Oleh : DR. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH*
Menyambut new normal setelah 3 bulan kehidupan bermasyarakat harus “abnormal”, telah ada daerah di Aceh yang merencanakan akan memulai tahun pelajaran baru pada tanggal 13 Juli 2020 nanti. Berita tentang ini telah berseliweran di media sosial.
Penulis sendiri ketika mendapat berita itu langsung berpikir, mengapa new normal langsung dihubungkan dengan sekolah; bukannya dengan aktivitas ekonomi dulu? Jika keadaan semakin baik maka sekolah bisa dibuka.
Setiap pengambilan keputusan diyakini merupakan hasil pemikiran mendalam, tentunya dengan pemahaman dan pertimbangan yang mendalam pula. Hasil yang baik tentunya mudah diterima secara logis, bahkan oleh orang yang paling awam sekalipun.
Nah, ketika kita semua mendengar bahwa sekolah akan mulai dibuka setelah new normal, maka semua orang akan menilai logika di balik putusan itu. Semua orang mengadunya dengan kebenaran-kebenaran logis yang tersimpan dalam memori-memori dan mereka pegang untuk menilai “kebenaran” selanjutnya.
Ketika kita semua melihat ada kejanggalan dalam logika yang digunakan oleh para pengambil keputusan, maka kita cenderung menolak.
Penolakan terhadap wacana sekolah segera dibuka terus-menerus menjadi headline di berbagai media, seperti yang diangkat oleh harian Kompas pada 09 Juni 2020. Dari polling yang dilakukan, 54 persen orang tua tidak setuju sekolah dibuka, sedangkan selebihnya setuju.
Kecenderungan serupa juga diangkat oleh media lain baik media cetak ataupun media elektronik. Logika para orang tua tidak bisa dipandang sebelah mata.
Orang tua murid itu tidak boleh dibayangkan adalah masyarakat awam yang tidak mengerti persoalan, bisa jadi para orang tua itu adalah orang-orang yang turut serta dalam sistem pengambilan keputusan, sebab di sekolah-sekolah ada masyarakat secara umum, anak pejabat, anak pengusaha, dan sebagainya.
Masyarakat umum juga terdiri dari berbagai profesi seperti pedagang, karyawan swasta, dan sebagainya; mereka diyakini memiliki kemampuan berpikir yang baik. Karena itu, hasil polling seperti yang dilakukan kompas dapat dipertimbangkan untuk memutuskan untuk memulai sekolah atau tidak.
Terlalu sembrono menghubungkan new normal dengan sekolah bisa bercontoh nyata di negara lain yang tidak sabaran. Perancis dan Korea Selatan adalah contoh anyar yang tidak sabar untuk segera memulai sekolah justru menuai kasus positif yang signifikan di kalangan anak-anak sekolah, perlu menjadi pelajaran bagi negara-negara lain. Langkah mereka itu dapat dianggap sebagai bad practice yang tidak untuk ditiru.
Di Perancis, baru beberapa hari sekolah dibuka telah terdeteksi 70-an anak terpapar Corona. Perancis dan Korea Selatan dalah contoh negara maju yang penyelenggaraan negara dan kesadaran penduduknya relatif di atas kita di Indonesia mengalami peningkatan kasus ketika sekolah mulai dibuka, lalu sesiap apa kita yang dengan birokrasi dan ketaatan masyarakat yang sulit untuk digambarkan?
Pembatasan sesuai jenjang
Apa yang kita kejar sesungguhnya dengan menggesa dimulainya sekolah? Apalagi untuk semua jenjang sekolah tanpa kecuali? Apa dahsyat dan massifnya penyebaran virus itu belum cukup untuk memaksa pengambil keputusan untuk berpikir berulangkali sebelum melempar wacana dan mengambil keputusan?
Lalu, jika harus digesakan juga, apakah semua jenjang harus segera sekolah kembali? Tidakkah ada pikiran untuk memerioritaskan jenjang sekolah yang lebih tinggi dan jenjang kuliah? Jenjang sekolah yang lebih tinggi yang dimaksud adalah setingkat SLTP dan SLTP, sedangkan untuk SD dan TK sebaiknya ditunda dulu.
Siswa SLTP dan SLTA relatif mudah untuk diterapkan dan menerapkan protokol Covid-19 karena mereka relatif telah memahami apa makna bahaya di balik penerapan protokol seperti jaga jarak, cuci tangan pakai sabun, memakai hand sanitizer, dan sebagainya.
Tingkat kesadaran dan pemahaman siswa SLTP dan SLTA mereka dapat diandalkan untuk memahami protokol itu. Tapi untuk siswa SD dan TK tampaknya tidak mungkin telah memahami protokol Covid-19, sebab yang namanya anak-anak pasti sulit menjaga jarak dengan teman-temannya, sulit untuk diarahkan untuk mencuci tangan karena mereka terbiasa memegang apa saja secara sembarangan, dan sulit rasanya juga harus memakai hand sanitizer.
Hal ini karena mereka belum tahu dan belum bisa memahami mengapa semua itu harus mereka lakukan dan apa bahaya yang mengancam mereka.
Untuk mahasiswa sepertinya tidak ada kendala untuk memulai proses perkuliahan, sebab mahasiswa sudah dapat dianggap cukup dewasa untuk bisa memahami situasi yang terjadi dan juga dapat mengatur dirinya dengan baik. Karena itu, proses perkuliahan mulai dari penerimaan mahasiswa baru untuk tahun ajaran 2020/2021 dapat dilaksanakan.
Mendengar ulama
Saat ini siapa yang seharusnya kita dengar atau menjadi dasar dari sebuah pengambilan keputusan yang penting menyangkut Covid-19 ini? Hal ini perlu diperhatikan secara serius, lain ladang lain belalang, lain bidang pasti lain pula ahlinya.
Ini adalah masalah kesehatan, bukan masalah puasa dan hikmahnya, bukan masalah shalat dan fadhilahnya, bukan masalah tazkiyatunnaf (pensucian hati) yang semua itu menyangkut aspek kesehatan jiwa. Ini masalah keselamatan dan kesehatan jiwa yang ulamanya adalah para ahli, pakar dan praktisi kesehatan.
Musuh yang mengancam jiwa ini adalah persoalan yang sangat ilmiah yang tidak bisa diselesaikan secara alamiah. Bukankah di awal-awal ada pejabat politik yang meskipun ia ahli kesehatan tetapi terpaksa harus mengatakan bahwa musuh yang kita hadapi sekarang tidak berbahaya, seperti flu biasa saja dan kerena itu pakai obat yang biasa saja, bahkan ia menganjurkan untuk banyak-banyak berdo’a.
Beberapa minggu kemudian musuh menunjukkan keilmiahannya yang membuat pejabat itu hingga kini tidak muncul-muncul di media, baik media cetak atau media elektronik, mungkin karena rasa bersalah atau saking malunya.
Ulama seharusnya dipahami secara kontekstual. Ulama adalah kata jamak dari kata tunggalnya alim (orang tahu), karena problem ini adalah problem kesehatan , maka yang paling tahu adalah ahli-ahli kesehatan, bukan ulama yang pada umumnya kita kenal sebagai ahli agama yang ahli akidah, ibadah dan akhlak.
Al-Qur’an menekankan hal ini sangat keras dalam bentuk kalimat perintah, “tanya orang yang paham (ahluzzikri) jika kamu tidak tau. Jadi, jelas dalam hal ini, bukan sembarangan rekomendasi yang menentukan boleh sekolah atau tidak, mestilah rekomendasi dari ulama kesehatan.
Dalam urusan Covid-19 ini, ulamanya bukan MUI, tetapi IDI, IDAI, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, dan lain-lain. Para ulama yang ada dalam lembaga-lembaga itulah yang berwenang dan berkompeten untuk menilai apapun yang terkait dengan perkembangan Covid-19 serta perlawanan terhadapnya; tentu saja sepanjang apa yang diarahkannya logis dan mudah dicerna siapapun.
Bukankah Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), melalui ketuanya, dr. Aman B. Pulungan, telah membuat pernyataan dan himbauan agar bersekolah ditunda dulu, jika sekolah dibuka, maka ada kekhawatiran jumlah positif terjangkit akan meningkat, bahkan ia berani memprediksi bahwa satu juta anak akan terancam tertular dan terpapar. Korban meninggal dari kalangan anak-anak kurvanya meningkat.
Ketua IDAI yang juga Presiden Anak Asia Pasifik ini mengingatkan bahwa ini adalah masalah hak, hak untuk sehat dan hak untuk hidup anak yang harus dilindungi. Bagi IDAI, katanya, satu anakpun tidak boleh meninggal karena wabah ini, tetanpi nyatanya kasus positif sudah ratusan anak dan yang meninggal telah 26 orang anak.
Jadi, untuk saat ini anak harus berada di rumah dulu, at least hingga Desember 2020 ini, artinya sekolah baru aman dibuka pada Januari 2021.
IDAI dan IDI serta lembaga-lembaga kesehatan tentu saja tidak bisa memaksakan rekomendasi atau pendapat mereka dijadikan dasar untuk pengambilan keputusan politik; walaupun seharusnya demikian. Akibat negara kita ini terlalu demokratis, maka keputusan politik seringkali mempertimbangkan kepentingan politik; termasuk dalam hal yang dibahas ini.
Penulis berkeyakinan, jika pemerintah daerah tetap ngeyel menggesa dibukanya sekolah, maka sama saja kita membiarkan anak-anak tak berdosa terpapar, tertular dan akhirnya terkapar.
*Widyaiswara BPSDM Aceh.