Badai Yang Tak Berkesudahan (Bagian.1)

oleh

Oleh : Putra Gara*

Bagian Satu

LIMA belas tahun setelah Perjanjian Damai Helsinki, lelaki itu mengundurkan diri dari kehidupan masyarakat ramai, ia meninggalkan kota untuk hidup dalam kesunyian di kawasan lembah di antara Danau Laut Tawar dan juga bukit-bukit yang mengelilingi.

Berbagai kisah tentang lelaki itu telah didengar oleh penduduk desa. Ada yang bercerita ia kecewa dengan para mantan petinggi GAM, yang setelah Aceh mengantongi MoU Helsinki, ternyata nasib bangsanya tidak jauh lebih baik dari yang diharapkan.

Ada juga yang menceritakan, kalau sesungguhnya ia marah kepada dirinya, ketika kawan seperjuangannya dulu kini telah menjadi orang penting, sementara ia yang juga pernah berada di baris depan dalam peperangan, tak mendapatkan jatah apa pun dalam mengisi alam perdamaian ini.

Cerita lain menuturkan, kalau sesungguhnya ia putus asa menjalani hidup, saat istrinya pergi dengan orang lain, ketika ia sibuk di hutan mempertahankan kedaulatan negerinya. Tapi tidak sedikit yang percaya, sesungguhnya ia tengah memperdalam ilmu agamanya, dengan pergi menyendiri, sambil mencari Tuhannya.

Aku sendiri belum bisa menarik kesimpulan apa pun tentang lelaki itu. Karena aku percaya, pasti ada hal yang tersembunyi yang disimpan dalam misteri kehidupannya. Dan aku tidak mau mempercayai praduga apa pun yang aku dengar dari berbagai kisah atau cerita tentang lelaki itu.

Yang aku mau, aku ingin bertemu dengan lelaki penuh misteri itu, untuk menanyakan berbagai hal tentang dirinya tanpa harus mencari pembenaran seputar kisah yang beredar di setiap pelosok desa tentang lelaki itu.

Telah lama aku nantikan pertemuan dengan lelaki itu, sekaligus ingin menjalin persaudaraan dengannya dengan menggunakan berbagai cara, untuk menyelidiki keadaannya, dan mempelajari riwayatnya dengan menanyakan apakah tujuan hidupnya.
Namun upayaku selalu sia-sia.

Ketika lelaki itu kujumpai untuk pertama kali, ia tengah berjalan menyusuri tepi Danau Laut Tawar sambil memunguti buah vinus yang berserakan di sepanjang jalan tanpa mengindahkan keberadaanku. Padahal aku sudah menyapanya dengan pemilihan kata yang sebaik mungkin agar menjadi perhatian dirinya.

Tetapi, ia hanya mengangguk sambil tersenyum lalu meneruskan perjalanannya.
Dilain waktu kudapati ia tengah duduk santai di batang pohon kopi yang sudah tua di bawah kaki bukit.

Aku menghampirinya sambil bertanya tentang buah kopi yang akhirnya jadi primadona di dataran tinggi Gayo ini. Namun lagi-lagi, aku tak menemukan kehangatan. Jawabannya sangat dingin.

“Aku tak tahu siapa yang memulai menebar benih biji kopi di dataran tinggi ini; Belandakah, atau orang kita? Yang aku tahu, harusnya melalui biji kopi ini rakyat di negeri ini sejahtera. Tak ada yang putus sekolah, apa lagi sampai tak bisa makan dan kekurangan pangan.”

Kemudian ia membelakangiku sambil menambahkan – “Kenapa tidak kau tanyakan kepada kakek nenekmu, yang usianya lebih tua dari pada aku, dan yang lebih mengenal riwayat lembah dan bebukitan di dataran tinggi ini?”

Mendengar kata-katanya, aku menyadari kegagalan kembali terjadi dari niatku untuk berakrab-ria dengan dirinya. Maka tanpa berharap ia menoleh kepadaku, aku langsung beranjak pergi meninggalkan dirinya yang juga melangkah terus memunggungiku.

“Mungkinkah orang yang telah hidup menyendiri, menjadi tidak peduli dengan keadaan yang ada?” hatiku bertanya-tanya.

Begitulah, hari-hari berlalu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun, tetapi misteri tentang lelaki itu belum juga aku dapatkan. Namun anehnya, keberadaan lelaki itu terus membayangi aku, terbawa dalam pikiran, juga terbawa mimpi dalam tidurku.***

(Bersambung ke Bagian. 2)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.