Ngaji Ramadhan III : Mendaras Aqidah (6 Macam Aqidah Manusia)

oleh

Oleh : Husaini Muzakir Algayoni*

Dengan berkembangnya zaman maka paradigma kehidupan pun berbeda, orang modern yang jauh dari agama melihat kebahagiaan dengan harta dan kekayaan (materi), mengalami krisis spiritual sehingga aqidah pun mudah tergadaikan dan ditinggalkan oleh kenikmatan duniawi.

Sementara orang yang teguh dalam keimanan dan kuat dalam mempertahankan aqidahnya, kebahagiaan justru datang dari agama dan nikmat keimanan itu sendiri dan orang yang jauh dari agama terasa gersang dalam kehidupan.

Karena itu, dalam Ngaji Ramadhan III ini akan dibahas macam-macam aqidah manusia yang telah diperinci Allah Swt dalam Alquran. Adapun macam-macam aqidah manusia antara lain:

Pertama, Orang beriman yang kuat cintanya kepada Allah dan di antara manusia ada yang musyrik, dengan menyembah tandingan-tandingan dan mencintainya seperti mencintai Allah.

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cinta seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka akan menyesal).” QS. al-Baqarah: 165.

Ayat ini menjelaskan bahwa cinta orang beriman kepada Allah tanpa pamrih, cinta orang beriman lahir dari bukti-bukti yang mereka yakini serta pengetahuan tentang sifat-sifat-Nya yang Maha Indah.

Cinta orang beriman tetap cinta kepada Allah, baik dalam sulit maupun senang sedangkan orang musyrik baru mengingat Allah ketika mendapatkan kesulitan dan kalau kesulitannya telah teratasi kembali lupa, seakan-akan tidak pernah bermohon kepada Allah.

Benar-benar mencintai Allah tanpa ada pamrih adalah cintanya para sufi, seperti sufi perempuan Rabi’ah al-Adawiyah (714-801 M) yang dikenal dengan pahamnya al-Mahabbah.

Kedua, Manusia yang kafir hanya meyakini bahwa hidup hanya di dunia saja, sehingga mereka terlena dengan keindahan dunia.

“Dan di antara mereka ada yang mendengarkan bacaanmu (Muhammad), dan kami telah menjadikan hati mereka tertutup (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan telinganya tersumbat. Dan kalaupun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata, “ini (Alquran) tidak lain hanyalah dongengan orang-orang terdahulu.” (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan kepada Tuhannya (tentulah engkau melihat peristiwa yang mengharukan). Dia berfirman, “Bukankah (kebangkitan) ini benar?” Mereka menjawab, “Sungguh benar, demi Tuhan kami.” Dia berfirman, “Rasakanlah azab ini, karena dahulu kamu mengingkarinya.” QS. al-An’am: 25.

Ayat ini menjelaskan bahwa manusia mendengar tapi tidak memahami, seperti orang yang tidak memiliki hati yang memahami dan tidak memiliki telinga yang mendengar adalah tipe manusia yang seringkali ada di setiap generasi, zaman dan tempat.

Ketiga, Manusia yang munafik senantiasa hanya mencari enak dan mudahnya saja, tanpa rasa takut kepada Allah.

“Jika engkau (Muhammad) mendapat) kebaikan, mereka tidak senang; tetapi jika engkau ditimpa bencana, mereka berkata, “Sungguh sejak semula kami telah berhati-hati (tidak pergi berperang), “dan mereka berpaling dengan (perasaan) gembira.” QS. at-Taubah: 50.
Ayat ini menerangkan bahwa orang munafik tidak menghendaki kebaikan bagi Rasulullah dan kaum muslimin, bahkan mereka bersedih hati kalau Rasulullah dan kaum muslimin mendapat kebaikan. Namun, mereka bersenang hati ketika kaum mulimin ditimpa musibah dan kesulitan.

Keempat, Manusia yang meyakini dosanya, tetapi mereka mencampur adukkan pekerjaan yang baik dengan yang buruk.

“Dan (ada pula) orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” QS. at-Taubah: 102.

Ayat ini menjelaskan bahwa kelompok yang kedurhakaannya ringan dan hati mereka pun tidak terlalu keras, walau tingkat ketulusan dan kemunafikan atau kelemahan imannya tetap tidak dapat dideteksi.

Ayat ini juga dapat dipahami bahwa seseorang yang menggabungkan aktivitasnya kebaikan dan keburukan dalam seimbang maka selama itu kemurahan Allah yang tidak terbatas dan pengampunan-Nya yang luas diharapkan dapat mengantarnya memperoleh rahmat dan pengampunan.

Kelima, Manusia yang kafir karena dipaksa tetapi hatinya tetap teguh beriman.

“Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar.” QS. an-Nahl: 106.

Dengan ayat ini Allah menyatakan kemarahan-Nya kepada orang-orang yang murtad sesudah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan tiada menyesal bahkan merasa lapang dada dengan kekafiran dan kemurtadannya, dikarenakan memang mereka lebih mengutamakan kehidupan di dunia dari kehidupan di akhirat.

Allah telah mengunci mati hatinya sehingga tidak dapat membedakan apa yang bermanfaat bagi mereka dan apa yang bermudharat.
Keenam, Manusia yang berubah-ubah aqidah, semula beriman, kemudian kafir, kemudian beriman, kemudian kafir lagi.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman lalu kafir, kemudian beriman (lagi), kemudian kafir lagi, lalu bertambah kekafirannya, maka Allah tidak akan mengampuni mereka, dan tidak (pula) menunjukkan kepada mereka jalan (yang lurus).” QS. an-Nisa: 137.

Ayat ini menjelaskan bahwa benih-benih nifak dan kemunafikan, nifak itu sendiri pada hakikatnya tidak lain kecuali kelemahan dalam berpegang pada kebenaran secara terus-menerus di dalam menghadapi kebatilan.

Kelemahan ini adalah buah dari sifat takut, tamak dan menggantungkan keduanya kepada selain Allah, juga sebagai buah dari keterikatannya pada situasi dan kondisi dunia dan keadaan manusia dengan terlepas dari manhaj Allah.

Macam-macam aqidah yang diuraikan dalam Alquran bisa menjadi renungan bagi kita semua bahwasannya setiap manusia bisa saja berubah-ubah aqidahnya sesuai dengan situasi dan kondisi, karena itu dalam hal, situasi, dan zaman apapun aqidah tidak boleh goyah.

Bahan Bacaan:

Choiruddin Hadhiri. Klasifikasi Kandungan Alquran. Jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Di Bawah Naungan Alquran. Jilid 3, 4, dan 5. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Salim Bahresi dan Said Bahresi. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 4. Surabaya: Bina Ilmu, 1990.
M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah. Vol 1 dan 5. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

*Penulis, Kolumnis LintasGAYO.co. Mahasiswa Prodi Ilmu Agama Islam (Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam) Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.