Oleh : DR. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH*
Masyarakat Gayo yang 100 persen muslim tentu saja setiap hari memanjatkan do’a untuk kebaikan hidupnya. Do’a “langganan” yang paling umum dipanjatkan setidaknya adalah “Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzabannar”. Atau do’a “langganan” para khatib sebelum menutup khutbah Jum’at, “Allahummaghfir lil muslimina wal muslimat, wal mu’minina wal mu’minat, al-ahya’u minhum wal amwat, bi rahmatika ya arhamarrahimin”.
Diyakini do’a itu juga dipanjatkan oleh 34.476 kepala keluarga yang berprofesi petani kopi di Aceh Tengah, di setiap shalatnya. Asumsikan saja sebuah keluarga 4 orang, maka 137.904 orang yang menggantungkan hidupnya pada kebun kopi (Disbunhut, Aceh Tengah, dikutip Medan Bisnis Daily, Rabu, 06 Feb 2013).
Seandainya jumlah yang sama ada di Kabupaten Bener Meriah, maka ada lebih kurang 70.000 kepala keluarga atau 170.000 orang yang juga nasibnya bergantung pada kebaikan harga kopi dunia. Jika digabung lagi dengan Kabupaten Gayo Lues yang diperkirakan 30 persen penduduknya adalah petani kopi, maka ada 200.000 lebih jiwa di Dataran Tinggi Gayo yang dengan khusyuk memanjatkan do’a kebaikan dunia akhirat tersebut.
Namun yang perlu diketahui, do’a tersebut bersifat “umum” dan “eksklusif” secara iman, do’a yang bersifat khusus biasanya hanya dipanjatkan kepada saudara-saudara seiman di manapun yang tertimpa bencana, wabah atau konflik; biasanya dipanjatkan melalui do’a qunut Nazilah. Sepertinya jarang inisiatif dan himbauan berdo’a untuk suatu negara yang di dalamnya hidup multi pemeluk agama yang sedang dilanda wabah seperti saat ini.
Kita ketahui negara-negara yang paling teruk diserang Covid-19 adalah negara-negara maju di Eropa seperti Inggris, Jerman, Prancis, Italia, dan Spanyol; negara-negara yang sangat terkenal industri sepakbolanya. Di luar Eropa, maka sejauh ini yang paling terjejas adalah Amerika Serikat. Baik di Eropa maupun Amerika itu penduduk muslimnya masih merupakan minoritas.
Karena fakta itu pulalah mungkin jarang-jarang kita melayangkan do’a, apalagi do’a bersama semacam istighatsah dan qunut nazilah, untuk negara-negara yang tertimpa bencana yang dahsyat itu. Sepertinya, faktor pluralisme iman disana menjadi “penghalang” kita berdo’a; atau kita takut do’a kita tidak diterima.
Namun sesungguhnya 200.000 lebih petani kopi di 3 Kabupaten di Datinggo harus khusyuk di setiap waktu untuk mendo’akan terbitnya situasi normal di Eropa dan Amerika itu, karena pada saat yang sama musibah yang menimpa saudara-saudara kita itu juga berdampak jauh hingga ke Atu Lintang dan wilayah-wilayah sentra kopi yang terpencil di 3 kabupaten.
Pertanyaan mengapa harus berdo’a? Jawabannya ada di Serambi Indonesia hari ini, Senin 8 Juni 2020 dalam kolom bisnis yang berjudul “Bank Indonesia dan DPRA Bahas Pengembangan Kopi”. Dari diskusi tersebut mengemuka beberapa fakta dan data tentang kaitan kopi Gayo dengan negara Donald J. Trump dan Angela Merkel Cs. Kopi Gayo berkontribusi sebesar 14,7 persen kopi nasional dan bernilai Rp 1,4 triliun. Mayoritas negara tujuan ekspor (USA, Belgia, Kanada dan Jerman) memberlakukan lockdown sehingga coffee shop disana tidak beroperasi yang pada gilirannya menurunkan permintaan. Share ekspor masing-masing negara tersebut adalah sebesar USA (54,9 persen), Belgia (15,2 persen), Kanada (5,19 persen) dan Jerman (3,14 persen) (Serambi Indonesia, 08 Juni 2020).
Karena perdagangan kopi merupakan mata rantai yang panjang, maka kondisi negara tujuan ekspor yang stabil berpengaruh besar pada usaha masyarakat terkait dengan kopi. Selama Covid-19 ini, produksi petani tidak tertampung, baik oleh eksportir maupun pedagang pengelum di level paling bawah. Diskusi mendeteksi beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menyelamatkan hidup 200.000 jiwa dari 70.000 kepala keluarga itu.
Salah satu solusi yang mengemuka adalah optimalisasi Sistem Resi Gudang. Sistem resi gudang atau warehouse receipt adalah dokumen bukti kepemilikan barang yang disimpan di suatu gudang terdaftar secara khusus yang diterbitkan oleh pengelola gudang itu.
Persyaratannya diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 2006 Sistem Resi Gudang. Resi Gudang dapat dipindahtangankan cukup dengan endorsement. Resi Gudang dengan itu menjadi “Negotiable”. Resi gudang ini nantinya bisa digunakan sebagai jaminan atas kredit dari perbankan (www.wikipedia.org/wiki/Resi_gudang).
Akan tetapi SRG di dua Kabupaten itu, kapasitas resi gudang sangat terbatas; jauh panggang dari api antara produksi petani dengan daya tampung gudang. Daya tampung gudang yang ada saat ini hanya 700 ton green bean dengan kapasitas optimal 1.200 ton; hanya 0,7 persen dari total produksi kopi Gayo.
Diperlukan optimalisasi kapasitas gudang melalui penambahan rak dan memperkuatnya dengan forklift, serta memperbesar plafon pembiayaan SRG untuk komoditas kopi Gayo hingga Rp 40 miliar. Perlu dikaji percepatan pembangunan gudang lain agar SRG menampung kopi yang belum dapat terjual, demikian kira-kira beberapa simpulan dari diskusi tersebut.
Tanggapi Cepat
Setelah diskusi itu selesai kemarin,kira-kira bagaimana respon pemerintah daerah kita di Aceh Tengah dan Bener Meriah dan juga Gayo Lues? Apakah hasil diskusi itu “cet langet” saja dengan berkilah bahwa itu isapan jempol saja dan di lapangan tidak terjadi demikian? Hanya pelaku-pelaku bisnis kopi serta perangkat daerah dan tentu saja kepala daerah yang bisa kita konfirmasi mengenai hasil diskusi ini.
Tentu respon yang diharapkan bersifat segera, karena harus diingat, pada saat info ini didengar, maka ada 200.000 lebih kepala keluarga yang berlinang air mata atau memendang gundah dengan nasib kopi yang ada di gudang rumahnya.
“Bola panas” itu harus segera disambut oleh pemerintah daerah di 3 kabupaten pengahasil kopi. Kita berharap berita ini telah terbaca oleh mereka dan segera duduk dengan stakeholders terkait untuk mencari jalan keluar. Mungkin saja telah ada upaya-upaya yang telah dilakukan yang kita tidak dengar gaungnya, namun setidaknya diskusi DPRA dan BI ini menguatkan dorongan agar pemerintah daerah memberi perhatian dan prioritas pada masalah ini dalam waktu yang panjang sepanjang pandemi ini belum usai.
Dalam situasi kesulitan ekonomi seperti ini semakin terasa pentingnya kecepatan dan ketepatan kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah, khususnya kepada kepala daerah yang mengatur anggaran daerah.
Karena itulah tentu sangat disesalkan jika ada kepala daerah yang dalam masa-masa sulit ini lebih memilih berseteru daripada bersatu untuk mencari jalan keluar bagi masalah masyarakatnya. Bagaimana mungkin kepala daerah di Gayo akan serius memikirkan masalah serius seperti ini jika pikirannya tergerus memikirkan konflik politiknya dengan kolega yang seharusnya sama-sama berpikir dan mencari jalan keluar.
Do’a orang-orang yang dalam kesulitan sangatlah tulus, tidak ada hijab dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ada 200.000 jiwa lebih yang sangat bergantung pada dinamika harga kopi dunia, yang 200.000 lebih itu dalam keadaan normal pun selalu menjadi pihak yang kalah dalam tata niaga kopi.
Mereka dengan mudah dapat dikelabui atau dijerat untuk melepas kopinya tanpa mereka tau perkembangan harga kopi itu di dunia. Kita berharap ada inovasi teknologi yang bisa menjadi panduan bagi petani lemah untuk bisa sedikit mengetahui perkembangan harga kopi sehingga dia punya pilihan untuk melepas atau tidak hasil keringatnya kepada pengepul.
Kepada para pengambil kebijakan di 3 Kabupaten, khususnya pada kepala daerah, bayangkanlah masing-masing 35.000 kepala keluarga petani yang selama ini telah berkontribusi banyak kepada daerah; yang secara langsung telah ikut membangun daerah dengan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya secara mandiri tanpa merepotkan pemerintah daerah dengan meminta bantuan ini dan itu. Bahkan, kunjungi dan tenangkan hati mereka, setidaknya telepon saja ketua kelompok taninya.
Sentuhan kecil ini barangkali kepala daerah bisa belajar gaya Amerika ala Obama, yang menelepon perwakilan ibu rumah tangga pada hari ibu, mengucapkan terima kasih karena mereka telah melayani negara. Itulah secuil gaya Amerika yang selama ini mungkin kita kurang berkirim do’a untuk mereka, padahal saat ini juga mereka sedang minum kopi bersama keluarganya, mungkin pula mereka tidak sadar jika kopi nikmat yang mereka seruput adalah kopi Gayo.
*Widyaiswara BPSDM Aceh, Pengajar Kepemimpinan Aparatur