Menunggu Lut Tawar Kering dan Cemar

oleh
Danau Lut Tawar

Oleh : DR. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH*

Rumah keluarga kami di Kampung Mendale, Lot Kala Kebayakan hanya berjarak 300-an meter saja dari pinggir danau kebayakan masyarakat Gayo, Danau Lut Tawar, danau langka yang menemani Danau Toba dalam peta pulau Sumatra.

Semasa masih sekolah, kami sering mandi (niri soboh) di danau seperti kebanyakan orang kampung kami pada umumnya; mengandalkan danau sebagai tempat mandi dan cuci. Kami biasanya mandi di Doyah (tempat shalat kecil) di pinggir danau, di depannya ada tangga beton mengarah ke air berjumlah empat anak tangga.

Satu tingkat tangga yang paling bawah biasanya terendam air, bahkan jika musim hujan hampir semua tangga itu terendam air, apalagi musim lemo (meluap), air bisa sampai ke kaki Doyah.
Indahnya Danau Lut Tawar sungguh bukan kepalang, jangankan bagi pendatang, bagi kami yang tinggal di pinggirnya saja tidak pernah bosan mengagumi anugerah terindah Allah bagi bagi masyarakat Gayo ini.

Saat kita mengelilingi danau, maka semua lekukan di kaki pegunungan yang mengelilinginya layak untuk tempat wisata dan rekreasi, rasanya dimanapun didirikan penginapan atau bungalow dipastikan tetap mendapat view yang menarik.

Air danau yang melimpah berasal dari mata air di kaki pegunungan yang dulu masih cukup lebat hutannya. Salah satu mata air yang persis berasal dari pegunungan yang ada di dekat kampung Mendale bernama Ulung Gajah, menunjuk ke puncak gunung yang masih berhutan lebat.

Puncak Ulung Gajah dulu di tahun-tahun 1980-an hingga 2000-an menjadi penanda akan datangnya hujan jika awan diatasnya sudah mulai gelap (kedut). Kami yang menjemur padi akan siap-siap mengumpulkan padi dan memasukkannya ke dalam karung (munakut).

“Nge kedut Ulung Gajah”, begitu nenek kami mengingatkan; tanpa harus disambung kalimatnya kami sudah tau apa yang beliau maksud.

Aliran air Ulung Gajah sangatlah deras, cukup untuk menggenangi persawahan luas di kemukiman Kebayakan. Deru terjunnya di kaki gunung bisa terdengar hingga jarak ratusan meter. Airnya sangat dingin membeku, apalagi di pagi hari, yang berani mandi mungkin hanya mereka yang diwajibkan untuk mandi.

Ada ratusan atau bahkan mungkin ribuan mata air dari sebanyak gunung yang mengelilingi danau. Dipastikan setiap lerengnya dialiri air karena puncak gunung-gunungnya masih lebat.

Setiap mata air yang ada di kaki gunung itu dimanfaatkan oleh masyarakat disekelilingnya untuk membuat didisen, semacam palung mengikuti celah bebatuan gunung untuk memerangkap ikan depik, ikan khas danau Lut Tawar yang hanya keluar di malam hari mencari saat air sangat dingin dan juga mencari sumber-sumber mata air yang sangat sejuk dan bersih.

Mungkin inilah species ikan yang paling bersih di dunia karena ia hanya mau berada dan mencari sumber air yang paling bersih. Tak salah jika memakan ikan ini harus makan seutuhnya tanpa ada yang dibuang sedikitpun karena bersihnya tak perlu diragukan.

Air danau yang melimpah mengalir ke sungai besar di sebelah Utara kota Takengon, sungai Peusangan yang lebarnya sekitar 60 meter lebih. Airnya deras dan tinggi, di salah satu pinggirnya ada masjid Padang tempat kami mandi ketika pulang sekolah.

Sama seperti di doyah Mendale, disinipun air menutupi anak-anak tangga beton di pinggir sungai. Tidak akan ada yang berani merenangi sungai ini untuk pergi ke perkampungan sebelahnya jika tidak melalui jembatan baja yang ada di Kampung Bale atau di kampug Asir-Asir Bawah. Ikan-ikan besar dan kecil banyak menampakkan dirinya di sungai.

20 Tahun Kemudian

Cerita indah dan asrinya pemandangan danau dan bersihnya air danau Laut Tawar di atas hanya bisa penulis ceritakan kepada anak-anak di rumah tanpa bisa lagi penulis ajak mereka untuk melihatnya. Doyah tempat kami mandi dan shalat sudah tidak ada.

Tangga beton tempat kami mandi kini sudah jauh dari bibir air danau karena debit air danau kini jauh menurun, mungkin hingga satu meter dari begitu luasnya danau. Nasib puncak Ulung Gajah sangat memilukan.

Nun jauh di puncaknya tak ada lagi mahkota hutan lebatnya karena hutannya sudah dirambah dengan modus berkebun tapi sesungguhnya untuk diambil kayunya. Ulung Gajah pensiun dari perannya sebagai barometer akan turunnya hujan karena awan diatasnya kini lebih sering gagal menggumpal.

Air dari Ulung Gajah telah jauh mengecil, tidak cukup lagi mengairi persawahan untuk setengah kemukiman Kebayakan, seperti dulunya. Persawahan telah banyak ditanami dengan beton atau berganti fungsi lahan menjadi tanaman muda atau tanaman keras seperti kopi. Kalaupun masih ada yang setia bersawah di lokasi yang paling bawah dari kemukiman Kebayakan, kini sering terjadi cekcok air untuk mengaliri air sawahnya.

Bahkan ada teman penulis yang ditusuk dengan kunyur (tombak) di dadanya karena konflik air sawah dengan dengan pemilik sawah yang ada di tempat yang lebih tinggi yang kerap menyurangi air.

Mata-mata air danau dari sebelah Barat danau, dimana terletak kota Takengon yang dulunya hanya sepanjang satu kilometer yang bersisian dengan danau, kini telah berkembang sangat pesat dan memanjang hampir tiga kilometer.

Dulu, antara kota Takengon dengan kemukiman Kebayakan dipisahkan oleh persawahan yang luas membentang dan memanjang sejauh dua atau tiga kilometer, kini antara pusat kota dan pinggiran itu telah betul-betul menyatu dengan kepadatan yang bertambah lebih dari lima kali dari 20 tahun yang lalu.

Semua saluran mata air dari arah sisi kota ini yang dulu bebas lenggang kangkung langsung ke danau melalui persawahan yang ada, kini harus melewati pemukiman yang padat merapat. Limbah pemukiman dipastikan mengalir ke saluran-saluran air yang menuju danau.

Isinya adalah limbah rumah tangga berupa sisa-sisa air masak dan cucian pakaian dan masakan, cucian doorsmeer, bengkel, sampah pemukiman, dan sebagainya; tumplek seluruhnya menuju pinggir danau. Kini di sepanjang sisi yang berdekatan dengan kota itu airnya telah tercemar, warnanya menghitam dan keruh, baunya tidak sedap, rasanya tak tahan lagi untuk dikecap.

Pinggir danau kini penuh limbah dan sampah, ikan-ikan yang dulunya bisa dijaring di pinggir kini telah berpindah, menjauh dari air yang tercemar zat-zat kimia yang mematikan. Tidak ada lagi lemo sekarang, tidak ada lagi ikan Peres yang mureges (melimpah) jika lemo datang.

Ikan bawal asli danau yang sangat empuk nan lezat tidak lagi mureges mendaki aliran sungat yang menuju ke laut karena air sungainya keruh dan berlumpur di musim hujan.

Intinya, kini seperempat danau dipastikan sudah sangat cemar. Pembangunan tanggul untuk mengalihkan aliran limah kota untuk langsung ke sungai Peusangan tidak jelas juntrungannya.

Titipan yang ditelantarkan

Akhirul kalam, sebagai refleksi, kemuliaan tak terhingga bagi bangsa Gayo mendapat titipan Danau Lut Tawar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kondisi 100 persen. Memori penulis yang terbatas hanya mampu merekam kondisi 20 hingga 30 tahun yang lalu, saat penulis sadar dilahirkan sebagai orang Gayo, yang tumbuh besar dengan air danau.

Saat itu penulis masih berani memberi angka 96 persen dari kondisi aslinya, kini penulis hanya berani mematok nilai 80 persen ke bawah atau bahkan lebih rendah lagi, 75 persen ke bawah dari kondisi aslinya saat diterima oleh entah, muyang, datu kita.

Ini baru tahun 2020 M; debit, deru, dan deras air sungai Peusangan kini tidak tampak menakutkan lagi, bahkan di musim kemarau mungkin sudah bisa diseberangi tanpa harus melalui jembatan Bale.

Sisi kanan-kiri sungat telah dibangun keramba ikan yang turut mempercepat pendangkalan air. Bagaimana 20-30 tahun ke depan saat ananda kita semua sudah berusia seperti usia kita saat ini? Berapa persen lagikah kondisi danau titipan Allah itu dari kondisi awalnya?

Hutan-hutan di puncak-puncak pegunungannya, mata-mata airnya, dinginnya cuacanya, ikan depiknya, semuanya mungkin akan lebih jauh lagi dari kondisi yang kita nikmati sekarang. Danau titipan itu tidak perlu dibangun, karena semakin banyak beton dipacak di ubun-ubunnya justru semakin mengurangi keaslian dan kebugarannya.

Yang dibutuhkan danau agar ia bisa terus memberi manfaat yang besar untuk bangsa Gayo adalah dengan menjaganya dan menghormatinya, tidak menggunduli rambutnya, tidak membiarkannya terus dijamah, dilecehkan, dan diperkosa oleh oleh sesama anak bangsa yang menerimanya sebagai titipan.

Mungkin kita baru betul-betul tergerak membantu ketika “gadis nan cantik” yang dititip itu; yang telah memberi kehidupan untuk ratusan ribu manusia yang menerima dirinya dititip; kering keriput dan cemar berbau, mungkin itu yang kita mau, na’uudzubillaahi min dzalika.

*Urang Gayo di Banda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.