Oleh : Jamhuri Ungel, MA
Dari sejak dalam kandungan anak telah dijaga dan dirawat orang tua sampai saat dewasa, dari badannya yang masih kecil sampai besar anak diajar dan dilatih untuk dapat hidup mandiri “ari kucakmu nge berkul ari konotmu nge barneru” lalu sampailah masanya orang tua melaksanakan satu lagi kewajibannya kepada anak beru yaitu menikahkannya.
Orang tua akan berupaya menikahkan anak beru mereka dengan laki-laki yang tidak pernah kenak matahari, artinya laki-laki yang rajin berusaha yang selalu pergi kerja sebelum mata hari terbit dan pulang dari kerja setelah mata hari terbenam. Itulah cita-cita dan harapan orang tua.
Perkawinan ada dua macam : pertama anak beru yang tinggal dan pindah belah (klean) ke keluarga suami, ini disebut dengan perkawinan juelen atau julenen. Kedua adalah laki-laki yang menjadi bagian dari keluarga anak beru, ini disebut dengan perkawinan angkap.
Penggunaan kata juelen dan kata julenen untuk salah satu bentuk perkawinan dalam pemahaman masyarakat sulit dibedakan, walau kedua kata tersebut mempunyai makna yang sangat jauh berbeda.
Kata juelen yang berasal dari kata juel (Gayo) artinya jual (Indonesia) yakni suatu transaksi jual beli antara penjual dan pembeli untuk memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dan memindahkan uang sebagai harga dari pembeli kepada penjual dengan menggunakan aqad.
Kata ini tidak sesuai untuk digunakan dalam hal perkawinan karena tidak ada terjadinya perpindahan hak milik dan tidak adanya perpindahan harga karena memang tidak ada harga. Namun perkawinan yang bersifat eksogami seperti disebutkan di atas dalam masyarakat Gayo tetap dianggap sebagai perkawinan juelen.
Perpindahan belah isteri menjadi belah laki-laki dan kebanyakannya tidak kembali lagi ke belah asal kecuali terjadi perceraian atau ketika suami meninggal dunia lalu isteri meminta kembali ke belahnya asalnya maka itu dibenarkan.
Ketika terjadi perkawinan juelen, dimana anak beru berpindah ke belah laki-laki, maka anak beru tidak mendapat warisan dari keluarga asalnya, pemberian kepada anak beru hanya bersifat penosahan (pemberian) dengan jumlah yang tidak ditentukan, bahkan pemberian lebih banyak berbentuk hewan peliharaan seperti kuda atau kerbau.
Hal ini bisa diterima oleh logika kita, karena perkawinan yang eksogami dimana isteri tidak kembali lagi ke keluarga asal maka tidak mungkin diberikan harta seperti sawah dan kebun, karena sawah dan kebun tidak bisa dipindah tempatkan ke tempat suami.
Karena itu kalau kita telusuri tiga jenjang keturunan (datu) kita keatas yang saat itu menganut sistem juelen maka tidak mendapatkan harta apa-apa dalam bentuk warisan.
Dalam perkawinan juelen mahar atau permintaan pihak anak beru kepada anak bujang yang akan menjadi suami, biasanya bukan berbentuk barang berharga seperti emas atau berlian tetapi lebih berwujud tanah, seperti bakal tanah sawah atau kebun (tamas mude), sawah atau kebun. Kemudian sebagai pendamping tanah tersebut biasanya diminta barang berbentuk perlengkapan atau isi kamar.
Karena istilah juelen tidak cocok digunakan untuk perkawinan atau perpindahan anak beru dari belah asal ke belah anak bujang (suami), dan perpindahan hak milik dengan transaksi jual beli lebih pas digunakan untuk barang, maka para pemikir dan akademisi saat ini lebih sesuai menamakan kata juelen dalam perkawinan dengan julenen (antar), artinya ketika anak beru telah dinikahkan dengan laki-laki yang menjadi suaminya, selanjutnya anak beru diantar kerumah suami dan diserahkan secara adat menjadi bagian dari keluarga suami.
Mengantar anak beru menjadi bagian (belah) dari keluarga suami tidak harus ketempat yang jauh, karena larangan perkawinan satu belah tidak harus memberi isyarat bahwa belah itu tempat yang jauh tetapi boleh juga belah itu hanya berposisi beda kampung atau juga satu kampung tetapi lain belah.






