Oleh : Fauzan Azima*
Ketika Abu Doto kalah dalam Pilkada 2017 lalu, praktis saya jadi pengangguran. Pasti gubernur terpilih akan menyingkirkan anasir dan lawan-lawan politiknya. Sebagai sekretaris pemenangan AZAN, saya masuk daftar orang yang terlarang masuk ke dalam sistem rezim baru.
Saya mulai berfikir keras untuk bertahan hidup. AL-Qur’an menjadi pedoman hidup saya. Ayat yang pertama turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah Iqro’ (IQ rotation) atau putar otak.
Banyak ayat Qur’an yang menyatakan agar manusia berfikir. Saya belum pernah membaca ada perintah Tuhan dalam kitab suci ummat Islam itu agar manusia bekerja dengan otot. Berdasarkan pedoman hidup itu, saya menghemat energi otot menjadi nol.
Asumsinya, kalau kita bekerja dengan otot 50 persen, berarti kita telah mengurangi kerja otak 50 persen. Kalau kita bekerja dengan otot 75 persen, berati kita bekerja otak hanya 25 persen. Pada waktu itu, saya menjalankan perintah Tuhan bekerja dengan otak 100 persen.
Dengan sisa uang selama bekerja dengan Abu Doto, pada tahun 2018 saya merantau ke Jakarta, negeri yang tidak asing karena saya pernah bermukim di sana selama 10 tahun; dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1999.
“Jadi kamu pulang ke Aceh pada tahun 1999 hanya buat rusuh, ya?,” canda kawan yang bekerja pada BIN.
Tujuan hidup manusia adalah mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Di zaman ini, salah satu jalan mencapai tujuan itu adalah banyak uang atau menjadi hartawan. Inilah zaman tanpa uang, orang tidak bisa menjadi pejabat, anggota DPR, dan tidak percaya diri serta akan tersingkir dari pergaulan masyarakat. Sekarang tanpa uang jangan mimpi menjadi pemimpin.
Begitu saya mendarat di bandara, otak saya bermain, “Apa yang bisa saya lakukan di bandara ini?” Menjadi penyelundup, ya penyeludup benih lobster. Saya punya kawan di Lombok yang baru saja tersangkut masalah hukum karena kebijakan Ibu Susi, Menteri KKP yang melarang ekspor “nener udang besar itu” sebelum mencapai 2 Ons per ekor.
Kebijakan Ibu Susi yang nyentrik itu jelas menyengsarakan nelayan pada waktu itu. Ketika benih lobster legal diekspor, harganya mencapai Rp. 20 ribu per ekor di tingkat nelayan. Kalau nelayan bisa menangkap 500 ekor saja maka akan memperoleh uang Rp. 10 juta, namun akibat kebijakan baru di tingkat nelayan harganya bisa di bawah Rp. 5 ribu per ekor. Bayangkan satu botol aqua sedang isinya bisa mencapai 5000 benih lobster atau setara dengan harga Rp. 100 juta.
Ibu Susi sudah benar! Hanya kita yang tidak sabar ingin cepat kaya saja yang protes atas kebijakan baru itu. Menurut Ibu Susi yang berpengalaman mengekspor lobster dari Pangandaran dan Pulau Seumeulu, harga lobster 2 Ons atau 200 gram per ekor bisa mencapai ratusan ribu harganya.
Bagi saya yang otak pengangguran, kebijakan larangan ekspor benih lobster itu adalah peluang. Seperti kata pepatah; dalam kesempitan selalu ada kesempatan atau peluang. Lewat orang dalam di bandara Soetta, saya berkenalan dengan pihak bea cukai, karantina, orang maskapai sendiri dan hasilnya mereka siap membantu saya “mengirim” benih lobster itu ke Singapura.
Tinggal diatur apakah di jemput di bandara atau antar ke alamat langsung. Ongkosnya tentu lebih murah apabila penerima menjemput langsung di maskapai begitu mendarat di Singapura.
Sampailah pada waktu yang disepakati untuk pengiriman barang, saya menunggu harap-harap cemas. Hayalan saya akan membeli apartemen kalau penyeludupan ini sukses akan terwujud. Saya sudah melihat beberapa brosur penawaran hunian di Jakarta.
Aduh! Belum selesai saya berkhayal, kawan yang memberi pekerjaan kepada saya sebagai penyeludup benih lobster tertangkap di bandara lainnya dengan total kerugian Rp. 67 miliar.
Saya lemas mendengar berita buruk itu. Pada waktu itu, saya seperti manusia tidak bertulang, sampai tertidur pulas di kursi bandara. Akhirnya saya sadar, bahwa kalau bukan rizki, makanan dari mulut kita pun bisa jatuh.
Ternyata saya hanya dijadikan “alat” alih perhatian bagi para penyeludup itu. Mereka ingin membuat seolah-olah pihak Bandara Soetta sibuk mencari barang seludupan, tetapi sasaran seludupan itu sebenarnya adalah bandara lainnya.
Begitulah ceritanya! Dua kali saya menjadi korban sebagai “alat” alih perhatian, saya juga pernah mengatur di Bandara Halim, tetapi juga ternyata diseludupkan dari bandara lainnya dan tertangkap dengan kerugiannya mencapai Rp. 48 miliar. Dari peristiwa itu saya tahu, bahwa eksportir benih lobster kehilangan uang ratusan miliar itu biasa. Ibarat kayu mereka hanya rugi kulitnya saja.
Dengan cerita ini, saya tidak hendak mengajak khususnya generasi muda untuk melanggar hukum dengan perbuatan ilegal, tetapi seperti kata pepatah, “Hidup belum sempurna kalau tidak pernah berperang” dengan mengukir perjalanan hidup menjadi orang yang ogah biasa-biasa saja.
(Mendale, Ahad, 19 Juli 2020)