Oleh : Putra Gara*
Suatu hari di bulan yang basah, aku tengah berjalan menyusuri bebukitan yang tidak begitu jauh dengan pondokan dimana tempat lelaki itu tinggal. Saat aku tengah menapaki ketinggian, tiba-tiba aku mendengar suara petir yang menggelegar.
Aku terhuyung serasa petir itu menyambar tubuhku, dan seketika awan hitam yang gelap langsung menumpahkan air yang lebat. Angin kencang pun mengombang-ambingkan diriku, seakan aku sampan di Danau Laut Tawar yang tak terikat di dermaga saat hujan lebat dan angin kencang datang.
Dengan terhuyung-huyung aku arahkan langkahku ke pondok lelaki itu. Di antara derasnya hujan dan kencangnya angin yang turut mengantarkanku ke depan pondokan, ada senyum yang tersunging dalam bibirku serasa aku bergumam dalam hati; “inilah kesempatan yang selalu kutunggu.
Dalam kondisi alam seperti ini, alangkah baiknya aku memang berteduh di pondokan lelaki itu, berlindung dari amukan angin dan hujan, sambil memberikan alasan yang wajar untuk singgah sejenak karena seluruh tubuh dan bajuku basah karena hujan.”
Keadaanku memang tidak karu-karuan saat mengetuk pintu pondokan lelaki itu. Tetapi itu tak jadi soal ketika orang yang ingin aku temui itu membukakan pintu. Sebelah tangannya memegang ayam tanggung yang kakinya nampaknya terluka, dan sayapnya dibalut karena patah.
Aku tak ingin bertanya sebabnya, tetapi aku lebih mementingkan untuk mengucapkan salam terlebih dahulu, sambil melihat reaksinya akan kedatanganku.
“Maafkan aku atas kedatangan ini. Hujan yang tiba-tiba turun begitu derasnya, ditambah angin kencang yang membuat aku terhuyung bila berjalan. Sementara rumahku jauh dari sini. Jadi, izinkanlah aku singgah sejenak di tempat ini…”
Lelaki itu menatapku, ekor matanya menangkap kegugupan di wajahku. Kulihat keningnya berkerut. Di antara derasnya hujan aku dengar suaranya yang berat namun pelan berkata; “Banyak gubuk petani di sepanjang jalan ini, yang bisa menjadi pelindung hujan dan angin untuk dirimu,” kata-katanya tegas, tetapi aku tak peduli saat kulihat lelaki itu tak menutup pintu.
Senyumku makin lebar, saat menyadari akan terwujudnya keinginan untuk bertemu lelaki itu, sambil bercerita banyak hal tentang misteri keberadaannya yang banyak diperbincangkan penduduk sepanjang desa hingga kota.
Tanpa mempersilahkan aku untuk masuk, ia kembali sibuk dengan perawatan ayam yang terluka di tangannya. Dua pribadi yang aneh, ia begitu menutup diri dengan manusia, tetapi begitu lembut dengan binatang yang terluka. Adakah ia juga memiliki luka yang perlu balutan untuk menyembuhkan? Entahlah.
Detik selanjutnya adalah tekanan kebisuan. Meski hujan dan angin di luar begitu ribut. Dia sungguh tidak suka dengan kehadiranku, tetapi aku juga tetap ingin berada di pondokannya.
Batin itu bersahutan, dan tampaknya ia merasakan apa yang tengah aku pikirkan.
Sebab sejurus kemudian ia menatapku seraya berkata; “Manusia kadang kejam, lebih mementingkan dirinya, ketimbang alam. Aku menemukan anak ayam ini tadi siang dalam keadaan terluka, mungkin karena dipukul atau karena sesuatu benda keras yang membuat sayap dan kakinya patah.”
Mataku berbinar. Sebuah percakapan awal yang aku rasakan semacam selamat datang di tempatku. Tanpa dipinta, aku segera mengikuti langkahnya menuju ke dalam. Ketika ia duduk, tampak wajahnya yang keras membuatku sedikit ragu. Apakah aku tetap disini, atau…
“Alam akan menjaga kita, bila kita juga menjaga alam,” kalimatnya membuatku tak jadi untuk pergi, tanpa sebab aku mengangguk.
“Tetapi aku dengar gencar betul penguasa negeri ini ingin merusak alam. Saat kami berjuang dulu, tujuan kami selain ingin menjaga kedaulatan negeri, juga ingin menjaga alam ini dari kerakusan penguasa yang tak bertanggung jawab.”
Aku tercengang. Mencoba menerka-nerka arah pembicaraannya.
“Tambang di Gayo itu tak berarti… coba bila hujan deras seperti ini, hutan jadi gundul, erosi terjadi, banjir bandang di mana-mana… mau dibawa kemana anak cucu kita…” ia terus berkata-kata, sepertinya paham kalau kedatanganku hanya untuk mendengarkan ceritanya.
Aku pun baru menyimak, merusak alam yang ia khawatirkan adalah gencarnya niat pemerintah untuk melakukan eksplorasi alam di Gayo. Aktivis lingkungan tentu tak tinggal diam, beberapa kali mereka mengadakan aksi menolak tambang Gayo.
Aku beranikan diri untuk ikut duduk di dekatnya, karena hatiku berkata bahwa lelaki itu sudah bisa menerima kedatanganku untuk menjadi teman bicaranya.
Ayam yang ditangannya dilepaskan, di taruh di pojok ruangan yang sudah disiapkan makanannya.
“Negeri ini makin kacau. Waktu kita sepakat untuk melakukan perjanjian damai, kita menggantungkan harapan disana. Untuk para rakyat di negeri ini, agar sejahtera bersama. Tetapi kenyataannya, kita hanya mendapatkan cek kosong dari orang-orang Indonesia yang sejak pendahulu kita berjuang, selalu saja dibohongi dengan kasat mata…”
Aku masgul mendengar keluhannya. Angin di luar sudah berhenti, hujan pun tinggal rintik. Tetapi aku belum mau beranjak, masih ingin mendengarkan apa yang dituturkan lelaki itu tanpa perlu aku bertanya.
“Coba kau lihat…” lelaki itu membuka kaos oblongnya. “Satu peluru pernah melintas di bahu aku. Peluru TNI, waktu kami baku tembak di perkebunan Bewang Kecamatan Bintang pada awal tahun 2004 silam…” ia mendekatkan bahunya kepadaku, untuk meyakinkan bahwa bekas luka itu adalah luka besi panas yang mungkin saja nyaris membunuhnya.
“Kita tak pernah mau berperang… yang kita lakukan adalah mempertahankan kedaulatan negeri ini. Kalau saja waktu itu tidak ada stunami… Indonesia pasti sudah menyerah.
Karena beberapa kali terjadi pertempuran kita selalu tak terkalahkan. Bahkan kami ada informasi… logistik dari Jakarta sudah tidak ada… biaya yang dikeluarkan Indonesia untuk merebut negeri kita nyaris bangkrut.
Tetapi Allah berkata lain… stunami itu datang memecah konsentarsi kita semua. Yang kita utamakan akhirnya kemanusiaan. Dan.. satu tahun kemudian, atas nama perdamaian, perjanjian itu ditandatangani. 15 Agustus 2005.
Aku pikir… inilah pintu gerbang kejayaan kembali bangsa ini. Tetapi…” laki-laki itu tak meneruskan kata-katanya. Ia beranjak dari duduknya dan menoleh keluar.
Aku ikut berdiri, dengan harap-harap cemas kalau-kalau ia menyuruhku segera pulang karena hujan dan angin sudah tak ada lagi. Tetapi yang aku lihat ia mengambil seikat kayu kering, lalu menyalaka api sambil berkata; “Aku ada selembar baju usang untuk ganti.
Panaskanlah badanmu, sebab ada kalanya basah bisa membahayakan kesehatan. Keringkanlah bajumu, dan berbuatlah sesukamu seolah bukan tamu…”
Hatiku bungah. Rasa dingin yang sejak tadi menjalari sekujur tubuhku seketika menghangat dengan kata-katanya. Inilah saatnya, inilah saatnya bagiku untuk mulai bisa mengorek tentang dirinya.
Kudekati tungku yang apinya mulai menyala. Baju yang lelaki itu berikan aku kenakan, sedangkan bajuku yang basah aku dekatkan ketungku. Asap mengepul karenanya.
Sementara lelaki itu termenung di dekat pintu menatap langit kelabu. Pelan, aku beranikan diri untuk bertanya; “Sudah lamakah Ama tinggal disini?”
Tanpa melihatku ia menjawab tegas; “Aku yang kau lihat ini, hanyalah seonggok daging berbalut tulang, sementara yang menghidupkanku adalah ruhani ini, yang sudah sejak lama ada, jauh sebelum Danau Lut Tawar itu berbentuk dengan keindahannya seperti sekarang.”
Aku tercengang mendengar kata-katanya. Mencoba mencerna dari apa yang diucapkannya. Betapa tidak mudah untuk mengetahui jalan pikirannya. Aku tak mau terlihat bodoh di depannya. Sejak beberapa waktu lalu berbincang dengannya, aku tahu, laki-laki ini bukanlah seorang mantan kombatan semata.
Banyak pelajaran hidup yang telah ia punya. Paling tidak, hal itu dapat kurasakan dari setiap perkataannya.
Hari semakin sore. Tanah yang basah karena hujan seperti mengeluarkan aroma buaian cinta ibu kepada anaknya. Aku putuskan untuk pamit pulang, tanpa menghiraukan pertanyaanku yang mungkin besok atau lusa bila ada kesempatan bisa dilanjutkan.
Kali ini, lelaki itu justru yang tercengang; “Kenapa cepat pulang?” nadanya begitu keberatan.*** (Bersambung)