkan dan tidak mendatangkan bahaya yang mengancam kehidupan bersama manusia.

Semua agama cinta pada kedamaian, perilaku manusianyalah yang menentukan wujud atau tidaknya kedamaian dan keselamatan, bukan sekedar berlindung di balik formalisme agama dan kemudian mengklaim sebagai agen perdamaian padahal sejatinya agen kerusakan.

Kedua perilaku itu sangat besar dampaknya jika dipegang oleh pribadi atau organisasi yang memiliki eksistensi dan kewenangan yang besar dalam masyarakat. Dasar inilah yang memutlakkan Islam sebagai perilaku menyelamatkan harus memegang atau mendominasi politik atau pembuatan kebijakan, jika pembuatan kebijakan didominasi oleh orang-orang yang bermental kafir (tidak menyelamatkan) maka akan mendatangkan kerusakan pada masyarakat.

Ikatan Dukun Indonesia

Covid-19 ini adalah ajang pembuktian bahwa muslim dan kafir adalah perilaku, menyelamatkan atau merusak kehidupan manusia. Kita tidak boleh tertipu oleh formalisme agama di KTP yang dengan itu kita bisa saja mendukung perilaku yang merusak. Saatnya kita membangun obyektivitas, karena kehidupan dan keselamatan manusia sedang dipertaruhkan.

Di tengah kecemasan semua warga dunia terhadap Covid-19, di layar kaca dan pemberitaan tersaji manusia atau organisasi yang bermental muslim dan yang bermental kafir, yang secara terang-terangan saat ini sedang terjadi perang antara kebenaran dan kebatilan.

Salah satu perilaku yang mencerminkan kekafiran adalah menutup diri dari kebenaran dan berupaya memusnahkan munculnya bibit-bibit kebenaran itu sendiri.

Semua kita bisa menilai, mana perilaku yang tulus dan mana perilaku mental “pengelus-elus”. Di saat semua orang menunggu dengan cemas adalah obat atau vaksin untuk melawan virus yang mematikan ini, maka setiap orang saat ini berlomba untuk menemukan obatnya. Tetapi jika perlombaan itu dilakukan dengan tidak fair, maka yang terjadi adalah pembinasaan, bukan pembinaan.

Beredar video bahwa seorang anak bangsa telah berhasil menemukan obat untuk melawan corona, bukannya disambut dan diberi penghargaan dan karpet merah, malah dibully, diancam oleh organisasi yang menunjukkan mental kafir, yaitu “Ikatan Dukun Indonesia” yang pagi-pagi sudah berupaya membantah dan menafikan temuan anak bangsa itu. Ikatan dukun itu menuduh si anak bangsa telah menyebarkan kebohongan.

Sesama dukun saling menelikung, itulah yang tersaji di depan mata kita. Dukun yang punya organisasi dan mentang-mentang pegang stempel organisasi yang diakui oleh negara seenaknya menafikan kebenaran yang disampaikan oleh dukun yang kebetulan tidak ada kartu organisasinya.

Tampak cara berpikir organsasi dukun itu formalistik-strukturalistik-feodalistik sangat parah, karena memang budaya dan tradisi itu sudah tertanam sejak masa penjajahan. Masa penjajahan dulu, hanya orang-orang kaya dan berpangkat yang bisa bersekolah di sekolah perdukunan itu, ternyata setelah merdeka masih berlanjut. Budaya feodalistik sangat parah dalam organisasi perdukunan itu.

Si dukun tanpa kartu organisasi telah mati-matian menjelaskan bahwa tujuannya sama sekali bukan untuk komersial, semata-mata menyelamatkan kehidupan manusia yang kini terancam secara global. Menurutnya, obat yang dia temukan dari hasil penelitiannya yang panjang sejak tahun 2000 telah berhasil menyembuhkan 250.000 orang.

Si dukun anak bangsa hanya berharap temuannya diterima dan segera obatnya diperbanyak agar setiap orang tanpa kecuali memiliki anti body yang kuat dan kalau anti body kuat maka tidak perlu khawatir menghadapu serangan virus Covid-19. Si dukun tidak mungkin memproduksi sendiri obat itu secara massal, karena itulah dia butuh dukungan politik dan finansial dari masyarakat dan kalau bisa oleh negara.

Organisasi dukun yang resmi bukannya senang malah sinis dengan pengakuan si dukun yang tidak punya kartu. Bukannya mengajak membuktikan obat yang ditemukan si dukun, malah melihat dan mengeceknya saja dia ogah. Tentu kita sebagai masyarakat melihat ini fenomena aneh.

Apa organisasi ini pikir masyarakat ini semuanya awam dengan urusan kesehatan. Di masyarakat ini bejibun orang-orang terdidik yang bisa menilai mana yang tulus dan mana yang penjilat.

Kita berharap kebenaran segera disambut dan dilindungi. Upaya sekecil apapun dari anak bangsa harus dihargai. Untuk apa mengandalkan vaksin dari negara lain tanpa ada kepastian. Mengapa terus-menerus bersikap inferior di hadapan bangsa lain. Kita tidak tau apa motif di balik penolakan organisasi perdukunan itu terhadap sebuah temuan yang berpotensi menyelamatkan, sekecil apapun seharusnya disambut dan dilindungi.

Jika organisasi perdukunan itu menolak karena motif untuk melindungi kepentingannya dengan menggadaikan keselamatan manusia, maka alangkah kafirnya perilaku organisasi perdukunan itu. Si dukun tanpa kartu tentu bukan superman yang bisa menjamin keselamatan manusia, tetapi dia telah berusaha dan itulah yang harus dihargai, bukan dibenci.

Siapapun yang tidak welcome dan asbun dengan komen-komen yang tidak menghargai, itupun sudah bagian dari kekafiran. Perilaku yang Islam adalah jika kita memberi waktu dan kesempatan yang sama bagi siapapun untuk menyelamatkan.

*Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah Aceh.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.