[Chapter II] Ogah Menjadi Orang yang Biasa-Biasa Saja

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Shaikh Abdul Qadir Jailani malu kepada Allah Yang Maha Suci kalau buang air besar. Beliau berusaha dengan segala cara agar tidak buang air besar walau sedikit. Sehingga beliau tidak makan dan menahan rasa laparnya agar tidak buang air besar. Akhirnya sekarang, siapa yang tidak tahu pendiri Tarekat Qadariah itu.

Begitupun Sahabat Umar Bin Khatab RA, baginya makan untuk sekedar menegakkan badannya. Sahabat yang diberi pangkat dari salah satu sifat Nabi Muhammad SAW “tabligh” itu dikenal sebagai lelaki kuat. Bahkan selama periode kekhalifahannya, beliau tidak makan sebelum rakyatnya terlebih dahulu makan.

Derajat Nabi Daud AS semakin bersinar ketika secara langgeng menjalankan sehari berpuasa dan sehari berbuka. Puasa itu seperti itu kenal dengan puasa Nabi Daud AS, yang tidak melemahkan secara fisik, bahkan kekuatan beliau bisa mencairkan besi untuk pakaian, perisai perang dan perhiasan.

Tokoh di zaman modern ini, Presiden BJ Habibie juga mengakui, kalau beliau mengalami kebuntuan tentang segala sesuatu yang akan dikerjakan, beliau meniatkan puasa atau berlapar-lapar khusus untuk memecah kebuntuan itu. Hasilnya sampai sekarang kita tidak pernah lupa “Bapak Teknologi” Indonesia itu.

Begitulah, salah satu syarat untuk menjadi orang yang tidak biasa-biasa saja, yakni menahan lapar dengan makna yang seluas-luasnya, yang dalam suasana apapun tidak akan meruntuhkan harga dirinya dengan mengemis dan meskipun ada yang berpendapat, “Melewen reje sempit denie (melawan raja hidup akan susah).”

Kalau kita skoring, godaan nomor satu dalam perjuangan menjadi orang yang luar biasa adalah ancaman kelaparan yang akan menggiring kita menjadi orang yang biasa-biasa saja dalam hidupnya. Kata dokter, “Tidak mensyukuri sehat kalau tidak pernah sakit.”

Kepada masyarakat awam, kalau tidak mau ditimpuki, jangan pernah katakan, “Kelaparan itu lebih baik daripada kekenyangan.” Meskipun pada masa-masa menuju manusia yang luar biasa kita tahu kadang lapar lebih baik daripada kenyang karena rasa lapar adalah cara yang paling efektif untuk membungkam nafsu.

Ancaman lapar bisa menggeser iman kita. Sehingga banyak aktivis atau tokoh pembaharu muda keok ketika berhadapan dengan rasa lapar. Seperti sabda Rasulullah SAW bersabda, “Kemiskinan (kelaparan) lebih dekat kepada kekafiran.”

Selain lapar, syarat lain menjadi orang yang bukan biasa-biasa saja adalah mati yang derajatnya setingkat di atas lapar. Sebagai mana rasa lapar, mati juga harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Para sufi menyebutnya “Antal mutu qobla mutu (engkau mati sebelum mati).” Sering-seringlah menahan nafas seperti orang mati yang tidak bernafas.

Cara yang paling cepat menyongsong kematian, pergilah ke medan perang di mana ancaman kematian setiap saat bisa saja menghampirimu. Kalau mati kita akan dipanggil “suhada” kalau selamat dianggap pahlawan. Pilihlah perang yang kita bisa menang agar tidak dianggap sebagai penjahat perang kalau kelak kalah.

Berperang salah satu kesempurnaan hidup. Orang tidak mungkin mau diajak berperang dengan alasan apapun kalau target hidupnya hanya menjadi orang yang biasa-biasa saja.

Perang memacu adrenalin kehidupan. Seperti harimau mengejar rusa untuk makanan dan rusa berlari untuk keselamatan. Dalam perang kadang kita menjadi harimau dan tidak jarang terpaksa menjadi rusa. Ibarat roda kadang dikejar, kadang mengejar dan itu biasa dalam dunia perang untuk mendapatkan hasil akhir; ogah menjadi orang yang biasa-biasa saja.

(Mendale, Ahad, 19 Juli 2020)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.